“Seseorang tidak akan sampai pada cinta Tuhan yang sejati, sebelum merasakan cinta yang sejati terhadap (dari) perempuan”. Ujaran yang cukup terkenal di kalangan sufi cinta [tashawwuf al-‘ishq] ini, mengisyaratkan betapa agungnya perempuan. Cinta Tuhan hanya didapat dengan cinta perempuan. Tetapi di saat yang sama ia mencitrakan perempuan sebagai obyek cinta, bukan yang sebaliknya. Perempuan itu dicintai, disayang dan dilindungi untuk tidak mengatakan dikontrol. Bukan sebaliknya.

Ujaran ini, yang lebih tepat dikatakan sebagai pemeo, sangat mudah dicari padanannya dalam pemikiran keagamaan, dari semua agama termasuk Islam. Perempuan diagungkan, tetapi di saat yang sama dinistakan dengan dijadikan obyek atas berbagai kepentingan di luar dirinya. Dalam hal seksualitas, ‘agama’ tidak memberikan hak kepada perempuan sebagai mahluk yang independen, atau setidaknya sama seperti laki-laki. Baik seksualitas perempuan dalam maknanya sebagai identitas diri (self identity), tindakan seks (sex action), perilaku seksual (sexual behavior), maupun orientasi seksual (sexual orientation).

Salah satu contoh, dalam pemikiran fikih ada perbedaan pandangan apakah seorang isteri memiliki hak untuk menikmati (baca: meminta) hubungan seks dari suami. Bahkan ada pandangan bahwa suami tidak berkewajiban melayani keinginan seksualitas isteri. Berbeda dengan hasrat suami yang jika tidak dilayani oleh isteri maka sang isteri akan dilaknat oleh malaikat, seksualitas perempuan hanyalah pelengkap dari seksualitas laki-laki. Ia hanya ada bagi kepentingan di luar dirinya. Ia harus dikontrol, bahkan disembunyikan dan dipendam karena bisa mengancam kepentingan-kepentingan yang lain.

Berawal dari Khitan

Ketika fikih Islam menganggap khitan perempuan sebagai perbuatan mulia, ia sebetulnya telah menjadi awal dari kontrol ‘agama’ terhadap seksualitas perempuan. Perempuan tidak memiliki hak atas seksualitasnya, bahkan menjadi subordinat dari seksualitas laki-laki. Padahal dalam analisis dalil [argumentasi], seperti dikatakan oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani, Asy-Syawkani, Muhammad Syaltut, Sayyid Sabiq, Wahbah Az-Zuhaili dan Anwar Ahmad, tidak ada satupun teks hadis yang valid [shâhih] sebagai dasar hukum khitan perempuan. Tetapi ulama-ulama madzhab bersikeras menyatakan bahwa khitan perempuan setidaknya adalah perbuatan mulia, untuk tidak mengatakan wajib seperti yang dinyatakan oleh mazhab Syafi’I (Lihat: al-‘Asqallani, Fath al-Bari, 1993: XI/530. Asy-Syaukani, Nayl al-Authar, I/138. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, 1987: I/36 dan az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, 1989: III/642).

Argumentasi yang diajukan untuk mendukung syari’at [perbuatan] khitan, semuanya mengarah kepada khitan laki-laki. Khitan sebagai ajaran yang baik [millah] yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim atas dirinya, adalah khitan laki-laki. Juga argumentasi bahwa khitan akan memudahkan membersihkan sisa kotoran (baca: air kencing) dari kelamin, membuat seseorang secara medis menjadi lebih sehat, menambah kenikmatan dan memperlama hubungan intim seseorang. Semua ini adalah argumentasi bagi mendukung khitan laki-laki, bukan khitan perempuan. Sebaliknya, khitan pada perempuan tidak ada kaitannya dengan kebersihan kelamin, atau menjadi lebih sehat. Justru bisa menjadi sangat negatif dari sudut kebutuhan seksual karena akan mengurangi kenikmatan, bahkan bagi sebagian perempuan bisa menimbulkan trauma psikologis yang berat. Karena ujung klentit adalah organ seks perempuan yang cukup sensitif terhadap gesekan dan rangsangan bagi kenikmatan seksual perempuan. Dengan mengkhitan ujung klentit, daerah erogen (sensitif) akan berpindah dari muka (clitorus) ke belakang (liang vagina). Rangsangan perempuan akan berkurang, gairahnya lemah, dan susah memperoleh kenikmatan (orgasme) ketika hubungan kelamin. Apalagi praktik khitan yang sampai memotong bibir kecil (labia minora), yang terjadi di beberapa tempat di Afrika, sering menimbulkan trauma psikologis. Praktek ini membuat perempuan tidak dapat menikmati hubungan seksual sama sekali (lihat: Elga Sarapung, Agama dan Kesehatan Reproduksi, 1999: 118).

Ketika argumentasi teks tidak ada, maka pemuliaan khitan perempuan oleh agama, hanya bisa dipahami melalui paradigma pengontrolan seksualitas perempuan. Agama ikut mengontrol seksualitas perempuan. Mulai dari ajaran kesucian (baca: keperawanan) perempuan yang harus dipertahankan, bahkan harus memiliki tanda kesucian (baca: selaput dara) pada awal perkawianan. Untuk itu, sebaiknya ia tidak memiliki organ yang mudah terangsang, sehingga tidak mudah tergoda dan tergelincir dalam kenistaan yang merusak kesuciaanya. Sebagai istri ia harus siap melayani kebutuhan seksual suami kapan saja, sementara ia sendiri tidak dianjurkan meminta kepada suaminya, apalagi menuntut kepuasan dan kenikmatan seksual. Perempuan juga harus siap menerima perlakuan poligami dari suaminya yang menuntut kesiapan psikologi agar tidak agresif dalam kehidupan seksual. Untuk tujuan itu semua, setiap komponen budaya harus mengkondisikan perempuan agar siap menerima beban di atas, diantaranya dengan mendukung praktik khitan perempuan yang akan mengarah kepada kepasifan seksualnya. Tepatnya mengontrol seksualitas perempuan untuk kepentingan seksualitas laki-laki.

Khitan perempuan tidak memiliki dasar teks yang valid, alasan medis yang kuat dan tidak sesuai dengan rasionalitas kesetaraan relasi laki-laki dan perempuan, maupun konsep ‘mu’âsyarah bil ma’rûf‘ dalam perkawinan. Karena itu, atas nama agama dan kemaslahatan, khitan seharusnya tidak bisa lagi dilanjutkan. Dalam pandangan Al-Mawardi, khitan itu hanya diperbolehkan jika mendatangkan kemaslahatan. Jika tidak, ia sama dengan melukai (baca: memotong) anggota tubuh yang hukum asalnya adalah haram (lihat: al-‘Asqallani, Ibid).

Baca Juga:

Fokus 2: Karena Tubuh Perempuan itu Fitnah

Fokus 3: Fikih ‘amanah’ versus fikih ‘fitnah’

Fokus 4: Mendaulatkan Seksualitas Perempuan

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here