Penjelasan di atas sebenarnya sudah cukup untuk menegaskan bahwa tidak ada pemetaan wilayah terhadap jihad perempuan yang berbeda dari jihad laki-laki, baik dari segi bentuk, maupun prakteknya. Tidak bisa dikatakan bahwa kalaupun perempuan diperkenankan ikut berjihad, maka wilayahnya hanya sebatas pelayanan, perawatan, atau hiburan. Hadis yang berbicara mengenai hal ini, yaitu:
Dari Al-Rabi’ bin Al-Mu’awwidz r.a. berkata: “Kami (para perempuan) ikut berjihad bersama Nabi Saw, memberi minum, mengobati tentara yang terluka dan membawa mereka yang terbunuh ke Madinah”. (HR. Al-Bukhari, hadis no. 2882).
Teks hadis ini masuk dalam kategori teks naratif (nash khabari) yang hanya menceritakan aktivitas sebagian perempuan dalam perang bersama Nabi Saw. Ia sama sekali tidak menyiratkan pemetaan wilayah jihad bagi perempuan, apalagi pelarangan sebagian aktivitas dari aktivitas yang lain. Pernyataan Imam al-Bukhari, melalui penamaan bab-bab yang ditulisnya – seperti yang telah disebut di atas – sudah cukup menegaskan bahwa pemetaan itu tidak ada dan tidak perlu ada.
Dengan merujuk kepada teks-teks hadis di atas dan pemaknaannya, Islam sama sekali tidak membedakan perempuan dari laki-laki dalam ibadah jihad, baik dalam hal kewajiban maupun pembagian pelaksanaannya. Di dalam al-Qur’an sendiri sama sekali tidak ada penafian kewajiban dari perempuan, apalagi pelarangan. Keringanan yang disebutkan dalam al-Qur’an (QS. 9:91 dan 48:17) hanyalah diarahkan kepada orang-orang yang secara fisik lemah, sakit, cacat, tetapi sama sekali tidak mengarah kepada jenis kelamin. Kondisi yang disebutkan dalam ayat-ayat ini bisa dialami oleh perempuan, seperti juga bisa dialami oleh laki-laki. Artinya, al-Qur’an sendiri sebenarnya sangat obyektif.
Karena itu, Hibah Rauf Izzat, dengan merujuk ke berbagai pandangan fiqh, melihat bahwa jihad, jika dimaknai sebagai pertahanan negara, adalah merupakan konsekuensi logis dari kontrak (bai’at) setiap warga terhadap institusi negara. Ia tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin, sehingga yang satu diwajibkan dan yang lain tidak, atau yang satu wilayahnya hanya sebagian aktivitas dan yang satu sebagian yang lain. Tetapi terkait dengan kemampuan, kesiapan dan kemauan. Perempuan yang mampu dan mau, harus diterima dan dilibatkan dalam jihad-pertahanan negara. (lihat al-Mar’ah wa al-‘Amal al-Siyasi; Ru’yah Islamiyyah, Virginia, USA, 1995, pp. 149-163).
Dengan demikian, praktik-praktik diskriminatif terhadap perempuan sebenarnya tidak menemukan legitimasinya dari agama, yang ada hanya dari penafsiran dan pemaknaan yang jelas dipengaruhi oleh kondisi tempat dan waktu. Untuk itu, saatnya perempuan (atau perspektif perempuan) juga melakukan penafsiran dan pemaknaan untuk kepentingan keadilan bagi semua.
Baca Juga:
Dirasah Hadis 1: Perempuan dan Hadis-hadis Jihad
Dirasah Hadis 2: Jihad Perempuan adalah Ibadah Haji