Karena argumentasi fikih fitnah yang tidak lagi kuat, saat ini fikih yang harus dikembangkan adalah fikih kesetaraan relasi laki-laki dan perempuan. Sehingga, seksualitas perempuan harus diletakkan pada proporsi yang sebenarnya. Kesempatan harus diberikan kepada perempuan untuk mengartikulasikan seksualitasnya, sama seperti kesempatan yang diberikan kepada laki-laki. Karena perempuan dan laki-laki diciptakan dari entiti [nafs] yang sama (QS. An-Nisa, 4: 1), memiliki hasrat seksual, keinginan hidup, cita-cita dan angan-angan yang tidak jauh berbeda. Kehidupan yang baik [hayâtan thayyibah] hanya bisa dibangun dengan kebersamaan laki-laki dan perempuan dalam kerja-kerja positif [‘amalan shâlihan](QS. An-Nahl, 16:97).
Dalam relasi suami-isteri, fikih yang dikembangkan harus tidak didasarkan pada hegemoni dan diskriminasi satu pihak pada yang lain. Tetapi pada prinsip-prinsip; [1] kerelaan kedua belah pihak dalam kontrak perkawinan [tarâdlin] (QS. Al-Baqarah, 2: 232-233), [2] tanggung jawab [al-amânah] (QS. An-Nisa, 4: 48), [3] independensi ekonomi dan politik masing-masing (QS. Al-Baqarah, 2: 229 dan an-Nisa, 4: 20), [4] kebersamaan dalam membangun kehidupan yang tentram [as-sakînah] dan penuh cinta kasih [al-mawaddah wa ar-rahmah] (QS. Ar-Rum, 30:21), [5] perlakuan yang baik antar sesama [mu’âsyarah bil ma’rûf] (QS. An-Nisa, 4:19), [6] berembug untuk menyelesaikan persoalan [musyâwarah] (QS. Al-Baqarah, 2:233, Ali ‘Imran, 3:159 dan Asy-Syura, 42:38) [7] dan menghilangkan ‘beban ganda’ dalam tugas-tugas seharian [al-ghurm bil ghunm].
Prinsip-prinsip ini menuntut keadilan dan kesetaraan dalam segala hal. Misalnya dalam hal menikmati fantasi seksual, perempuan memiliki hak penuh atas kenikmatan-kenikmatan seksual. Sehingga, ketika khitan laki-laki dilakukan untuk kemaslahatan (baca: kesehatan dan kenikmatan biologis) yang kembali kepada dirinya, maka khitan perempuan juga harus dihentikan demi kemaslahatan bagi diri perempuan. Bahkan harus diharamkan, karena ternyata melemahkan seksualitas perempuan sepanjang hidupnya. Dalam realitas medis, perempuan yang tidak dikhitan lebih mudah terangsang dan lebih mudah memperoleh kenikmatan seksual, jika dibandingkan dengan perempuan yang dikhitan.
Pengontrolan terhadap seksualitas perempuan harus dihentikan, juga pen-subordinasiannya terhadap seksualias laki-laki. Karena ia tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan dan kemaslahatan. Seksualitas perempuan tidak lagi harus diukur dari luar dirinya. Karena itu, sesuai dengan konsep ‘mu’âsyarah bil ma’rûf” layanan seksual adalah hak bersama antar suami-isteri. Kenikmatan seksual juga hak bersama, sehingga hubungan intim bukanlah suatu mu’âsyarah yang ma’rûf jika hanya memuaskan satu pihak dan mengecewakan pihak lain. Dalam pandangan fikih Maliki, melayani kebutuhan seksual isteri adalah wajib. Sama wajibnya bagi isteri untuk melayani kebutuhan seksual suami. Kewajiban ini tentu saja relatif tergantung kondisi kedua belah pihak dan selama tidak mengakibatkan keburukan kepada keduanya.
Demi kadilan dan kemaslahatan, orientasi fikih dalam hal kasus perkosaan harus memihak kepada korban, yaitu perempuan. Fikih semestinya tidak lagi menganggap seksualitas perempuan sebagai penyebab terjadinya perkosaan, sehingga kasus perkosaan tidak menjadi berbalik kepada perempuan. Fikih diharapkan bisa memunculkan moralitas perlindungan, pelayanan dan tanggung jawab terhadap korban. Sehingga hukum aborsi bagi perempuan korban perkosaan harus dikaitkan dengan semangat perlindungan dan pelayanan. Dengan demikian, perempuan tidak lagi takut dengan seksualitasnya sebagai perempuan. Kecenderungan traumatis juga bisa diminimalisir dari kejiwaan perempuan korban perkosaan.
Fikih juga dituntut kearifannya dalam memandang persoalan-persoalan seksual dalam tataran realitas. Misalnya dalam hal orientasi seksual, perilaku yang secara normatif salah seperti lesbianisme, tidak bisa hanya disalah-salahkan. Yang lebih penting lagi, menumbuhkan pribadi-pribadi yang bertanggung jawab [amanah] dalam berperilaku seksual. Baik tanggung jawab terhadap diri sebagai pelaku, pasangan, maupun masyarakat. Dengan demikian perilaku seksual yang sehat harus dipentingkan. Sehat dalam arti sehat moral, sehat biologis dan psikologis. Fikih ‘amanah’ adalah fikih yang menebarkan sikap bertanggung jawab dalam hal seksualitas, bukan yang memasang ketakutan-ketakutan di setiap sudut kehidupan. Seksualitas harus dibuka, untuk dipertanggung jawabkan, bahkan harus disyukuri.
Dalam suatu seminar, Indriani Bone menyatakan bahwa seksualitas perempuan harus dirayakan (baca: disyukuri). Karena ia terkait langsung dengan reproduksi manusia. Hanya perempuan yang diberikan amanah dari Tuhan untuk mengemban tanggung jawab dan beban reproduksi. Dari tubuh perempuanlah lahir manusia-manusia, awal dari sebuah peradaban. Tanpa manusia, tidak akan ada peradaban. Seksualitas, bagi perempuan, adalah bagian dari rencana-Nya yang harus disyukuri, diafirmasi dan dirayakan. Bukan ditabukan, apalagi dianggap najis. Karena itu, masyarakat harus bertaubat dari pandangan-pandangan yang seksis dan misoginis terhadap seksualitas perempuan. Dalam teologi Islam kondisi sosial yang misoginis merupakan bentuk otoriterianisme kekuasaan yang harus diruntuhkan. Dalam bahasa hadis, menyatakan kebenaran di hadapan kekuasaan yang otoriter adalah sebaik-baik jihad [afdhal al-jihâd al-qawl al-haqq amâm sulthân jâ’ir]. Dengan kata lain, mendaulatkan seksualitas perempuan dalam kondisi yang otoriter terhadap kedaulatannya adalah jihad, sebaik-baik jihad. Saatnya seksualitas perempuan tidak lagi dikorbankan untuk kepentingan di luar dirinya. Karena pada prakteknya, akan mengakibatkan ketimpangan-ketimpangan sosial yang berakibat buruk pada semua. Dalam Islam, semua keburukan dan kerusakan harus disingkirkan dan dilenyapkan [lâ dharara wa lâ dhirâr].
Baca Juga:
Fokus 1: Merayakan Seksualitas Perempuan
Fokus 2: Karena Tubuh Perempuan itu Fitnah
Fokus 3: Fikih ‘amanah’ versus fikih ‘fitnah’