Ketika dunia meniscayakan pluralitas kehidupan, maka dialog menjadi satu-satunya media untuk memperjuangkan ide, gagasan, atau pemikiran, juga kebenaran agama. Segala bentuk kekerasan fisik menjadi tidak absah, bahkan ditentang.

Karena itu jihad dengan makna perang menjadi tidak relevan untuk kondisi sekarang. Saatnya jihad dikembalikan kepada makna awalnya, sebagai kesungguhan untuk memperjuangkan persaudaraan, perdamaian dan keadilan, yang tentu merupakan risalah utama Islam. Dalam hal demikian, perempuan – yang selalu disimbolkan dengan kedamaian – menjadi paling berhak untuk memegang kendali (jihad) dan mewarnai perjuangan keadilan dan kedamaian.

Dalam banyak ritual keagamaan (baca: ibadah) yang bersifat publik, perempuan sering tidak dilibatkan secara penuh. Jihad – dalam pandangan keagamaan konvensional –  merupakan salah satu ibadah publik yang meletakkan perempuan secara tidak setara dengan laki-laki. Sehingga jihad, dengan makna apapun, bagi perempuan hanya seputar kasur, dapur dan sumur, atau – kalaupun berarti perang – jihad perempuan hanya berkisar pada jasa pelayanan, perawatan dan hiburan. Ini merupakan domestifikasi terhadap perempuan melalui ajaran keagamaan, yang tentu tidak sejalan dengan semangat kesetaraan dan keadilan Islam.

Pemaknaan ulang terhadap jihad dengan demikian menjadi sebuah keharusan, bahkan keniscayaan. Apalagi dalam kaitannya dengan peran perempuan dan kondisi kontemporer yang sudah sedemikian mereduksi makna jihad, sehingga ia tidak dipahami kecuali dengan arti perang atau kekerasan fisik. Jihad dengan makna perang harus dipahami sebagai historisitas persinggungan umat masa lalu dengan umat-umat lain pada masanya. Dalam bacaan klasik sekalipun, jihad pada awalnya tidak dimaknai perang atau kekerasan fisik, sehingga pemaknaan ulang – disamping perlu dan niscaya – juga bisa menemukan rujukannya dari teks-teks awal seperti al-Qur’an dan hadis.

Jihad Klasik: Mencari Makna yang Otentik

Jihad, oleh Muhammad bin Abi Bakr al-Razi (w. 666H/1268M) dalam kamus Mukhtar al-Shihah, diartikan sama persis dengan kata mujahadah, ijtihad dan tajahud, yaitu mengeluarkan segala daya kemampuan (badzl al-wus’). Dalam penulusuran Ibn Manzur (630-711H/1232-1311M) terhadap seluruh derivasi kata jihad dalam bait-bait sya’ir Arab, maknanya juga hanya berkisar pada arti al-juhd yaitu mengeluarkan daya, upaya, kemampuan dan kekuatan, dan kata al-jahd yaitu kesungguhan, atau sesuatu yang menyusahkan dan melelahkan. Diantaranya dikenal kata jahad bagi ‘tanah yang sulit dijadikan lahan untuk bercocok tanam’. Bahkan persenggemaan (hubungan intim) juga bisa dikatakan jihad, karena perlu kesungguhan dan upaya yang cukup melelahkan (Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, juz 3, pp.133-135). Artinya, dalam bahasa awal, kata jihad hanya mengenal makna-makna daya, kemampuan, kesungguhan, kekuatan dan sesuatu yang menyusahkan, tidak mengenal makna yang lain.

Lafal jihad telah dikenal sebelum al-Qur’an diturunkan. Kemudian al-Qur’an menggunakannya, termasuk untuk ayat-ayat yang awal turun. Adalah suatu kekeliruan serius kalau dikatakan bahwa kewajiban jihad baru dimulai pada masa Nabi Saw di Madinah. Perintah jihad telah diturunkan pada periode Mekkah, bahkan dalam al-Qur’an Mekkah ada satu ayat yang menggunakan kata jihad dengan ungkapan jihadan kabiran (jihad agung, atau sepenuh jihad – ungkapan yang tidak ditemukan pada ayat-ayat lain. Dalam surat al-Furqan ayat 52, Nabi Muhammad Saw diperintahkan untuk berjihad terhadap orang-orang kafir sepenuh jihad (jihadan kabiran) dengan al-Qur’an, bukan dengan pedang atau kekerasan. Mungkin di sini perlus disitir ayat tersebut:

“Dan sesungguhnya Kami telah mempergilirkan hujan itu di antara manusia supaya mereka mengambil pelajaran (daripadanya); maka kebanyakan manusia itu tidak mau kecuali mengingkari (ni’mat) (50); Dan andaikata Kami menghendaki, benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasul) (51); Maka janganlah kamu (wahai Muhammd) mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Qur’an dengan jihad yang besar” (52).

Ayat lain tentang jihad yang diturunkan di Mekkah adalah surat al-Nahl. Pada ayat 110 disebutkan bahwa orang-orang yang berhijrah menghindari kekerasan, kemudian berjihad dan bersabar akan memperoleh ampunan dan kasih sayang dari Allah Swt. Sementara ayat 69 dari surat al-‘Ankabut, yang juga diturunkan di Mekkah, dijelaskan bahwa orang-orang yang berjihad di jalan Allah akan ditunjukkan jalan oleh-Nya.

Jihad dalam ayat-ayat Mekkah ini tentu tidak bisa dimaknai kekerasan fisik atau perang terhadap musuh dan lawan, apalagi kawan, karena priode Mekkah adalah priode totalitas kepasrahan, kesabaran dan kesungguhan selama tiga belas tahun untuk memperjuangkan risalah Islam, tanpa kekerasan. Priode Mekkah adalah priode pebentukan, peletakan, perkenalan dan pertautan dengan berbagai komunitas, yang memerlukan dialog yang cukup intens.

Pada masa ini, jihad merupakan komitmen untuk menyampaikan pesan kebenaran dan keadilan dengan kesiapan yang prima untuk menanggung segala resiko. Bagi DR. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, jihad dengan makna ini adalah prinsip yang paling mendasar bagi dakwah Islam. Kita sama sekali tidak bisa mengatakan bahwa Nabi Saw tidak melakukan jihad-perang di Mekkah, karena dia takut atau tidak berani berhadapan dengan orang-orang kafir. Tetapi semua itu karena perintah dan prinsip. Artinya ‘jihad’ denga makna dakwah tanpa kekerasan adalah prinsip, sehingga makna dasar jihad sama sekali tidak merujuk kepada kekerasan atau perang tapi lebih kepada makna kebijakan dan kesungguhan dalam menyampaikan kebenaran (Al-Buthy, al-Jihad fi al-Islam; Kaifa Nafhamuhu wa Numarisuhu, 1996, Dar al-Fikr, Damaskus-Syira, pp. 12-22).

Jihad bermakna dakwah Islam dengan tutur yang baik (al-mau’izhah al-hasanah) dan dialog yang bijak (al-mujadalah al-hasanah) adalah prinsip. Sehingga pemaknaan jihad selain kesungguhan dan kebijakan bukan merupakan prinsip awal, tetapi harus dipahami sebagai kondisional, temporer dan berkaitan erat dengan latar kondisi sekitar. Pemaknaan ini mungkin mengalami kekaburan terutama karena ayat-ayat jihad juga turun di Madinah, di mana umat Islam menghadapi serangan-serangan militer dari musuh sekitar dan trik-trik pengkhianatan dari dalam. Sehingga tidak sedikit juga ulama yang memaknai jihad dengan perang fisik demi agama. Ibn Manzur juga mensitir makna ini, bahwa jihad fi sabilillah adalah muharabat al-a’da, atau memerangi musuh-musuh.

Al-Qur’an sendiri menyebut terma khusus untuk makna perang fisik, yaitu al-qital dan al-muharabah, atau al-hirabah, yang tentu memiliki syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan tersendiri. Al-Qur’an tentu mempunyai maksud tersendiri ketika harus membedakan antara jihad dan qital (perang fisik). Jihad tidak bisa disamakan denga qital, karena al-Qur’an sendiri tidak menyamakannya. Artinya, jihad tidak harus dimaknai dengan perang fisik, atau qital. Terma jihad semestinya dikembalikan kepada makna awal pada priode Mekkah. Yaitu segala upaya yang sungguh-sungguh dalam memperjuangkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Beberapa ulama klasik juga menyadari hal ini, sehingga untuk membicarakan konsep perang dalam Islam mereka lebih memilih terma al-sayr, atau al-ghazawat atau al-ma’rakah, daripada istilah jihad.

Ungkapan jihadan kabiran oleh al-Qur’an terhadap jihad Mekkah yang tanpa kekerasan adalah sebuah pengukuhan bahwa jihad bukanlah kekerasan fisik, tapi pengerahan segala daya dan kekuatan dengan penuh kesungguhan dalam memperjuangkan nilai-nilai kebenaran. Dalam berbagai teks hadis, jihad juga tidak hanya dimaknai perang fisik. Artinya, Nabi Saw sendiri melakukan berbagai pemaknaan terhadap jihad, sehingga ia menjadi teks yang terbuka terhadap banyak makna. Diantaranya bahwa jihad yang terbaik adalah menyampaikan kebenaran kepada kekuasaan yang otoriter dan penundukan hawa nafsu. Bahwa jihad terkecil (ashghar) adalah perang; sementara jihad terbesar (akbar) adalah penundukan hawa nafsu. Juga, bahwa sebaik-baik jihad adalah ibdaha haji ke Mekkah.

Suatu saat Aisyah r.a. bertanya tentang jihad bagi perempuan, lalu dijawab oleh Nabi Saw: “Jihad kamu sekalian adalah pergi haji” (Ibn Hajar al-‘Asqallani, Fath al-Bari, juz 6, p. 168). Artinya, haji termasuk jihad, atau jihad adalah juga haji. Pernyataan ini tentu tidak bermaksud memetakan wilayah jihad bagi perempuan, tetapi membuka teks bahwa jihad juga adalah haji. Begitu juga pernyataan Nabi Saw terhadap perempuan yang datang menanyakan tentang jihad, bahwa pengurusan rumah tangga juga memiliki nilai yang sama dengan jihad (lihat: Ta’liq wa Takhrij ‘ala Syarh ‘Uqud al-Lujain, p. 43-45). Ini harus dipahami sebagai pembukaan lafal jihad terhadap banyak pemaknaan, bukan sebagai pemetaan jihad perempuan, apalagi pelarangan dan domestifikasi peran perempuan. Karena kesimpulan pemetaan dan pelarangan akan menafikan banyak sekali para sahabat perempuan yang tercatat sebagai srikandi perang bersama Nabi Saw. Sebutlah misalnya Nusaibah bint Ka’ab ra, Umm ‘Athiyyah ra, Al-Rabi’ bint al-Mu’awwidz ra, Umm Sulaim ra dan beberapa perempuan lain.

Memang dalam disiplin ilmu fiqh – yang melihat Islam dari sisi hukum – jihad sering dimaknai perang. Ulama fiqh hanyut dengan pemaknaan ini, sehingga membuat makna awal dari jihad semakin kabur. Sebutlah misalnya, Imam al-Thabari (224-310H/839-923M) menulis kitab al-Jihad dalam fiqhya, juga Ibn Rushd (520-595H/1126-1198M) dalam kitabnya Bidayat al-Mujtahid. Tetapi perlu juga ditegaskan bahwa Ibn Rushd sendiri menyatakan bahwa jihad dalam Islam ada empat macam; jihad dengan hati, jihad dengan lidah, jihad denga tangan dan jihad dengan pedang. Artinya, bagi Ibn Rushd, jihad perang hanya merupakan salah satu makna saja, bukan seluruh makna.

Mahmud bin Umar Al-Bajuri (w. 1323H/1905M) seorang ulama fiqh Syafi’i juga menyatakan bahwa jihad bisa berarti perang fisik melawan musuh-musuh agama, tetapi ini jihad kecil, sedangkan jihad besar adalah kesungguhan untuk membersihkan jiwa dan menundukkan hawa nafsu (Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Ibn Qasim, juz 2, p. 268). Tetapi penjelasan demikian tidak cukup untuk mengembalikan makna awal jihad, karena nyatanya fiqh sendiri hanya memberikan ‘porsi penjelasan’ secara panjang lebar tehadap ‘jihad-perang’, tidak kepada jihad yang lain.

Konsep ‘jihad-perang’ dalam disiplin ilmu fiqh telah ditulis pertama kali secara komprehensif oleh ‘Abd al-Rahman al-Auza’i (88-157H/707-774M) dan Muhammad Al-Syaibani (131-189H/748-804M). Bagi banyak ulama, ‘jihad-perang’ dalam Islam memiliki moralitas yang cukup tinggi yang tidak dimiliki oleh peradaban lain. Sebutlah misalnya kewajiban mengajak kepada agama kebenaran (Islam) terlebih dahulu, mengumumkan perang, perang untuk pembelaan kaum lemah (mustadl’afin), perang untuk pembelaan dan pertahanan (defensif) terhadap keyakinan dan kebenaran bukan untuk invasi dan penguasaan sumber-sumber ekonomi, larangan membunuh dalam perang selain prajurit yang terlibat perang, misalnya anak-anak, perempuan dan orang tua, larangan membakar pohon, membunuh binatang, menghancurkan gedung-gedung, meminimalisir korban setinggi mungkin dan mengawali seruan gencatan senjata (lebih lengkap lihat Dr. Wahbah al-Zuhaili, Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islami; Dirasat Muqaranah, 1981, Dar al-Fikr, Damaskus-Syria).

Dalam konsep ‘jihad-perang’, perempuan diperlakukan tidak sama dengan laki-laki. Dalam hal kewajiban berperang misalnya, perempuan disamakan dengan anak-anak kecil, orang sakit, orang pincang, orang buntung, orang buta, orang yang lumpuh dan orang-orang jompo. Perempuan tidak diwajibkan perang sama seperti mereka, karena dianggap lemah (lidha’ fihinna), atau tidak memiliki kualifikasi yang diperlukan untuk berperang. Perempuan adalah mahluk lemah yang harus dibela, bukan makhluk kuat yang membela. Bahkan ada sebagian yang menyatakan bahwa perempuan, karena kelemahannya diharamkan untuk ikut berperang (lihat Al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, juz 4, p. 216).

Dalam pandangan DR. Wahbah al-Zuahili, penulis fiqh yang cukup terkenal, bahwa perempuan dilarang pergi berperang karena mereka terikat dengan kewajiban ‘pelayanan’ terhadap suami mereka, sama seperti hamba sahaya yang memiliki keterikatan kewajiban pelayanan terhadap tuannya. Artinya, perempuan bisa diperkenankan pergi berperang, apabila memperoleh restu dari suaminya, kecuali dalam keadaan darurat dimana musuh menyerang masuk ke dalam wilayah umat Islam, maka semua berkewajiban perang termasuk perempuan (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz 6, pp. 418-419).

Dengan alasan yang sama (yaitu kelemahan), perempuan musuh harus juga dilindungi, tidak boleh dibunuh dan ketika selesai perang secara otomatis langsung menjadi budak dan hamba sahaya bagi umat Islam, dengan dalih perlindungan. Tidak seperti laki-laki yang diserahkan kepada keputusan pemerintah, antara dibunuh, dibebaskan, ditawan, dijadikan tebusan, atau dijadikan hamba sahaya. Perempuan hanya dihadapkan pada satu pilihan, yaitu perbudakan yang tentu menistakan – sekalipun demi perlindungan – sementara laki-laki bisa lebih dari satu pilihan.

Konsep ‘jihad-perang’ dalam fiqh tidak terlepas dari historisitas masa lalu umat Islam. Bahkan kalau dirunut ke belakang hingga pra-Islam, kabilah-kabilah Arab Utara juga memiliki kebiasan-kebiasan perang yang penuh moralitas yang kemudian dibanggakan sebagai moralitas Islam. Konsep ‘jihad-perang’ juga mengalami perkembangannya bersamaan dengan ekspansi-ekspansi yang dilakukan oleh para khalifah, sejak al-khulafa al-rasyidun. Apalagi konsep ini memperoleh dukungan penuh dari setiap penguasa dalam sejarah Islam. Pertama, karena konsep ini akan mempermudah mobilisasi massa untuk bergabung dalam pasukan penguasa untuk melawan musuh (orang-orang kafir), karena mereka dijanjikan pahala dari Allah Swt dan jika gugur akan langsung masuk surga. Kedua akan menambah legitimasi penguasa di depan rakyatnya. Ketika wilayah-wilayah umat Islam telah terpecah, maka pemakluman ‘jihad-perang’ terhadap orang-orang kafir dan kemampuan untuk menundukkan mereka akan menambah legitimasi serta simpati rakyat terhadap suatu penguasa Islam yang berjihad-perang dari penguasa-penguasa yang lain. Kita juga tidak bisa menutup kenyataan sejarah bahwa banyak gerakan-gerakan pemurnian dalam Islam yang memaklumkan ‘jihad-perang’ terhadap lawan-lawan mereka, yang muslim dan non-muslim.

Artinya, politisasi ‘jihad-perang’ telah terjadi dengan sangat kentara, sehingga sangat sulit sekali untuk membedakan antara konsep asal yang a-politis dan konsep derivasinya yang politis. Politisasi ini tentu saja dilatari oleh berbagai hal yang sarat dengan nilai-nilai duniawi, sesaat dan tidak menyentuh risalah Islam. Tidak menutup kemungkinan pelarangan perempuan untuk berjihad-perang juga dilatari muatan-muatan politis, atau setidaknya politik yang didominasi laki-laki. Ini semua, meniscayakan adanya pemaknaan ulang terhadap makna jihad dan terhadap pelibatan perempuan dalam jihad. Apalagi al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa jihadan kabiran itu jihad yang non-violence, tanpa kekerasan.

Jihad: Perjuangan untuk Keadilan

Umat sekarang ini tidak pernah bisa terlepas dari sejarahnya di masa lalu, termasuk dalam hal pemaknaan jihad. Dalam analisis Douglass E. Streusand terhadap pemaknaan jihad dalam literatur-literatur Islam, selalu ada dua pemaknaan antara jihad perang (warfare) dan jihad bukan perang (non-warfare), baik dalam literatur klasik maupun modern. Saat ini, bagi Streusand, umat Islam memiliki setidaknya empat arti jihad; pertama arti legal klasik yaitu konsep perang yang penuh dengan aturan-aturan; kedua arti gerakan politik untuk menggulingkan pemerintah yang zalim; ketiga arti gerakan moral sufi dan keempat gerakan reformasi untuk mengembalikan kejayaan Islam melalui penguatan-penguatan pendidikan, sosial dan ekonomi (lihat Duoglas E. Strausand, What Does Jihad Means?, Middle East Quarterly, September 1997).

Dalam dunia kontemporer sekarang, tidak sedikit umat Islam yang memaknai jihad dengan perang suci untuk melawan musuh. Gerakan-gerakan Islam revivalis dan fundamentalis (Islam garis keras) masih mempergunakan makna ini. Seperti Hasan al-Banna dalam bukunya Risalah Jihad, Abu al-A’la al-Mawdudi, Muhammad Syaltut, Sayyid Sabiq, Imam Khomaeni. Bahkan dari kalangan sekuler, seperti Jamal Abdul Naser saat perang Arab-Israel, Yasir Arafat untuk pembebasan Palestina dan Saddam Husein ketika dikepung oleh tentara multinasional.

Pemaknaan ini bagi sebagian orang masih memiliki pengaruh yang cukup untuk memoblisasi masa demi membentuk kesatuan politik, sosial atau ekonomi. Tetapi realitas yang lebih nyata memperlihatkan bahwa spirit perang dalam ‘jihad’ telah kehilangan pengaruh di mata umat Islam. Umat telah menghadapi berbagai tantangan yang cukup kompleks yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan ‘jihad perang’. Ketika Turki Usmani memaklumkan ‘Deklarasi Jihad’ pada tahun 1914 untuk melawan imperialisme Barat ternyata tidak direspon dengan baik oleh negara-negara Arab dan Islam. Padahal fatwa-fatwa jihad telah dikeluarkan dalam berbagai bahasa. Saddam Husein juga ketika berhadapan dengan Amerika dan pasukan multinasional juga memanfaatkan semangat ‘jihad’, tetapi ternyata gagal. Yang masih segar dalam ingatan adalah seruan ‘jihad’ dari pemerintah Thaliban Afghanistan ketika menghadapi Amerika, ternyata tidak memberikan pengaruh yang cukup, bahkan terhadap negara-negara yang secara resmi mendaulatkan syari’at Islam seperti Pakistan, Iran dan Saudi Arabia. Ada perubahan pandangan terhadap terminologi jihad, baik sebagai konsep ajaran agama, maupun sebagai fenomena sosial.

Umat telah menemui kesadarannya sendiri ketika menghadapi tantangan yang begitu kompleks, sehingga ‘jihad-perang’ dianggap tidak banyak menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Bahkan tidak sedikit, ‘jihad-perang’ ketika ia bersinggungan dengan berbagai kepentingan dan fanatisme, justru membentuk militansi yang mengancam kesatuan dan persatuan, serta melahirkan kekerasan-kekerasan yang menistakan. Rakyat Afghanistan ketika dengan semangat ‘jihad perang’ berhasil mengusir Uni Soviet, tetapi kemudian tidak dapat menyatukan diri mereka untuk menyelesaikan persoalan dan membangun kehidupan, malah saling berperang satu sama lain. Anehnya, semua mengatasnamakan dan memanfaatkan ‘jihad’.

Jihad saat ini tidak harus dimaknai perang. Fazlur Rahman menyerukan bahwa jihad harus dimaknai kesungguhan untuk membangun ketangguhan umat, baik ekonomi maupun politik. “Tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an memerintahkan umat Islam untuk membangun politik egaliterian dan misi keadilan sosial, dan instrumennya adalah jihad” (Fazlur Rahman, Major Themes of  the Qur’an, pp. 63-64). Mawlana Abu al-Kalam Azad, seorang pujangga India dan negarawan ulung, juga melihat bahwa ‘jihad-perang’ sudah tidak releven lagi untuk masa sekarang, ia hanya bersifat temporer. Padahal, jihad adalah bekerja keras, kesungguhan dan perjuangan seorang Muslim seumur hidup. DR. Munawwar Ahmad Anees juga menyatakan hal yang sama, bahwa jihad adalah upaya yang terarah dan terus menerus untuk menciptakan perkembangan (development) Islam. Itulah jihad fi sabilillah atau berjuang di jalan Allah. (Dawam Raharjo, Esiklopedi al-Qur’an, Mizan, Bandung, p. 515-516).

Tantangan-tantangan kehidupan membangunkan kesadaran komunal umat Islam untuk memaknai jihad tidak dengan jihad bi al-saif (pedang/perang), tetapi jihad bi ql-qalb (pembentukan kesadaran), jihad bi al-lisan (pembentukan keahlian tutur), jihad bi al-mal (pembentukan kesejahteraan ekonomi), jihad al-tarbiyah (perjuangan pendidikan), jihad al-da’wah (perjuangan penyampaian kebenaran), jihad al-musawah (perjuangan sosial dan egaliterianisme).

Seperti yang dikatakan oleh Abu Bakr al-Razi (w. 666H), jihad adalah badzl al-wus’ wa al-juhd (total endevour), pengerahan secara total dari seluruh tenaga, daya, dana dan pikiran untuk mewujudkan nilai-nilai Islam yang paling substansial seperti keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan untuk semua, tanpa membedakan ras, suku, warna kulit, bahkan agama dan kepercayaan.

 

Baca Juga:

Fokus 2: Jihad Perempuan

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here