Merebaknya gerakan perempuan Islam di Indonesia akhir-akhir ini harus diakui banyak terinspirasi oleh feminis Islam dari Timur Tengah seperti Fatima Mernissi, Rifat Hassan dll. Tuduhan sebagian kalangan bahwa feminisme banyak mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam tidaklah mengkawatirkan sebagian dari mereka. Kelompok ini malah berpendapat bahwa ide normatif Islam sesungguhnya mengusung nilai-nilai feminis yang telah dijungkir balikan oleh pelaku-pelaku sejarah yang punya watak misoginis. Karena itu tugas penting yang harus dilakukan adalah merekontruksi seluruh tradisi keagamaan patriarkis yang telah berurat berakar dalam tradisi Islam selama berabad-abad.
Menurut kelompok feminis Islam , rekontruksi terhadap teks-teks keagamaan yang selama ini tersimpan rapi dalam ‘otoritas’ keulamaan tradisional harus lebih diperioritaskan karena merupakan sumber ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Islam. Ajaran-ajaran tersebut telah menjadi sumber legitimasi peminggiran perempuan dalam wilayah sosial, politik, hukum baik dalam lingkup publik maupun domestik.
Adalah Wardah Hafidz, yang berperan penting mensosialisasikan urgensi melakukan kritik terhadap tradisi keagamaan yang telah mapan ke dalam lingkungan perempuan Islam di Indonesia. Tulisan-tulisan Wardah banyak dimuat dalam Jurnal Ulumul Qur’an, media islam pertama yang giat mempopulerkan gagasan-gagasan feminis islam. Hadirnya buku-buku yang ditulis Rifaat Hassan, Aminah Wadud Hussein, Fatima Mernissi dkk pada awal tahun 90-an menambah semarak gerakan ini. Buku-buku tersebut di baca dan dikaji oleh berbagai kelompok diskusi, LSM dan perguruan tinggi yang menjamur di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Jokjakarta. Dari kelompok-kelompok tersebut kemudian bermunculan pemikir-pemikir feminis Islam yang karya-karyanya tak kalah tajam dibanding rekan mereka dari Timir Tengah. Di awal tahun 90-an , Lies Marcoes bekerja sama dengan INIS, menerbitkan buku berjudul ‘Wanita Islam Dalam Kajian Tesktual dan Kontekstual’ yang diangkat dari seminar dengan tema yang sama pada tahun 1992. Buku tersebut dianggap sebagai salah satu karya intelektual yang menyorot persoalan-persoalan perempuan Islam dalam konteks ke Indonesiaan.
Yang menarik banyak karya rekontruksi tentang perempuan setelah itu dilahirkan oleh NU yang pola keberagamannya dianggap tradisional. Karya-karya yang dihasilkan pemikir NU seperti Masdar Farid Mas’udi, Zaitunnah, Nazaruddin Umar, KH. Hussein Muhammad tergolong sangat berani, suatu hal yang jarang ditemukan dalam karya-karyaIislam umumnya. Baru-baru ini muncul lagi karya pemikir NU, Syafiq Hassim, yang dengan lugas mempertanyakan kembali seluruh dalil-dalil keagamaan yang telah mapan selama ini . Dalam bukunya, ‘Hal-hal Yang tak Terpikirdan dalam Fiqh Perempuan’ Syafiq menggambarkan bagaimana rekontruksi patriarkis yang sangat kuat terhadap perempuan ditemukan dalam kitab fiqh al-munakahah, kitab tentang aturan berumah tangga yang banyak dipakai di kalangan penganut mazhab Syafe’i. Dalam konsep nikah, misalnya, perempuan hanya menjadi objek laki-laki. Semua itu terjadi karena dalam ijab kabul yang merupakan pintu masuk ke gerbang perkawinan, seolah-olah laki-laki menjadi pembeli dan perempuan sebagai komoditi yang dibeli. Menurut Syafiq, hal ini akan memberi peluang laki-laki untuk melakukan apa saja terhadap perempuan termasuk kekerasan.
Kajian gender juga telah memasuki lingkungan akademis . Di lingkungan perguruan tinggi Islam menjamur pusat-pusat studi wanita yang banyak melakukan sosialisasi gender di lingkungannya. Mereka berusaha memasukan kajian gender dalam kurikulum pendidikan Islam. Tidak hanya itu, PSW IAIN Syarif Hidayatullah misalnya, juga melakukan kajian kritis terhadap bias-bias gender yang terdapat dalam bidang studi yang dipelajari di IAIN seperti filsafat, tafsir, akidah, sejarah islam dll. Yang menarik, pemahaman-pemahaman patriarkis tak dominan dalam tradisi spritual Islam (tasawuf) . Ibn Arabi, misalnya, menggambarkan citra Tuhan Yang Maha Pengasih sebagai sesuatu yang bersifat feminin. Jalan Tuhan adalah jalan feminin. Karenanya perempuan seperti Rabi’ah Al- ‘Adawiyyah diakui ketinggian ilmunya tanpa mempersoalkan jenis kelaminnya.
Sosialisasi wacana gender juga dilakulan LSM Islam seperti yang dilakukan divisi Fiqhun Nisa P3M (sekarang RAHIMA). Dengan fokus pada hak-hak reproduksi perempuan dalam Islam, lembaga ini secara intensif sejak tahun 1994 aktif mengadakan pelatihan dan membentuk halaqah (kajian tematik) di pesantren-pesantren di Jawa dan Madura. Karena sasarannya adalah kelompok elit pesantren seperti kiyai, nyai dan ustadz-ustadz muda, kegiatan ini diakui berdampak besar terhadap pola pemahaman keagamaan pesantren terutama yang menyangkut dengan persoalan-persoalan perempuan. Hal yang sama juga dilakukan Fatayat NU dengan tekanan sasaran pada perempuan-perempuan muda pedesaan yang banyak mengalami ketidak adilan dan kekerasan karena pemahaman keagamaan yang bias jender. Fatayat sekarang juga telah mempunyai sekitar 26 Lembaga Konsultasi dan Pemberdayaan Perempuan (LKP2) di seluruh Indonesia yang menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.
Baca Juga:
Kajian Umum 1: Sketsa Gerakan Perempuan Islam Indonesia “Mengukir Sejarah Baru”
Kajian Umum 2: Menolak Hanya Sebagai Pelengkap
Kajian Umum 4: Hati-hati Dengan Perubahan