Oleh: Nurul Agustina

Pasca 11 September 2001, setelah sekelompok orang yang sangat berani (atau nekat, tergantung dari perspektif mana kita melihat) melakukan aksi berdarahnya, media massa kita tiba-tiba dipenuhi oleh kosa kata jihad. Kata yang berasal dari akar j-h-d dalam bahasa Arab ini pun seperti mendapat padanannya ketika Presiden George Walker Bush yang doyan memakai idiom perang itu menggunakan kata crusade untuk menunjukkan niatnya mengejar pelaku pembajakan pesawat dan penghancur gedung kembar World Trade Center kebanggaan Amerika. (Juga sebagian gedung segilima Pentagon yang selama ini kesannya sangat untouchable).

Padahal kedua kata itu, jihad dan crusade, memiliki makna yang berbeda, meskipun seringnya sama-sama dilambari dengan semangat religius yang tinggi. Menurut pakar bahasa Arab, pengertian dasar dari jihad adalah suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk mencapai suatu tujuan yang dianggap mulia. Upaya mulia itu bisa berarti perjuangan untuk mengendalikan diri dari godaan nafsu, dan bisa pula berarti perjuangan untuk menyebarkan Islam dan memerangi mereka yang memusuhi Islam atau belum mengakui kebenaran ajaran Islam. Seterusnya, kata jihad juga digunakan untuk merujuk pada kerja keras yang dilakukan untuk memperbaiki kondisi umat. Karena itu, jihad juga mensyaratkan adanya tindak pengorbanan: baik dengan harta-benda, pena, “lidah”, hingga jiwa seseorang atau bahkan keluarganya.

Jihad memiliki signifikansi yang besar dalam kehidupan seorang muslim. Allah, sebagaimana diungkapkan dalam Al-Quran, memerintahkan kaum muslim untuk memerangi kaum kafir dengan harta dan jiwanya (bi amwalihim wa anfusihim). Jika mereka melakukannya dengan niat yang benar, maka pahala yang besar sudah menanti mereka yang mati syahid (QS 3:169-172). Sebaliknya jika mereka gagal menjalankan kewajiban tersebut, maka selain cap munafik ganjaran berat pun menanti mereka (QS 9:81-82, QS 48:16).

Kendati demikian banyak hadis yang meriwayatkan betapa tipis batas antara mereka yang berjihad dengan niat semata demi Allah dan demi pamrih yang lain. Karenanya batas antara pahala surga atau ganjaran neraka pun hampir-hampir mustahil ditetapkan oleh manusia dengan menggunakan ukuran akalnya yang terbatas. Niat adalah wilayah hati, domain yang hanya Allah dan individu bersangkutan mampu menilainya dengan jujur tanpa bias.

Bersamaan dengan itu, kata crusade sebagaimana bisa dilihat di kamus thesaurus berarti campaign, movement, battle, cause, fight, war dan struggle. Crusade yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Perang Salib memang merujuk pada perang agama yang terjadi pada abad ke-11 dan 14 yang menimbulkan luka mendalam di kedua pihak yang terlibat. Kata ini tidak merujuk pada pengertian lain sebagaimana yang dikandung oleh kata jihad.

Kembali pada pengertian jihad, menurut The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World yang diedit oleh John L. Esposito dkk (1995), konsep jihad yang sekarang kita kenal merujuk pada peperangan antara suku-suku di utara jazirah Arab sejak masa pra Islam. Di antara suku-suku ini peperangan adalah sesuatu yang wajar dilakukan, kecuali ketika salah satu pihak sudah menyatakan gencatan senjata. Perang antarsuku juga dianggap tidak menyalahi hukum, dan kalau itu dilakukan sebagai mekanisme mempertahankan diri maka berarti ada justifikasi tambahan untuk itu.

Satu hal yang membedakan jihad dari perang biasa adalah kehadiran seorang pemimpin yang sah (legitimate) alias diakui secara luas kepemimpinannya. Tanpanya,  sebuah pertempuran tak bisa disebut sebagai jihad. Karena itu, dalam tradisi Syiah Imam Dua Belas misalnya, setelah gaibnya Imam terakhir pada tahun 873 tidak ada lagi perang jihad yang sifatnya ekspansionis. Namun perang mempertahankan diri tetap bisa disebut sebagai jihad.

Sebagaimana kaidah-kaidah jihad yang diajarkan oleh Rasulullah, perang antarsuku tersebut juga tidak mengizinkan para prajurit untuk membunuh anak-anak, perempuan dan orang tua. Mereka juga dilarang untuk membakar rumah-rumah dan merusak tanaman. Kaidah ini berakar pada ideal mengenai sikap ksatria yang memang dijunjung tinggi oleh suku-suku Arab ketika itu.

Dari perspektif sejarah, selain untuk tujuan penyebaran agama jihad juga berfungsi untuk meneguhkan legitimasi seorang penguasa. Setelah tahun 750 Islam mengalami kemunduran dalam hal politik. Wilayah kekuasaan Islam terpecah menjadi beberapa bagian yang masing-masing dikuasai oleh penguasa yang berbeda. Dalam kondisi seperti ini, seperti dicatat oleh penulis entri jihad dalam ensiklopedi tersebut, Rudolph Peters, jihad menjadi rawan untuk ditafsirkan sesuai kepentingan sang penguasa. Akibatnya jihad tidak hanya digunakan untuk memerangi kaum kafir dan munafik, tapi juga untuk memerangi sesama kaum muslim. Dan ini yang terbaca dari sejarah Islam abad ke-18 dan 19.

Belakangan, interpretasi terhadap kata jihad pun mengalami perubahan. Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), seorang pemikir muslim berkebangsaan India berpendapat bahwa jihad hanya dapat dilakukan pada situasi yang disebutnya sebagai opresi positif, yakni situasi di mana kaum muslim tidak memiliki kemerdekaan untuk beribadah dan menjalankan syariah Islam. Inggris, yang ketika itu menjajah India, dinilai Ahmad Khan tidak mencampuri aspek peribadatan kaum muslim India. Karena itu jihad melawan mereka adalah sesuatu yang tidak pada tempatnya, atau bahkan dilarang.

Seperti halnya Ahmad Khan, pemikir Islam selanjutnya seperti Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha juga menekankan pada ko-eksistensi antara muslim dan non-muslim, kendati masih ada juga yang berpendapat sebaliknya.

Sampai titik ini saya teringat pada seorang kawan muslimah asal London yang saya jumpai dalam acara Pertemuan Internasional Pertama Perempuan Pengikut Ahl-ul Bayt di Tehran, Iran, pekan terakhir Januari lalu. Menurutnya, di mata muslim Inggris Usamah bin Ladin bukanlah seorang pahlawan, karena akibat perbuatan yang dinisbahkan kepadanya itu (meski sampai sekarang juga belum ada bukti apakah Bin Ladin memang benar terlibat dalam serangan 11 September lalu itu) muslim Inggris mengalami kesulitan dalam keseharian mereka.

Hubungan yang semula sudah sangat baik antara muslim dan non-muslim di sana kini terganggu dan itu amat mempengaruhi anak-anak mereka di sekolah, orang tua di tempat kerja, serta lingkup pergaulan sosial mereka yang lain. Pandangan tentang Bin Ladin ini jelas berbeda 180 derajat dengan yang tampak di Indonesia dan Afrika Selatan. Teman saya lainnya, Adeela, seorang pengusaha percetakan di Cape Town mengaku kebanjiran order T-shirt, bandana, hingga banner bergambar Bin Ladin. Persis yang terjadi di Jakarta, saya pikir.

Maka sekarang ada pertanyaan yang harus kita jawab, yakni apakah pemahaman kita mengenai jihad harus hanya terbatas pada peperangan dan saling membunuh, kalau ternyata pengorbanan yang dimintanya terlalu besar untuk ditanggung. Tidakkah ini saatnya untuk memunculkan makna jihad yang lain, yang lebih manusiawi dan memanusiakan, yang lebih “feminin”?

Jihad perempuan, kata beberapa orang, adalah bekerja keras mengatasi segala persoalan yang riil dihadapi masyarakat sehari-hari: mengurangi angka kematian ibu dan bayi (meski ada juga yang bilang ibu yang meninggal karena melahirkan berarti syahid), meningkatkan angka melek huruf, membuka lapangan kerja yang akan menghidupi banyak orang, dan seterusnya. Tapi tantangannya juga tidak mudah: sanggupkah kita berjihad dalam diam, tanpa mengharapkan pengakuan publik? Jawabannya kembali berpulang pada hati sendiri, domain pribadi kita dan Allah saja.***

*Nurul Agustina, aktivis perempuan, wartawan Harian Republika.

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here