Oleh : A.D. Kusumaningtyas
“Wajar saja kalau kugoda, kar’na pantas kau digoda.
Salah sendiri kau manis, punya wajah teramat manis
Wajar saja kalau kuganggu, sampai kapan pun ku rindu
Lepaskan tawamu nona, agar tak murung dunia.”
Sepenggal lagu Mata Indah Bola Pingpong-nya Iwan Fals tersebut tiba-tiba mengingatkan saya bahwa tak mudah menjadi perempuan. Selalu dikambinghitamkan dalam setiap kesalahan anak Adam. Daya tarik magnetik apakah yang dibawa perempuan sehingga ia selalu menjadi pusat perhatian maupun obyek dari setiap pelecehan? Haruskah ia berani menertawakan “kebodohannya” sementara melalui nyanyian, kita sama-sama melanggengkannya.
Tubuh perempuan seolah merupakan bala dan bencana yang harus memaksa perempuan menutupi dirinya. Menstruasi yang dialami sebagai kekhasan cirinya oleh masyarakat dipandang sebagai penyebab dosa dan mengotori kehidupan manusia tempat-tempat suci lainnya. Untuk mengatasinya, perempuan harus membangun menstrual hut (gubuk pengasingan bagi perempuan yang sedang haid) yang dikembangkan oleh kebudayaan patriarki.
Apa beda tubuh perempuan terbuka atau tertutup bila cara masyarakat memandangnya masih tetap dengan fantasi kotornya? Larangan mengeksploitasi perempuan dan dhihar (menyerupakan isteri dengan punggung ibunya) bukankah lebih kontekstual bila dimaknai sebagai larangan pemanjaan fantasi seksual. Anjuran berjilbab, bukankah lebih bermakna bila dipandang sebagai pengenalan sebuah identitas dibandingkan cara pandang perendahan diri perempuan akan realitas ketubuhan maupun berbagai tabu menstruasi, menjadi bumper untuk laki-laki ketika mereka merasa kehilangan kemampuan untuk mengendalikan hawa nafsunya sendiri?
Sigmund Freud pernah bicara tentang penis envy (rasa iri terhadap penis/alat kelamin laki-laki). Penis dianggap memiliki citra kewibawaan tersendiri sehingga dijadikan simbol peradaban. Tugu Monas contoh produk kebudayaan yang didasarkan pada peradaban phallocentris ini. Kaum perempuan pun merasa marah karena iri terhadap apa yang dimiliki oleh lelaki. Mereka menjadi posesif serta ingin “menguasai” anak yang dilahirkan dari rahimnya sendiri dan memproteksinya secara berlebihan sebagai bentuk protes mereka pada ketiadaan penis dalam dirinya. Freud lupa akan makna rahim bagi perempuan, sampai Hellen Deutsch mengingatkan kita akan wacana baru justru tentang ketiadaan rahim (womb) pada laki-laki. Inilah yang disebut womb envy.
Seksualitas memang memiliki bahasanya sendiri. Dan seksualitas akan menjadi menakutkan manakala ia menjadi politik identitas. Bukankah dinyatakan bahwa personal is political? Bahwa yang pribadi itu pada hakikatnya selalu memiliki makna politis. Selama ini penis merupakan identitas kekuasaan laki-laki, sehingga kelaki-lakian selalu menjadi senjata untuk menguasai. Ar-rijaalu Qawwaamuuna ‘alaa An-nisaa’ disosialisasikan setiap hari dengan penafsiran yang dikebiri. Adakah itu sekedar cara mempertahankan kelaki-lakian agar tetap bisa berkuasa? Ataukah untuk mengontrol tubuh perempuan melalui segala cara pemaksaan hubungan seksual atas nama Tuhan, alat-alat kontrasepsi, penghias media massa, memperdagangkan perempuan, maupun mempopulerkan poligami? Selama ini, keperempuanan “mengabdi” pada kepentingan lelaki. Bilakah tiba saatnya kelaki-lakian dan keperempuanan merupakan pancaran eksistensi tugas kekhalifahan dan bentuk ekspresi kemanusiaan?
Mari kita hargai seseorang karena prestasinya, karena amal salehnya, dan karena kemanusiaannya. Sebagaimana Nabi telah bersabda : Innaalllaaha laa yandhuru ilaa ajsaadikum wa laa shuwarikum wa laakin yandhuru ilaa quluubikum wa a’maalikum (Sesungguhnya Allah tidak memandang jasad dan penampilanmu, akan tetapi Allah memandang pada hati dan amal perbuatanmu).
Tubuh manusia, lelaki dan perempuan itu bersifat fana adanya. Dibandingkan kekuasaannya semua itu tak punya makna apa-apa, karena semuanya itu milik-Nya yang akan kembali lagi pada-Nya. Bukankah memanfaatkan segala potensi untuk menjalankan tugas kemanusiaan kita sebagaimana mestinya, akan membuat diri kita memiliki arti dihadapan-Nya?