Jika ‘napak tilas’ sejarah dibuka kembali, tidak bisa tidak kita harus merujuk pada elemen pergerakan perempuan Islam yang ditemukan pada organisasi sayap perempuan yang bernaung di bawah oganisasi massa Islam terbesar seperti NU, Muhammadiyah dll. Awalnya kemunculan organisasi sayap tersebut dimaksudkan untuk memaksimalkan potensi perempuan dalam urusan-urusan sosial kemasyarakatan. Kenyataannya, mereka diposisikan dalam berbagai badan otonom atau organisasi sayap yang tak punya pengaruh langsung dalam organisasi induknya. Program-program mereka memanifestasikan peran-peran tradisional yang ada di masyarakat seperti kegiatan pendidikan kerumah tanggaan, kesehatan ibu dan anak serta kegiatan di bidang sosial lainnya. Sedikit sekali peluang untuk memasuki peran yang lebih luas di dunia publik karena dianggap tidak sesuai dengan kodrat mereka.
‘Tempat perempuan adalah dalam domain perempuan’ begitu kata sebagian besar kiyai di muktamar NU Lirboyo ketika muncul suara-suara untuk memasukan perempuan dalam struktur kepemimpinan di Pengurus Besar NU , yaitu Syuri’ah dan Tanfidziah. Keberadaan Muslimat dan Fatayat dianggap sudah mewakili keterlibatan perempuan NU dalam berorganisasi. Anggapan ini dipertanyakan oleh beberapa aktivis perempuan dan keolompok muda NU. Menurut mereka sudah saatnya perempuan diberi kesempatan menduduki pos-pos kepengurusan di badan penting NU. Ini diperlukan untuk memasukan perspektif perempuan dalam keputusan-keputusan penting NU, bukan hanya dalam persoalan yang berhubungan dengan perempuan tapi juga dalam persoalan sosial kemasyarakatan lainnya.
Di lingkungan NU sebenarnya dikenal beberapa orang kiyai yang dianggap mempunyai wawasan gender. Akan tetapi hal itu tidak menjamin kepentingan perempuan disuarakan dengan baik (Lihat ‘Laki-laki dalam Isu Gender’). Karenanya keinginan untuk mendudukan perempuan perempuan di struktur kepengurusan NU di Lirboyo belum terwujud. Menurut Lily Munir, seorang aktivis Muslimat NU, prosesnya panjang dan diperlukan strategi yang matang. Soalnya masih banyak pengambil keputusan di muktamar ditentukan oleh kiyai dari daerah yang sensitivitas gendernya masih kurang. Bagi mereka munculnya beberapa orang perempuan memimpin sidang di muktamar sudah dianggap pencapaian yang luar biasa.
Kondisi yang sama juga terjadi di organisasi Muhammadiyah. Kelompok perempuan di tampung di organisasi sayap seperti Aisyiah dan Naisyatul Aisyiah (NA). Satu-satunya kemajuan yang perlu dicatat terjadi pada muktamar Muhammadiyah di Aceh tahun 1995 ketika Majelis Tarjih (sebuah lembaga kajian di Muhammadiyah yang memberi pertimbangan soal-soal keagamaan pada keputusan-keputusan organisasi) memberi rekomendasi pembentukan divisi khusus tentang perempuan dan keluarga. “Hadirnya perempuan dalam Majelis Tarjih akan mempermudah masuknya perspektif gender dalam keputusan-keputusan Muhammadiyah,” kata ketua umum IMM, Gunawan Hidayat yang banyak mengamati gerakan perempuan di kalangan Muhammadiyah. Divisi yang diketuai Sri Ruhaini Dzuhayatin tersebut juga diharapkan menjadi prakondisi bagi perempuan untuk memasuki wilayah-wilayah yang masih tabu bagi mereka, seperti posisi-posisi strategis di struktur kepengurusan Muhammdiyah yang selama ini hanya diduduki laki-laki.
Pemberontakan terhadap struktur organisasi yang tak memberi ruang bagi perempuan disuarakan lebih keras dalam organisasi mahasiswa islam seperti HMI, PMII dan IMM. Selama ini perempuan ditempatkan dalam organisasi sayap puteri yang hubungannya bersifat paternalistik dengan organisasi induknya. Ketua puteri diangkat dan bertanggung jawab pada ketua umum organisasi induk yang dipilih oleh kongres. Dalam kegiatan organisasi mereka diposisikan untuk membantu tugas putera sebagai panitia bagian konsumsi, pencari dana atau melakukan tugas-tugas kesekretariatan. Seandainya ada perempuan yang berusaha ‘loncat pagar’ dan membuktikan kemampuannya bersaing dengan laki-laki, hal ini dainggap sebagai sesuatu yang ‘excelent’ dan bukan tipikal perempuan umumnya. Ketika isu gender tumbuh dan mneyebar kalangan aktivis mahasiswa muslim ini, anggapan ini dipertanyakan.
Menurut Ketua Umum Korps HMI-Wati (KOHATI), AD Kusumaningtyas, isu Gender mulai dibicarakan teman-temannya sejak awal 90-an . Dimulai dari cabang Jokja yang terkenal dengan pemikiran radikalnya, isu gender mulai merambah ruang-ruang yang selama ini jarang dibicarakan seperti isu kepemimpinan perempuan, hak politik perempuan dlsbnya. Struktur organisasi yang tak memberi tempat bagi perempuan di posisi-posisi strategis juga mulai digugat. Mereka tak puas lagi hanya menjadi pelengkap penderita dalam organisasi. Sejak akhir tahun 90-an, KOHATI telah menjadi organisasi semi otonom di HMI. Ketua umum KOHATI tak lagi dipilih dan bertanggung jawab terhadap ketua umum HMI. Hubungan dengan HMI hanya bersifat koordinatif.
Pergulatan yang terjadi di Korps- PMII- Puteri (KOPRI) lebih keras lagi. Mereka tak puas hanya berkumpul dalam sebuah lembaga semi otonom karena dianggap mempersempit ruang gerak perempuan. Adanya KOPRI dianggap menjustifikasi ketidak mampuan perempuan dalam bersaing dengan laki-laki dalam perebutan posisi yang lebih strategis. Karenanya KOPRI harus dibubarkan supaya memberi kesempatan bagi perempuan untuk menjadi ketua umum PMII. Menurut mantan ketua umum KOPRI, Luluk Nurhamidah, sebenarnya tak ada konstitusi yang melarang perempuan menduduki posisi tertinggi di organisasi. Tak ada peraturan organisasi yang menyatakan bahwa ketua umum harus dipegang laki-laki. Sayangnya, sosialisasi yang dilakukan Luluk tentang fakta ini tak mengurangi semangat sebagian besar anggota KOPRI untuk membubarkan diri. Menurut mereka satu-satunya jalan untuk bisa bertarung bebas dengan laki-laki adalah meleburkan perempuan dalam organisasi PMII.
Realitas pembubaran KOPRI ternyata sangat disayangkan beberapa mantan pengurus KOPRI karena tak diiringi strategi yang matang. Menurut mereka seharusnya dilakukan negosiasi tentang kuota perempuan disemua level kepengurusan, hal yang tak dilakukan oleh pelopor pembubaran KOPRI. Kenyataannya dalam struktur PB PMII hanya ada 1 ketua dan sekretaris perempuan serta 1 lembaga yang diketuai perempuan, yaitu lembaga kajian wanita. Hal yang justru menggambarkan kemunduran.
Pembubaran KOPRI juga disayangkan oleh seorang aktivis perempuan yang tak mau disebutkan namanya. Dihubungkan dengan rencana otonomi daerah, menghilangkan organisasi perempuan berarti mempersempit peluang penguatan isu-isu perempuan di tingkat yang lebih bawah. Jangan-jangan pembubaran KOPRI hanya sebuah siasat patriarkis, kata aktivis tadi menambahkan.
Terlalu dini untuk menyimpulkan pembubaran KOPRI sebagai sebuah kegagalan perjuangan perempuan. Bergabungnya KOPRI ke tubuh PMII bisa menjadi semacam ‘eksperimen’ untuk menambah pengetahuan tentang perempuan dalam organisasi Islam. Soalnya, ada anggapan sebagian pengamat yang menyatakan bergabungnya perempuan dan laki-laki dalam sebuah wadah yang bernafaskan Islam sebagai sesuatu yang tidak kondusif . Anggapan mereka didasarkan pada pengamatan atas realitas kemunculan partai-partai yang berlandaskan Islam dalam era reformasi yang sedikit sekali mengakomodasi kelompok perempuan (Lihat : wawacancara dengan Hermalena MHS, aktivis perempuan di PPP). Menurut Hermalena, partai-partai islam masih bernuansa patriarkis sehingga peluang perempuan untuk memasuki ruang dan isu strategis masih mengalami kendala. Berkembangnya wacana keagamaan yang lebih menghargai hak-hak politik perempuan tak lebih dari strategi politik semata. Dan itu terjadi bukan hanya dalam partai-partai islam saja. Hermalena lebih menekankan terbentuknya undang-undang yang mencantumkan kuota perempuan untuk setiap partai. Karenanya perlu dilakukan advokasi dan ‘tekanan’ pada parlemen untuk membentuk undang-undang semacam itu. Persoalannya, seberapa banyak orang (terutama perempuan) yang peduli dengan hal seperti ini. Sampai saat ini, masih ada anggapan di masyarakat bahwa politik adalah wilayah yang tabu bagi perempuan.
Baca Juga:
Kajian Umum 1: Sketsa Gerakan Perempuan Islam Indonesia “Mengukir Sejarah Baru”
Kajian Umum 3: Kritik Terhadap Wacana Keagamaan Patriarkis
Kajian Umum 4: Hati-hati Dengan Perubahan
Similar Posts:
- Rekonstruksi Ghirah: Pergerakan demi Menegakkan Keadilan Gender
- MENGHINDARI STIGMA FEMINIS Wawancara dengan Lisda, Ketua Lembaga Semi Otonom Penerbitan Kesatuan Aksi Mahasiswa Islam Indonesia (KAMMI)
- Fatayat NU DIY & Rahima Gelar Semiloka Cegah Kekerasan Berbasis Gender
- Jejak Perjuangan Keulamaan Perempuan Indonesia
- Hati-hati Dengan Perubahan