Dalam beberapa buku fiqh, terutama yang membicarakan secara khusus mengenai hak dan kewajiban suami-istri, ada penegasan bahwa seorang suami diperbolehkan memukul istri, ketika terjadi kasus-kasus tertentu; seperti nusyuz, meninggalkan kewajiban agama, berbuat kemungkaran, atau melakukan sesuatu yang mencederai martabat suami. Pemukulan ini diperbolehkan sebagai media pendidikan, bukan sebagai hak mutlak yang kapanpun dan dimanapun bisa dilakukan suami.
Kebolehan ini didasarkan pada ayat 34 dari surat an-Nisa dan beberap teks hadits. Di antaranya, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: “Jika si istri melakukan perbuatan keji yang nyata, maka kamu (suami) bisa melakukan sesuatu terhadap mereka, dengan meninggalkan tidur bersama mereka, atau memukul yang tidak mencederai. Jika mereka taat kepadamu (tidak lagi melakukan perbuatan keji itu), maka janganlah kamu mencari-cari alasan (untuk berbuat aniaya) terhadap mereka“. (Riwayat Muslim, Lihat: Ibn al-Atsir, juz VII, hal. 328-329, no. hadits: 4716).
Dalam Mazhab Hanafi, seperti dikatakan Syekh Abdul Qodir ‘Audah, pemukulan hanya diperbolehkan jika seorang suami sudah melakukan tahapan-tahapan; memberi nasihat dan berpisah ranjang. Dia tidak diperkenankan menggunakan media pemukulan, langsung tanpa diawali dengan nasihat baik. Jika suami melakukannya, maka ia telah melampaui batas, berdosa dan bisa diminta pertanggung-jawaban atau diajukan ke pengadilan. Pemukulan juga tidak diperkenankan sampai mencederai dan atau melukai tubuh perempuan. Karena pemukulan yang seperti ini, bukanlah pemukulan sebagai media pendidikan, tetapi sudah merupakan penyiksaan. Karena itu, bisa diajukan ke pengadilan. (lihat: Abdul Qadir ‘Audah; at-Tasyri’ al-Jinâi’ fi at-Tasyri’ al-Islâmi, juz I, halaman 413-418).
Sebelumnya, Imam ‘Atha – (w. 126 H / 744 M) salah seorang ulama pada masa tabi’in- berpandangan bahwa memukul istri itu hukumnya makruh dan tidak patut untuk dijadikan media pendidikan; apapaun alasan yang ada di benak suami. Pandangan ini didasarkan pada teks-teks hadits yang secara eksplisit melarang seseorang memukul perempuan. (Lihat: Ibn ‘Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, Juz I, hlm. 420). Dari ulama kontemporer, Syaikh Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur, seorang ulama besar pemimpin Jami’ah Zaitunah Tunisia, menyatakan bahwa wewenang “memukul istri” diberikan kepada suami demi kebaikan kehidupan rumah tangga. Ketika pemukulan tidak lagi bisa efektif untuk memulihkan kehidupan rumah tangga yang baik, maka wewenang itu bisa dicabut. Bahkan, pemerintah bisa melarang tindakan pemukulan itu dan menghukum mereka yang tetap menggunakan pemukulan sebagai media pemulihan hubungan suami-isteri. Ada banyak cara yang lebih manusiawi untuk memulihkan hubungan suami-isteri, yang tidak menistakan perempuan. (Lihat Nadhariyat al-Maqâshid ‘ind Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, hlm. 207-210.).
Pandangan seperti ini, tentu saja juga didasarkan pada banyak teks-teksh hadits Nabi Muhammad Saw. Di antaranya:
Dalam riwayat Bahz bin Hakim bin Mu’awiyah, bahwa kakeknya bertanya kepada Nabi SAW: “Wahai Rasulullah, apa hak isteri kita, dan apa yang boleh kita lakukan denganya dan apa yang tidak boleh dilakukan? Nabi menjawab: “Kamu berhak menggauli isterimu bagaimanapun cara yang kamu suka, kamu harus memberi makan dari yang kamu makan, memberinya pakaian seperti yang kamu pakai, jangan mencemooh muka istri dan jangan memukulnya.” (Hadîts Riwayat Imam Abû Dâwûd, lihat: Ibn al-Atsîr, Juz VII, hlm. 329, Nomor Hadîts: 4717).
Iyas bin Abdillah bin Abi Dzubab ra berkata: “Bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah kalian memukul para perempuan!”. Lalu datang Umar Ra kepada Rasulullah Saw dan berkata, “Para istri itu nanti berani (melawan) suami mereka, berikan kami izin untuk tetap memukul mereka”. Tetapi kemudian banyak sekali perempuan yang mendatangi keluarga Rasulullah Saw, mengadukan perilaku suami mereka. Maka Rasulullah Saw pun bersabda, “Sesungguhnya banyak perempuan mendatangi keluarga Muhammad sambil mengadukan perilaku suami mereka. Mereka (para suami yang memukul isteri) itu bukanlah orang-orang yang baik”. (Riwayat Abu Dawud).( lihat: Ibn al-Atsir, juz VII,hal. 330, no. hadits: 4719).
Riwayat lain, dalam hadîts Bukhari, Muslim, dan at-Turmudzi, dari ‘Abdullah bin Zam’ah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah sekali-kali seseorang di antara kamu memukul isterinya, layaknya seorang hamba saja, padahal di penghujung hari, ia mungkin akan menggaulinya.” (Hadîts Riwayat Imam Bukhari, lihat: Shâhîh Bukhâri, Kitâb al-Nikâh, Mâ Yakrahu li dharb al-Nisâ’, Nomor Hadits: 4805).
Ini peringatan yang tegas dari Nabi SAW agar suami tidak memukul isterinya. Karena masih banyak cara dan media lain, yang tidak mencederai kemanusiaan perempuan. Tidak sekadar berbicara, Nabi SAW memiliki teladan baik dengan melaksanakan pandangannya itu. Selama hidup berumah tangga, Nabi tidak pernah sekalipun memukul isteri-isterinya. Padahal, perbedaan di antara Nabi dan isteri-isterinya kerap terjadi dan beberapa di antaranya menimbulkan ketegangan hubungan suami-isteri. Namun, Nabi tak sekalipun menempuh cara kekerasan, baik kekerasan fisik, perkataan, psikis, seksual, maupun ekonomi. Seperti yang diceritakan ‘Aisyah ra, dalam suatu hadîts yang diriwayatkan Imam Muslim dan Imam Abû Dâwûd:
“Bahwa Rasulullah tak pernah memukul pembantu dan tidak juga perempuan.” (Hadîst Riwayat Abû Dâwûd, Sunan Abû Dâwûd, Kitâb al-Adâb, Fî al-Tajâwuz fî al-Amri, Nomor Hadîts: 4154).
Nabi sendiri bersedia bersabar ketika menghadapi berbagai perbedaan dan perlakuan dari isterinya. Bahkan, Nabi memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengekspresikan keinginan mereka, memberikan masukan, dan menentukan pilihan yang sesuai dengan harapan mereka. Tanpa ada kata-kata penghinaan, pelecehan, menghardik, apalagi ucapan-ucapan keji dan kotor, Nabi menghadapi mereka dengan kesabarannya.
Dari beberapa teks hadits ini, dengan jelas bisa ditegaskan bahwa kekerasan sama sekali tidak sesuai dengan perilaku, nasehat, dan peringatan Nabi SAW. Pemukulan atau segala bentuk perilaku kekerasan lain adalah bertentangan dengan prinsip pergaulan yang baik (mu’âsyarah bi al-ma’rûf), tidak sesuai dengan anjuran penghormatan terhadap perempuan (mâ akramahunna illa karîm), dan pelanggaran terhadap wasiat Nabi SAW untuk berbuat baik terhadap perempuan (istawshû bin nisâ’i khairan). Lebih dahsyat lagi, mereka yang memukul isterinya, dijuluki oleh Nabi SAW sebagai orang-orang yang jahat dan busuk (laysa ulâ’ika bi khiyârikum). Memukul isteri, apapun alasannya, adalah bertentangan dengan anjuran, harapan, dan perilaku sehari-hari Nabi SAW terhadap para isterinya. Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa pemukulan bukanlah solusi tepat bagi pendidikan, apalagi pendidikan bagi orang dewasa, seperti isteri. Oleh karena itu, wajar apabila Nabi SAW dalam banyak kesempatan sering menyindir orang-orang yang memukul isteri-isteri mereka.
Sebagai penutup, bisa dinyatakan bahwa orang-orang yang menjadikan Nabi SAW sebagai teladan (uswah hasanah) semestinya tidak pernah berpikir untuk memukul perempuan seperti yang tidak pernah Nabi lakukan, tidak membiarkan siapapun untuk memukul perempuan seperti yang tidak pernah Nabi biarkan, apalagi menganjurkan pemukulan dengan alasan dalil agama. Nabi tegas memandang mereka yang memukul perempuan sebagai orang yang tidak bermoral. Wallahu a’lam bi ash-shawâb.
Baca Juga:
Dirasah Hadis 1: Teologi Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Dirasah Hadis 2: Kekerasan adalah Kezaliman