Banyak hal yang perlu diluruskan kembali untuk hal-hal yang berkaitan dengan perempuan dan tafsir-tafsir agama. Termasuk jihad dan perempuan, sehingga pemaknaan jihad lebih sesuai dengan semangat yang dibawa al-Qur’an dan lebih releven dengan realitas kehidupan. Pandangan fiqh bahwa perempuan itu lemah sehingga tidak perlu – atau bahkan dilarang – berperang, saat ini telah kehilangan argumentasi. Lemah dan kuat tidak terkait langsung dengan jenis kelamin, tetapi dengan pelatihan, makanan dan kemauan. Perempuan juga kuat, bahkan bisa lebih kuat dari laki-laki. Sejarah masa lalu juga telah membuktikan kemampuan perempuan untuk berperang, sebutlah misalnya Nusaibah bint Ka’ab r.a. yang menghunus pedang melumpuhkan musuh-musuh yang akan membunuh Nabi Saw pada Perang Uhud, di saat para sahabat laki-laki terpukul mundur. Ketika Perang Khandaq berkecamuk dan penjagaan Madinah diserahkan kepada Hasan bin Tsabit, pada saat ada musuh yang menyelendup masuk ke Madinah, ternyata Hasan gemetar menghadapinya dan yang maju melawan – bahkan membunuhya – adalah sahabat perempuan Shafiyyah. Ratu Syajaratuddur di Mesir juga pahlawan perang, yang menerima tampuk kekuasaan setelah berhasil memimpin pasukan perang melawan Mongol yang masuk ke wilayahnya. Sejarah kini juga tidak sedikit yang mencatat kemampuan dan kepiawaian perempuan dalam berperang.

Argumentasi ‘keterkaitan dengan kewajiban pelayanan’, sehingga perempuan tidak diperkenankan berperang tanpa restu suami, juga perlu dipertanyakan kembali. Saat ini perang telah menjadi profesi, yang terkait dengan keahlian dan kemampuan, yang bisa saja digeluti oleh laki-laki atau perempuan. Profesi ini lebih terkait dengan relasi negara dan warga, daripada relasi suami dan isteri. Apalagi totalitas ‘pelayanan isteri terhadap suami’ telah digugat oleh banyak pihak, termasuk dari kalangan ahli fiqh – hukum Islam – sendiri. Dalam analisis Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) Ciganjur, kebanyakan hadis-hadis yang menjadi rujukan ‘kewajiban pelayanan’ ini adalah lemah (dha’if), bahkan banyak juga yang palsu (maudhu’).

Adapun hadis-hadis yang berbicara tentang ‘jihad perempuan’, seperti yang telah ditegaskan di awal tulisan, bahwa teks-teks itu merupakan pemaknaan terhadap jihad, sehingga jihad tidak hanya dipahami perang. Atau pembukaan teks (open text) lafal jihad untuk berbagai pemaknaan yang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan. Teks-teks hadis ini juga harus dipahami sebagai penghargaan Nabi Saw terhadap kerja-kerja rumah tangga, sehingga tidak dinilai rendah yang hanya dilakukan oleh perempuan saja. Pekerjaan rumah tangga juga bernilai tinggi di hadapan Allah Saw, sehingga siapapun yang ingin memperoleh derajat tinggi bisa melakukannya, laki-laki atau perempuan.

Bagi Hibah Rauf Izzat, penulis buku Perempuan dan Karir Politik; Perspektif Islam, relasi perempuan dan jihad-perang tidak sebatas simplisitas ‘hukum ketidak wajiban’ atau ‘pelarangan’. Banyak faktor yang mengharuskan pemaknaan ulang. Secara konseptual, perempuan sama seperti laki-laki, adalah ‘lawan bicara’ ayat-ayat perintah ‘amar ma’ruf nahi munkar’, yang menjadi basis teologis kewajiban ‘jihad perang’.

“Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, yang sebagian adalah teman dan pendukung (awliya) kepada sebagian yang lain, sama-sama menganjurkan kepada kebaikan dan menghentikan kemungkaran”. QS. al-Taubah, 72.

Jika kewajiban jihad dimaknai secara komunal (fardh kifayah) seperti dikatakan oleh mayoritas ulama, maka ia mengarah kepada potensi, kesiapan dan kemampuan umat, bukan kepada salah satu jenis kelamin dan tidak yang lain. Perempuan dan laki-laki adalah sama di hadapan aturan dan hukum, termasuk dalam hal pelibatan terhadap pertahanan negara. Perempuan memiliki hak penuh untuk terlibat dengan pertahanan negara, sesuai dengan kemampuan dan kemauannya. Bahkan negara berkewajiban untuk mengadakan pelatihan untuk pertahanan sipil kepada setiap warga negara, sehingga perempuan juga memiliki keahlian untuk melindungi dirinya dan mempertahankan negaranya ketika diperlukan (Al-Mar’ah wa al-‘Amal al-Siyasi, IIIT: 1995, Herndon, Virginia, USA).

Tetapi dengan melihat latar, kondisi dan kompleksitas tantangan kehidupan kontemporer, sekali lagi jihad lebih tepat untuk dimaknai perjuangan tanpa kekerasan (non-violence). Dalam hal ini perempuan dan laki-laki sama-sama dituntut untuk melakukan jihad demi mewujudkan kehidupan yang adil, baik dan sejahtera. Untuk itu, ‘jihad perempuan’ lebih tepat dimaknai perjuangan untuk mewujudkan keadilan bagi perempuan, dengan mengerahkan segala daya dan upaya bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. ‘Jihad perempuan’ adalah perjuangan yang sungguh-sungguh untuk membela, mendukung dan membebaskan perempuan dari ketertindasan budaya, sosial, politik, termasuk agama.

Dalam hadis disebutkan bahwa “Sebaik-baik jihad adalah menyatakan kebenaran di hadapan kekuasaan yang otoriter dan zalim” (Riwayat Al-Nasa’i, lihat kitab hadits Ibn Al-Atsir, Jami’ al-Ushul, juz 1, p. 236 ). Ketika budaya ternyata otoriter dan zalim terhadap perempuan, maka semua harus bangkit melakukan jihad untuk menghapuskan otoriterianise budaya terhadap perempuan. Ini termasuk afdhal al-jihad (sebaik-baik jihad), seperti yang dinyatakan oleh Nabi Saw.

Bahkan dalam riwayat Abu Dawud dan Al-Turmudzi dari Abi Sa’id al-Khudry r.a, bahwa afdhal al-jihad adalah kalimatu ‘adlin, atau perjuangan keadilan di hadapan sulthan ja’ir, atau kekuasaan yang otoriter. Artinya, memperjuangkan untuk mewujudkan keadilan di hadapan realitas-realitas yang otoriter dan timpang adalah sebaik-baik jihad (Jami’ al-Ushul, juz 1, pp. 235-236).

Saat ini, perempuan adalah yang paling banyak menjadi korban ketimpangan dan otoriterianisme. Sehingga ia bisa menjadi sentra pemaknaan jihad kontemporer untuk mengawali perjuangan mewujudkan keadilan bagi semua.

Perjuangan keadilan bagi perempuan tentu tidak melulu untuk perempuan, tetapi untuk kehidupan yang adil bagi semua, untuk kedamaian bagi semua dan kesejahteraan bagi semua, laki-laki dan perempuan. Jihad adalah perjuangan untuk perdamaian sejati, sedangkan substansi agama adalah kedamaian. Sedangkan simbol-simbol kedamaian ada pada perempuan. Jihad, agama dan perempuan adalah kesatuan. Agama hadir untuk keadilan, perdamaian dan cinta kasih. Perempuan adalah perekat, penjaga dan pemrakarsanya. Sedangkan jihad adalah instrumennya. Karena itu, saatnya perempuan memegang kepemimpinan untuk melakukan jihad keadilan, perdamaian sejati dan kehidupan cinta kasih bagi umat manusia.

 

Baca Juga:

Fokus 1: Jihad dalam Islam: Saatnya perempuan memegang kendali perjuangan

 

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here