Oleh: Faqihuddin Abdul Kodir
Kemuliaan di sisi Allah SWT – dan tentu di sisi manusia- hanya bisa didapatkan melalui keimanan dan keilmuan. Seperti yang dinyatakan di dalam al-Qur’an: “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu di antara kalian” (QS. Al-Mujadalah: 11). Sama seperti halnya keimanan, keilmuan hanya bisa didapatkan melalui pengkondisian, kemauan, pencarian dan usaha yang keras dari semua pihak. “Bahwa seseorang tidak akan memperoleh kecuali apa yang ia usahakan” (QS. An-Najm, 53: 39). Proses ini biasa dinamakan dengan pendidikan. Karena itu, pendidikan merupakan hak semua orang, dan pada saat yang sama penyelengaraan pendidikan merupakan kewajiban bagi mereka yang menguasai sumber daya; orang tua terhadap anak, orang kaya untuk orang miskin, dan yang paling bertanggung jawab adalah negara terhadap seluruh rakyatnya.
Sekalipun pendidikan merupakan hak seluruh rakyat, pada kenyataanya mereka yang diposisikan lemah adalah mereka yang paling banyak terhambat untuk memperoleh kesempatan pendidikan. Perempuan misalnya, karena posisi sosialnya yang dilemahkan, ia memperoleh kesempatan pendidikan lebih terbatas jika dibandingkan dengan laki-laki, padahal jumlah penduduk perempuan sedikit lebih banyak dari laki-laki. Dari data BPS mulai tahun 1980-1990 misalnya, menunjukkan bahwa rata-rata angka masuk perempuan ke lembaga pendidikan lebih kecil bila dibandingkan dengan angka masuk laki-laki. Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin kecil angka rata-rata masuk perempuan. Tingkat SD, perbandingan perempuan dengan laki-laki adalah 49.18 %:50.83 %, di tingkat SMP; 46.34%:53.56%, di tingkat SMA; 41.45 %:58.57%, di perguruan tinggi; 33.60%:66.40%. Tentu saja, untuk tingkat yang lebih tinggi, kesempatan perempuan akan jauh lebih sedikit. Kesempatan yang kecil ini berimbas juga pada posisi-posisi lain bagi perempuan, baik sosial, ekonomi, maupun politik. Di parlemen kita hanya ada 8 % perempuan, begitu juga di DPR di daerah, di Malang misalnya hanya ada dari total 45 anggota DPRD hanya ada 4 orang perempuan, dan di Kota Cirebon tidak ada seorangpun perempuan yang menduduki DPRD (lihat: Jurnal Perempuan, no. 23, 2002, h.7-16).
Kesempatan yang lebih kecil ini merupakan salah satu ketimpangan pendidikan bagi perempuan. Ketimpangan lain adalah segregasi yang lebih sering menistakan perempuan, stereotipe yang menempatkan perempuan hanya untuk jenis pendidikan tertentu dan yang lebih parah adalah kurikulum dan materi pendidikan yang masih melestarikan ketidak-adilan bagi perempuan. Ketimpangan ini merupakan tanggung jawab semua orang, terutama negara terhadap rakyatnya. Masyarakatpun, dengan kulturnya yang tidak adil terhadap perempuan, ikut bertanggung jawab dalam pelestarian ketimpangan pendidikan perempuan. Agama (atau lebih tepat pemaknaan terhadap agama), sebagai salah satu unsur dari kultur masyarakat bahkan menjadi unsur utama, menjadi sangat bertanggung jawab dalam hal ketimpangan gender. Karena itu, pengajaran agama perlu dilihat ulang, terutama yang terkait dengan teks-teks hadits.
Beberapa teks hadits -dari sisi sanad kebanyakannya adalah lemah- yang menghambat aktifitas pendidikan perempuan harus segera dihentikan pengajaran dan periwayatannya. Apabila teks-teks hadits seperti ini tertulis dalam kitab-kitab maupun buku kurikulum, ia harus dikoreksi dan dikritik dengan pengetahuan yang memadai. Seperti hadits yang memerintahkan perempuan untuk selamanya tinggal di dalam rumah, untuk mengikuti perintah suami dan melayani segala kebutuhannya. Teks hadits ini dikutip oleh Imam Al-Ghazali (w.505H) dalam magnum opusnya Ihya ulûm ad-dîn dan Imam Nawawi (w. 1315H) dalam kitab Uqûd al-Lujjain ketika berbicara mengenai kewajiban seorang isteri (lihat: FK3, Wajah Baru Relasi Suami Isteri; Telaah Kitab ‘Uqûd al-Lujjayn, 2001:126-128). Beberapa pendakwah agama pada saat ini, seperti dinyatakan oleh Syekh Muhammad al-Ghazali dalam kitab As-Sunnah an-Nabawiyyah (1992:51), juga menjadikan teks hadits seperti ini sebagai dasar untuk melarang perempuan memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Teks hadits ini sekalipun dikutip oleh beberapa ulama terkenal, tetapi ia adalah hadits yang dha’îf, atau lemah dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, seperti yang dinyatakan oleh Mahmud Muhammad Haddad dan Syekh Muhammad al-Ghazali.
Teks hadits yang seperti ini akan banyak menghambat perempuan untuk memperoleh pengetahuan dan pendidikan. Beberapa teks hadits yang sejenis juga harus dikritik dan dimaknai ulang. Seperti pelarangan perempuan untuk terlibat dalam aktifitas masjid. Ketika perempuan dilarang untuk mengikuti shalat di masjid, berarti adalah penghambatan terhadap perempuan untuk memperoleh pengetahuan, pendidikan dan informasi. Karena masjid bagi umat Islam adalah pusat pengetahuan dan pendidikan, di samping sarana untuk ibadah ritual. Teks hadits yang dimaksud adalah pernyataan Nabi Muhammad SAW: “Shalat perempuan di dalam rumahnya lebih baik dari shalatnya di dalam masjid” (Riwayat al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, juz III, hal. 132). Sekalipun teks ini secara sanad adalah shahih [kuat dan diterima], seperti yang dinyatakan oleh Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban, al-Haytsami dan as-Suyuthi, tetapi ia menyalahi teks-teks hadits lain yang lebih kuat dan bertentangan dengan fakta-fakta sejarah. Dalam teks lain, yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan at-Turmudzi, Nabi SAW menyatakan: “Izinkanlah para perempuan untuk pergi ke masjid pada malam hari”. Dalam riwayat lain: “Apabila isterimu meminta izin untuk pergi ke masjid, maka janganlah dihalangi”. Atau: “Janganlah menghalangi para perempuan yang ingin pergi ke masjid Allah”. (Lihat: Ibn al-Atsir, juz XI, hal. 467, nomor hadits: 8698). Dengan argumentasi ini, dan beberapa argumentasi yang lain, Imam Ibn Hazm az-Zhahiri (Ali bin Ahmad w. 456H/1064M) menyatakan bahwa hadits pelarangan perempuan untuk pergi ke masjid adalah lemah dan tidak bisa dipertanggung-jawabkan (lihat: FK3, 2001:115).
Baca Juga:
Dirasah Hadis 2: Hak Pendidikan Bagi Perempuan
Dirasah Hadis 3: Pemihakan dalam Materi Pendidikan