“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Telah berpulang ke rahmatullah, Sofiah binti Makmun. Meninggal dalam usia 45 tahun saat melahirkan anak ke-5. Insya Allah jenazah akan dikebumikan esok, Jum’at . . . ”
Setiap hari, di berbagai kawasan, berita kematian seorang ibu kerap terdengar, sehingga peristiwa itu sudah dianggap biasa saja. Tak ada yang istimewa. Akan halnya mati akibat persoalan yang terkait persalinan, itu juga wajar-wajar saja. Tiada yang aneh. Banyak kalangan menganggap itu sudah suratan kaum ibu. Oleh karenanya harus diterima dengan tulus ikhlas. Itu resiko yang bersifat kodrati. Semua itu merupakan konsekuensi karunia rahim kepada kaum perempuan. Tetapi benarkah masalahnya hanya sesederhana itu?
Ibu Sofiah dan berjuta-juta ibu lainnya telah kembali keharibaan Allah. Tetapi ada pertanyaan besar yang tak dibawa serta oleh mereka. Pertanyaan yang tak pernah lekang dari masa ke masa, sampai sejauh mana kehidupan dan nyawa kaum ibu itu dihargai?
Apa Arti Kemuliaan itu?
Adalah sebuah hadis yang amat populer. Isi Hadis tersebut mendudukkan kaum ibu tiga kali lebih “istimewa” dibandingkan kaum bapak (Ingat ummuka ummuka ummuka tsumma abuuka- ibumu ibumu ibumu kemudian baru ayahmu). Hadits lain yang tak kalah populernya adalah Al-jannatu tahta aqdam al-ummahat (Surga berada di bawah telapak kaki ibu). Katanya ini bukti penghargaan Islam terhadap seorang ibu. Pertanyaannya adalah bagaimana di dalam kenyataan? Apakah nilai kemuliaan yang telah diakui dan dipromosikan Islam itu tergambar dalam realitas? Nanti dulu. Lihat data dunia yang dikeluarkan United Nation Population Fund (UNFPA) “Setiap menit sekali seorang perempuan mati akibat reproduksi”. Dan diantara para syuhada itu banyak perempuan warga negara dunia ketiga yang beragama Islam.
Di Indonesia, negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia, angka kematian ibu demikian membumbung. Pernah mencapai 425 per 100.000 kelahiran. Bandingkan dengan negeri jiran, Singapura misalnya, konon katanya pernah “hanya” berkisar 6 jiwa per 100.000 kelahiran atau negara tetangga Pilipina “hanya” 26 jiwa per 100.000 kelahiran. Kenyataan ini seharusnya membuat kita malu (karena malu sebagian dari iman – al hadist) dan sangat perlu berbenah total.
Manipulasi Semangat Berkorban
Untuk itu salah satu langkah yang perlu dilakukan adalah mencermati ikhwal kematian ibu secara menyeluruh, akurat dan jujur, termasuk melacak sebab musababnya. Dalam hal ini harus diakui bahwa masalah kematian ibu terkait dengan banyak sebab. Mulai dari tidak memadainya fasilitas kesehatan masyarakat yang sensitif gender hingga dalamnya resapan nilai-nilai yang amat merugikan kaum perempuan di dalam benak masyarakat, termasuk dalam diri kaum ibu itu sendiri.
Dalam konteks ini saya teringat pendapat seorang aktivis yang diutarakan dinsebuah forum diskusi tentang hak reproduksi perempuan. Analisisnya menarik. Menurutnya, salah satu faktor penghambat peningkatan status kaum ibu berakar pada budaya yang mengobar-ngobarkan semangat rela berkorban para ibu kepada “yang selain dirinya”. Bisa keluarga, masyarakat atau negara. Dan dorongan berkorban ini dipigura dan diabadikan dalam berbagai medium kebudayaan seperti film, bahan bacaan, tayangan internet, tafsir keagamaan bahkan pada nyanyian kanak-kanak. Coba saja simak pesan dasar lagu kasih ibu yang amat tersohor itu.
Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa
hanya memberi tak harap kembali
bagai sang surya menyinari dunia
“Lagu yang seringkali dinyanyikan dengan penuh perasaan ini sudah waktunya dikaji secara kritis sebagaimana berbagai produk kebudayaan dominan lainnya”, Sambung sang aktivis berapi-api. Mengapa? Karena di dalamnya terkandung nilai yang tidak memanusiawikan kaum perempuan (baca: kaum ibu). Nilai itu merasuk dan bekerja dengan amat halus. Penuh daya bujuk. Sampai kita semua terlena dan tak sadar bahwa kita sebenarnya berada dalam proses menggali “kubur duniawi” bagi kaum ibu.
“Mari kita pertanyakan apakah wajar seorang ibu hanya dituntut untuk memberi dan tak boleh menerima (seperti tamsil sinar surya)? Dengan kata lain, apakah wajar seorang ibu hanya dituntut menunaikan kewajibannya tanpa boleh menuntut haknya? Manusiawikah itu? Ingat ibu kita adalah manusia biasa. Ia bukan malaikat atau matahari” Gugah sang aktivis
Jihad kaum Ibu ?
Pada titik ini tampaknya kita berhak khawatir bahkan curiga jangan-jangan cara berfikir seperti di atas telah pula memberi andil bagi proses manipulasi pesan mulia Islam terhadap kaum ibu.
Coba simak penafsiran keagamaan yang menyatakan bahwa kematian akibat melahirkan merupakan “mati syahid”. Boleh jadi pemahaman ini telah dipakai sebagai “permakluman” terhadap melayangnya nyawa kaum ibu. Paling tidak obrolan di warung mpok Jaja setelah maklumat kematian bu Sofiah merupakan sebuah contoh yang memprihatinkan.
“Akh akhirnya Bu Sofi meninggal juga. Bagaimana nasib anak-anaknya ya? Kasihan bener si orok. Lahir langsung piatu. Siapa ya yang ngurusin nantinya?” guman jeng Ati.
“Kongkret aja, Jeng. Saya mau jadi Pak Comblang untuk mencari siapa yang berminat untuk menjadi ibu sambung 5 anak almarhumah itu. Banyak pahalanya lho miara anak piatu. Apalagi bersuamikan Pak Haji Rowi yang juragan tambak itu. Bisa sering naik haji plus naik mobil Kijang terbaru, he…he…” sambung Pak Kasim.
“Pak Kasim ini gimana tho. Jenazah almarhumah pasti masih hangat, kok ya sudah berfikir yang tidak-tidak. Mbok ya berperasaan sedikit. Kasian amat Bu Sofi,“ sela Mak Juminten.
Pak Kasim terdiam sejenak namun segera buka suara, “Menurut saya yang kasihan justru lakinya yang masih hidup. Khan harus ngurus 5 anak. Yang meninggal mah sudah enakan. Sudah pasti masuk surga. Kita semua khan tahu bahwa meninggal saat melahirkan itu sama dengan mati syahid. Itu termasuk jihad lho…”
Nah, kali ini giliran kematian akibat melahirkan dilegitimasi dengan kosakata jihad yang lagi ngetrend itu. Sungguh ironis. Pada titik ini tampaknya kita harus berhenti “mengkeramatkan” dan “merayakan” kematian para ibu. Apalagi memakai alasan keagamaan. Karena berdasarkan data yang menyayat hati (sekali lagi ingat : setiap satu menit sekali seorang perempuan mati akibat reproduksi) dan terlebih lebih pesan mendasar Islam, sesungguhnya mandat utama kita adalah berjihad untuk merayakan kehidupan. Bukan sebaliknya (ciek)