Minggu pagi, 27 Januari 2002. Seorang perempuan muda berjalan di keramaian ibu kota Palestina yang kini dikuasai Israel. Di Yaffa Street, jantung kota Yerusalem, perempuan Palestina itu meledakkan bom yang dibawanya. Tubuh Wafa Idris, perempuan berusia 28 tahun itu, hancur berkeping-keping bersamaan dengan suara ledakan bom (Koran Tempo, 2/2/2002).

Dalam konteks perjuangan orang Palestina, Wafa adalah perempuan pertama yang menjadi pelaku bom bunuh diri. Namun ia bukan perempuan pertama yang mengorbankan diri sebagai boomer. Sebelumnya Rajiv Rajif Gandhi dibunuh oleh kelompok Macan Tamil melalui boomer perempuan yang juga meledak bersama bom tersebut.

Perempuan memang sering dimanfaatkan untuk  kepentingan diluar dirinya. Peristiwa yang menimpa Wafa dan Rajiv Gandhi hanya dua contoh yang paling ekstrem. Di luar dua contoh ini, masih banyak contoh lain yang – meski tidak sedramatis dua contoh tadi – melibatkan perempuan. Ketika Iran bergolak, perempuan juga dijadikan alat untuk menyelundupkan senjata. Mereka tidak diperiksa oleh lasykar laki-laki, karena laki-laki memang tidak boleh memeriksa perempuan, hukumnya haram. Padahal di balik pakaian burqa, mereka membawa senjata.

Contoh-contoh di atas adalah bentuk paling ekstrem dari apa yang mungkin bisa disebut sebagai “jihad perempuan”. Di Tanah Air, aksi perempuan tidaklah “sekeras” yang disebutkan di atas. Namun demikian, ketika Afganistan bergolak, tidak sedikit perempuan Indonesia yang mendaftar untuk ikut berjuang di sana. Padahal, keterlibatan tersebut hampir-hampir tidak mewakili kepentingan perempuan di dalamnya. Dalam bahasa yang lebih tegas, perempuan berjuang bukan untuk kepentingannya, tetapi untuk “cita-cita” yang sangat dikuasai oleh maskulinitas.

Keterlibatan perempuan dalam isu jihad mengubah tidak hanya citra mengenai jihad, tapi juga citra perempuan itu sendiri. Orang tidak mengira bahwa perempuan bisa melakukan kekerasan, karena citra kelembutan sudah cukup melekat pada diri perempuan. Tapi justru citra kelembutan inilah yang dijadikan alat oleh beberapa orang untuk melakukan kekerasan dengan memanfaatkan perempuan. Jihad dipahami sebagai cara untuk mencapai tujuan melalui kekerasan. Ironisnya, pemahaman ini justru dilegitimasi dengan teks-teks suci yang telah mereka tafsirkan sendiri untuk menjustifikasi pilihan tersebut.

Jihad adalah cara untuk memperjuangkan sesuatu yang dianggap benar. Namun, tidak jarang terjadi tumpang tindih antara cara dan tujuan. Bahkan kadang jihad telah menjadi tujuan itu sendiri. Kenekatan kalangan Islam garis keras di Indonesia yang ingin ikut berjihad di Afghanistan memperlihatkan seolah-olah jihad telah menjadi tujuan. Seolah-olah penyelesaian persoalan hanya bisa dilakukan dengan jihad dalam arti angkat senjata.

Sebagai media, tentu saja jihad tidak bisa mengambil bentuk sendiri. Ia harus tunduk pada cita-cita. Jika tujuannya adalah menciptakan kedamaian, maka media yang harus ditempuh tentu saja harus dengan cara-cara damai. Perang hanya salah satu cara dari sekian banyak alternatif. Bahkan ia harus menjadi cara paling akhir ketika upaya damai sudah sama sekali tidak bisa dilakukan. Prosedur ini pun tidak bisa dengan serta merta diputuskan. Harus ada persyaratan-persyaratan ketat untuk menuju pilihan terakhir. Penyelesaian masalah melalui jalan kekerasan (perang) terlalu kompleks untuk dijadikan alternatif untuk menciptakan kedamaian.

Jihad Kemanusiaan

Jika jihad dimaknai sebagai perjuangan kemanusiaan, maka subyek jihad sebetulnya tidak hanya laki-laki; perempuan pun punya hak yang sama untuk mengklaim apa yang dilakukannya sebagai jihad. Itulah yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini di tanah air. Dalam banyak hal, aksi damai untuk menyalurkan tuntutan dan aspirasi sudah banyak yang dilakukan perempuan. Dan, uniknya, berbeda dengan laki-laki yang cenderung melakukan orasi dalam setiap aksinya, perempuan cenderung mengekspresikan aspirasinya dalam bentuk-bentuk yang lebih  feminim. Salah satu yang sering dilakukan adalah membagi-bagikan bunga kepada setiap orang di jalan yang di dalamnya disertai dengan pesan-pesan damai.

Upaya “jihad” semacam ini bahkan tidak hanya dilakukan kalangan aktivis perempuan dengan seruan-seruan perdamaian, tetapi juga oleh kelompok lain yang secara kategoris disebut sebagai Islam skriptualis. Dalam setiap aksinya, mereka selalu mengggunakan perempuan berjilbab sebagai unjung tombaknya.

Itulah sebabnya, seorang ketua partai Islam dengan bangga mengatakan bahwa dalam upaya melakukan pemberdayaan perempuan, mereka tidak hanya bicara, tetapi mewujudkannya dalam bentuk nyata dengan menunjuk aksi-aksi partai tersebut yang selalu diikuti oleh massa perempuan berjilbab dengan ciri yang khas.

Namun, persoalan bukan sekadar apakah pelaku jihad itu adalah perempuan atau tidak. Ketika  jihad dan perempuan disebutkan secara berdampingan, paling tidak ada tiga hal yang menyertai dua kata tersebut, yakni (i) jihad yang dilakukan kaum perempuan; (ii) jihad dalam perspektif perempuan dan (iii) jihad untuk kaum perempuan. Keberadaan perempuan sebagai pelaku jihad hanya salah satu dari aspek-aspek lain yang masih perlu diperdebatkan sejauh mana perempuan sebagai pelaku jihad itu menyadari keterlibatannya dalam “berjihad”, apakah sebagai panggilan nurani dalam rangka ikut mempengaruhi kebijakan publik yang menyangkut kepentingan mereka ataukah semata-mata sebagai hasil dari mobnilisasi justru berada di luar kepentingan mereka. Di sinilah seringkali terjadi minipulasi terhadap jihad perempuan.

Dalam perspektif perempuan, jihad jelas tidak bisa dilepaskan dari kecenderungan sifat-sifat perempuan yang lebih suka menggunakan cara-cara non-violence ketimbang kekerasan. Ada nuansa kelembutan dan keibuan. Jihad tidak harus berarti angkat senjata. Melahirkan, mendidik anak-anak, memperjuangkan kemerdekaan, keadilan dan kesetaraan adalah berbagai bentuk jihad dalam perspektif perempuan.

Wacana jihad yang lebih menekankan cara-cara damai perlu mendapat penekanan tersendiri bukan hanya dalam rangka mengembalikan makna jihad yang selama ini sudah terdistorsi, tetapi sekaligus untuk memberikan counter dari wacana jihad yang selama ini sudah terlalu pekat oleh nuansa kekerasan.

Nuansa kekerasan yang sudah mengental dalam wacana jihad memang tidak bisa dihindari dengan maraknya aksi Laskar Jihad yang membawa-bawa senjata mengobrak abrik sarang perjudian dan pelacuran. Bahwa perjudian, pelacuran dan berbagai bentuk kemaksiatan lainnya tidak dibolehkan agama, tentu tidak hanya Islam. Agama lain pun melarang perjudian, pelacuran maupun aneka kemaksiatan lainnya. Semua ini memang masalah. Tapi tidak semertinya masalah ini diselesaikan dengan cara-cara kekerasan, apalagi secara sepihak. Itulah sebabnya, begitu muncul wacana jihad, maka yang kmudian  mengemuka adalah jihad dengan aroma kekerasan yang sangat kental.

Karena itu, pentingnya jihad perempuan bukan untuk memberi jenis kelamin baru kepada wacana jihad yang selama ini berjenis kelamin laki-laki, tetapi lebih dalam rangka memberi nuansa damai dalam wacana jihad – bahwa jihad tidak harus berwajah sangar dengan warna kekerasan yang selama ini cukup dominan. Jihad menciptakan kedamaian justru lebih penting daripada jihad klasik yang seringkali justru hanya menjadi alasan dari kepentingan-kepentingan lain yang tersembunyi di baliknya.

Jihad perempuan menjadi lebih mendesak lagi mengingat perempuan hingga detik ini masih mengalami berbagai bentuk diskriminasi. Dalam ungkapan Khofiifah Indar Parawansa, jihad bisa dipakai sebagai alat perjuangan untuk menempatkan perempuan sebagai manusia, karena perempuan selama ini tidak ditempatkan sebagai manusia.***

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here