Apa yang telah dilakukan kaum perempuan Islam Iran untuk menentang Ketidakadilan gender yang telah demikian melembaga di negeri itu? Melalui tulisan Azadeh Kian-Thiebaut, berjudul Womens’s Religious Seminaries in Iran, yang dimuat di ISIM News Letter 6/00, kita disuguhi beberapa fenomena informasi yang menarik. Ada sekilas potret pejuangan perempuan di sana. Perjuangan yang mereka yakini memiliki basis keagamaan yang sahih. Redaksi Swara Rahima meramu kembali tulisan Azadeh, ‘associate professor’ pada bidang Ilmu Politik di Universitas Paris 8 dan peneliti pada CNRS ini, untuk disajikan kepada sidang pembaca yang budiman
*************
Perempuan Islam di Iran terus bergerak. Mereka semakin mengintensifkan berbagai kegiatan di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Bidang bidang dimana keikutsertaan perempuan tidak dilarang oleh para pemuka agama dan elit politik (berdasar penafsiran mereka terhadap syari’ah). Di samping itu, kaum perempuan juga berupaya meningkatkan kemampuan mereka dalam bidang agama dan hukum, dua bidang strategis dimana peran perempuan dimarginalkan dengan merujuk kepada al-Qur’an, syari’ah, hadis (perkataan dan praktik perbuatan yang bersumber dari Nabi dan para Imam) serta tradisi Islam.
Adalah sebuah tantangan bagi perempuan Islam Iran untuk membuka perdebatan, mengkaji dan menafsirkan ulang ajaran Islam yang telah mentradisi dan mengandung bias gender.
Perlawanan Terhadap Penafsiran yang Dominan
Sejarah masakini mencatat bahwa kaum perempuan Iran telah menentang pemahaman dominan yang dikemukakan para agamawan yang mereka anggap bias. Mereka juga menggugat masalah hukum yang sangat terkait dengan penafsiran teks-teks keagamaan.
Beberapa bagian dari kitab UU hukum perdata (misalnya hak sepihak kaum laki-laki untuk menceraikan isteri dan berpoligami) yang bersumber dari penafsiran ayat Al-Qur’an, khususnya surat An-Nisa’ telah dipersoalkan. Dengan mengemukakan penafsiran mereka sendiri, kaum perempuan hendak menegaskan bahwa Islam telah mengakomodasi kesetaraan hak laki-laki dan perempuan.
Perlu dicatat pula bahwa kaum perempuan yang sudah mendapatkan wawasan keagamaan yang memadai akan menjadi lebih siap dalam menghadapi isu-isu agama. Payam–I Hajar yang diedit oleh Azam Taliqani, putri almarhum Ayatollah Mahmoud Taliqani yang radikal itu merupakan salah satu contoh yang menarik. Di dalam karya ini untuk pertama kalinya telah dipublikasikan sebuah artikel (pada tahun 1992) tentang penolakan legalisasi poligami sembari mengajukan penafsiran baru dari al Qur’an surat An-Nisa’ :
“Analisis ayat Al-Qur’an tentang poligami menunjukkan bahwa hak tersebut diperbolehkan secara eksklusif dalam kasus-kasus khusus guna memenuhani kebutuhan sosial dalam rangka perluasan keadilan sosial. Berlawanan dengan zaman kuno, negara modern di zaman sekarang beserta institusi-institusi sosialnya telah dibentuk untuk membantu keluarga yang kekurangan. Maka, tidak ada fungsi sosial untuk melakukan poligami. Dan lagi, kenyataan memperlihatkan pada kita bahwa dorongan kesenanganlah yang lebih memotivasi laki-laki untuk berpoligami bukannya semangat berderma atau beramal.”
Contoh lain yang layak dikemukakan adalah upaya yang telah dilakukan oleh Nahid Shid. Ia adalah seorang pengacara yang memiliki latar belakang pendidikan universitas maupun agama. Ia telah memprakarsai beberapa amandemen untuk hukum perceraian, khususnya Ojrat-ol mesl yang di dalamnya berisi ketentuan bahwa ketika laki-laki mengajukan gugatan cerai maka istrinya dapat meminta ganti-rugi pada suaminya atas segala pekerjaan rumah-tangga yang telah dilakukannya selama pernikahan berlangsung.
Shid berpendapat bahwa sebagian besar undang-undang yang berlaku seharusnya bisa diganti karena undang undang bukanlah wahyu. Undang undang hanya mengacu pada perintah sekunder (hadits Nabi , ucapan Sahabat dan para Imam red). Uang ganti rugi (karena kematian dalam perang) adalah salah satu contoh. Undang undang ini ditetapkan kepada laki-laki karena jasa mereka sebagai prajurit yang membantu memperluas wilayah kekuasaan Islam. Hal ini tidak berlaku terhadap kaum perempuan karena mereka tidak terlibat dalam usaha ekspansi Islam. Waktu sudah berubah dan undang-undang seharusnya merefleksikan perubahan ini. Undang-undang yang bersifat diskriminatif seperti di atas tidak dapat berfungsi dalam masyarakat dimana perempuan sudah menjadi dokter, guru besar universitas, insinyur, dan lain-lain. Uang ganti rugi seharusnya diberikan baik kepada laki-laki maupun perempuan.
Melahirkan Perempuan yang Mujtahid
Mobilisasi perempuan melawan berbagai tindakan pelemahan mereka dalam bidang-bidang yang dianggap sakral tidak hanya terbatas pada bidang hukum dan kegiatan renterpretasi. Kaum perempuan telah berjuang keras untuk melakukan berbagai upaya strategis lainnya.
Menyusul wafatnya Amin Isfahani, seorang mujtahid perempuan diawal tahun 1980-an, Iran semakin kehilangan ahli agama perempuan. Kondisi ini telah mendorong beberapa pemuka agama perempuan untuk mendirikan sekolah tinggi agama khusus untuk perempuan. Mereka percaya akan pentingnya upaya mengadakan pelatihan bagi perempuan di bidang-bidang yang relevan melalui lembaga pendidikan tersebut. Diharapkan salah satu implikasi dari usaha ini adalah kemandirian perempuan dalam urusan keagamaan. Perempuan bisa menjadi mujtahid yang berwibawa.
Dalam kerangka ini, berdasarkan data yang diperoleh, semakin banyak kaum perempuan muda termasuk mahasiswa dan pelajar sekolah menengah yang membutuhkan pelatihan keagamaan. Banyak diantaranya yang mendaftarkan diri ke sekolah-sekolah agama. Pada tahun 1996, dari 62.731 murid di sekolah agama, 9.995 (16%) adalah perempuan, 34% berusia antara 20-24 tahun dan 20% antara 15-19 tahun. Hampir 90 % dari perempuan tersebut bertempat tinggal di wilayah perkotaan.
Sekolah agama pertama didirikan di Qom pada tahun 1972 oleh Fatemeh Amini. Berkat dukungan almarhum Ayatullah Kasim Shari’atmadari, Fatemeh membuat Maktab (Terjemahan indonesia) at- Tauhid di Qom. Ia juga mendirikan 3 sekolah agama lagi disana sebelum pindah ke Teheran. Di kota inilah perempuan yang kini berusia 61 tahun itu mendirikan sekolah tinggi agama Fatimah Az Zahra pada tahun 1988. Selain melaksanakan kurikulum biasa (seperti sekolah keagamaan yang lain selama masa belajar kurang lebih selama 4 tahun), Sekolah tinggi Fatimah az Zahra ini juga menawarkan kursus kesehatan masyarakat, ekologi, pengelolaan rumah tangga, dan lain lain. Semua materi diajarkan oleh professor dari universitas
“ Adapun tujuan mendirikan sekolah tinggi Fatimah az Zahra adalah untuk mendidik mujtahid perempuan agar mampu menemukan solusi atas masalah perempuan, termasuk problem sosial mereka. Kami berupaya memberikan kontribusi kepada pengembangan perempuan dengan memberikan dorongan pada kreativitas mereka. Dengan demikian semoga akan meningkatkan harga diri mereka.” Ujar Fatemeh.
Masyarakat memerlukan mujtahid perempuan sebagaimana mereka memerlukan dokter dan insinyur perempuan. Tetapi ada kendala serius yang dihadapi kaum perempuan untuk mencapai posisi itu. Di satu sisi kaum perempuan umumnya kurang percaya diri. Mereka belum menyadari secara penuh betapa potensi yang dimilikinya. Di sisi lain tak begitu banyak orang yang bersedia membantu usaha memajukan kaum perempuan, baik secara moral maupun finansial. Kaum lelaki juga tampaknya belum siap menerima kaum perempuan yang tampil penuh percaya diri.
Fatemeh berkeyakinan bahwa berdasarkan ajaran al Qur’an laki-laki dan perempuan itu setara. Oleh karenanya, keberadaan mujtahid perempuan adalah sesuatu yang harus didukung. Untuk itulah sekolah agama perempuan selayaknya ditumbuh kembangkan.
Selain memberikan pelatihan bagi perempuan, para mujtahid Sekolah Tinggi Agama Fatimah Az Zahra juga melakukan serangkaian usaha untuk mendukung kaum perempuan yang tidak mampu secara finansial maupun moral untuk memperkuat aktivitasnya di lingkungan publik. Sekolah ini menetapkan sistem kredit dengan cara mengumpulkan dana dari para dermawan yang saleh dan memberikan pinjaman bebas bunga kepada kaum miskin.
******
Dengan mempertanyakan peran dan identitas gender tradisional serta memperjuangkan kesetaraan hak, kaum perempuan Islam di Iran telah ikutserta mengkonstruksi model keberagamaan mereka sendiri. Dengan cara itulah kaum perempuan berupaya memperoleh otonomi ketika berhadap hadapan dengan kewenangan religius yang masih dikuasai kaum laki-laki.