“Man sanna sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man ‘amila biha”, demikian Kyai Hussein Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat sekaligus Direktur Pengembangan Wacana RAHIMA, mengutip salah satu hadits Nabi ketika memberikan sambutan dalam acara pembukaan Kursus Fiqh Nisa akhir Oktober 2001 lalu. Arti dari hadits  tersebut adalah “Barang siapa yang melakukan  suatu tindakan kreatif, inovatif, (dalam ilmu hadits, kata sunnatan itu dapat diartikan dengan kata inovatif, kreatif-red), maka dia akan mendapat suatu pahala, dan juga pahala bagi orang yang mengamalkan apa yang telah diberikan itu”. Rahima, sebagai organisasi yang concern terhadap isu-isu perempuan dan Islam, mengadakan kursus Fiqh Nisa sebagai salah satu model kreativitas Rahima untuk mengkader tunas-tunas Kyai-Nyai muda berperspektif jender. Bagi Kyai Husein, kegiatan ini merupakan implementasi dari bunyi hadits yang dikutipnya.

Sedianya kursus ini akan dilaksanakan secara reguler selama 4 kali pertemuan formal, namun diantara 4 pertemuan formal tersebut, para peserta melakukan aktivitas-aktivitas pertemuan informal sebagai forum pendalaman materi. Pertemuan I dan II telah dilaksanakan pada Oktober dan November 2001 lalu. Pertemuan III baru saja dilaksanakan akhir Januari 2002 dan pertemuan selanjutnya rencananya akan dilaksanakan akhir Februari 2002 nanti.

Kursus Fiqh Nisa diikuti oleh  15 orang peserta, sebagian besar adalah mahasiswa-mahasiswi semester V-VII dengan kualifikasi lulus tes membaca kitab kuning. Namun ada juga dari Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN Jakarta, Ibu-ibu dari Universitas Attahiriyah dan mahasiswi Pasca Sarjana UI. Berperan sebagai fasilitator kursus yaitu Farhah Ciciek. Sedangkan Kyai Husein Muhammad berperan sebagai pemandu tetap peserta kursus.

Menurut Kyai Husein, persyaratan lulus tes membaca kitab kuning bagi peserta kursus memang sangat ditekankan, karena masyarakat tradisional seringkali masih memberikan otoritas yang kuat terhadap teks-teks klasik. Sehingga bila para peserta mampu memahami teks yang kebanyakan berbahasa Arab tersebut, diharapkan dapat mempercepat upaya transformasi  kepada masyarakat tersebut, dan dianggap akan lebih efektif jika peserta membedah sendiri teks-teks klasik tersebut, sebelum mengkritisinya lebih jauh.

Jika pada pertemuan pertama peserta lebih banyak berbicara tentang metodologi, pokok bahasan dan bahan rujukan yang akan dipakai pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, maka pada pertemuan II peserta nampak sudah lebih fokus kepada bahasan tertentu. Pada pertemuan II bulan November lalu, materi pokok yang dibedah peserta kursus adalah tentang konsep dan istilah jender, sedangkan di pertemuan III peserta sudah mulai melakukan diskusi lebih mendalam tentang materi kebebasan perempuan (hurriyah al-mar’ah).

Materi tentang konsep dan istilah jender sengaja disajikan terlebih dahulu, hal ini mengingat pentingnya pematangan terhadap pengetahuan dasar tentang konsep itu sebelum peserta diajak melakukan upaya-upaya dekonstruksi wacana keagamaan yang bias jender. Terlebih, karena terkadang masih terjadi kesalahfahaman mengenai konsep dan istilah jender di masyarakat yang juga perlu diluruskan.

Seperti dikatakan salah satu peserta bahwa harapannya kursus ini diharapkan dapat menghasilkan output yang jelas, untuk memperoleh itu tentu saja memerlukan proses, sedangkan parameter keberhasilan bisa jadi berbeda. Namun, Kyai Husein mencoba menambahkan bahwa agar outputnya lebih jelas dan pencapaiannya lebih terarah maka kursus ini harus difokuskan pada salah satu obyek permasalahan, apakah  masalah metodologi, tema, maupun teks-teks tertentu yang akan dikaji. Nah, dalam pertemuan III akhir Januari lalu, akhirnya peserta menyepakati salah satu metodologi yang akan dipakai dalam setiap pembahasan masalah dan juga telah menetapkan satu teks yang akan dibedah.

Kalau dalam ilmu Perbandingan mazhab terkenal 4 mazhab yang sering menjadi mazhab rujukan yaitu Syafi’i, Hambali, Hanafi dan Maliki, maka mazhab versi peserta kursus adalah mazhab Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, dan Abed Aljabiri. Karena mazhab-mazhab itulah yang dianggap dapat mengantarkan peserta kepada wacana keagamaan yang transformatif.

Dalam setiap pembahasannya, para peserta nampak antusias. Ragam latarbelakang peserta juga membuat forum nampak kaya wacana. Hanya di sela-sela itu ada juga peserta yang nampak khawatir kalau usaha dekonstruksi wacana keagamaan yang bias jender tersebut hanyalah bergelut dalam hal wacana dan tidak optimal sampai kepada tataran praksis.(Daan)

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here