“Ibu memasak di dapur, ayah pergi ke kantor”, secuplik kalimat ini kerap kita dengar dan sangat akrab di telinga, ketika kita di bangku sekolah dasar. Tidak bisakah kalimat itu disusun sebaliknya ? Karena, pola kalimat yang berisi pembagian kerja ini, hanyalah satu konstruksi sosial belaka yang memungkinkan ketidak adilan gender. Belum lagi kalau para pendidik dan penyiar agama turut menyebarkankan teks-teks keagamaan yang mendukung kecendrungan tersebut.
Berangkat dari dasar pemikiran tersebut, tanggal 24-26 Mei 2001 RAHIMA menyelenggarakan Pelatihan Sensitifitas Gender untuk Guru dan Pengasuh Pondok Pesantren di Pondok Pesantren Dar al Tauhid Arjawinangun, Cirebon . Pelatihan ini mengambil tema Mengkaji Sistem Pendidikan Islam yang Berkeadilan Gender. Melalui proses yang interaktif, partisipatif, dan berkesinambungan, pelatihan ini diharapkan akan mampu meletakkan pendidikan sebagai upaya mengembalikan manusia pada fitrah kemanusiaannya.
Pelatihan ini diikuti 33 guru dan pengasuh Yayasan Dar Al Tauhid, dan undangan dari sekitar pesantren ini, juga bertujuan mensosialisasikan wacana gender di kalangan pesantren. Juga untuk memunculkan sosok guru dan pengasuh pesantren yang berperspektif gender. Pada pembukaan pelatihan, Direktur Eksternal RAHIMA Farha Ciciek, menekankan pelatihan ini sebagai awal mengantarkan RAHIMA pada perjuangan panjang mensosialisasikan diskursus gender di kalangan umat Islam. Tujuan khususnya adalah membebaskan perempuan dari dominasi sistem patriarki dalam dunia pendidikan, menuju sistem pengajaran (pesantren) yang lebih berkeadilan gender.
Selama tiga hari, peserta belajar bersama fasilitator dari RAHIMA (Farha Ciciek, AD. Kusumaningtyas, dan Dwi Rubiyanti ) , narasumber seperti; KH. Hussein Muhammad (Pimpinan Pesantren Dar al Tauhid Cirebon dan Direktur Pengembangan Wacana RAHIIMA), Lusi Margiyani (Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak/LSPPA) Yogyakarta dan Yustina Rostiawati (Staf Pengajar FKIP Unika Atma Jaya).
Pada awal pelatihan, dilakukan perkenalan dan pemetaan harapan peserta. Setelah itu, dilanjutkan dengan pembuatan kesepakatan belajar yang bertolak dari keinginan peserta untuk membuat aturan main, sehingga pelatihan berlangsung kondusif dan menyenangkan. Fasilitator mengajak peserta melakukan berbagai permainan yang mengantarkan mereka menarik pelajaran tentang berbagai hal yang disebut ketidak adilan gender. Contohnya, ketika masyarakat bicara tentang pendidikan anak, akan selalu dikaitkan dengan peran ibu. Kalau anak nakal, masyarakat menuduh ibu tidak becus menjalankan kewajibannya sebagai pendidik. Juga, ketika suami kedapatan selingkuh, pertama kali disalahkan adalah istri karena tidak bisa mendampingi suami dengan baik, sehingga suami berbuat macam-macam.
Konstruksi sosial yang meletakkan perempuan dan laki-laki pada dua dunia yang berbeda menimbulkan diskriminasi, subordinasi, marginalisasi , beban ganda, dan kekerasan , sehingga muncul cap-cap yang merugikan perempuan. Kontruksi ini sering mendapat pembenaran dari penasiran agama yang hidup di masyarakat. Padahal, menurut KH. Husein Muhammad, agama itu rahmatan lil’alamin dan menjunjung tinggi kesetaraan laki-laki dan perempuan. Sangat tidak adil kalau kita memaknai teks-teks keagamaan bertentangan dengan hal itu.
Lusi Margiyani menyatakan, tidak semua orang memahami bagaimana mendidik anak secara adil gender. Dalam kesempatan pelatihan ini, ia mengajak peserta mencari akar persoalan munculnya ketidak adilan gender dengan cara menelusuri proses sosialisasi pada manusia, mulai dari bayi sampai dewasa. Ketidak adilan gender ini ternyata juga merambah wilayah pendidikan. Pendidikan yang mempunyai tugas mulia membebaskan manusia dari berbagai penindasan dan ketidak adilan, rupanya belum teraplikasi dengan benar. Anak didik hanya diajar hal yang hitam dan putih, antara ya dan tidak. Pertanyaan-pertanyaan kritis dari siswa, dianggap melawan guru dan mendapat hukuman.
Yustina Rostiawati, yang pernah mengadakan penelitian bias gender pada buku-buku pelajaran SD, menunjukkan masih kentalnya perbedaan peran antara anak perempuan dan laki-laki, baik dalam aktivitas, penampilan, perilaku dan peran dalam sekolah. Ini sangat bertentangan dengan semangat pendidikan yang dibawah oleh tokoh pendidikan, seperti Paulo Freire , dan kawan-kawan. Mereka berpandangan, pendidikan adalah alat pembebasan, alat menanamkan nilai-nilai keagamaan, dan alat mengubah sistem sosial yang tidak adil, termasuk dalam relasi laki-laki dan perempuan. .
Yustina, yang juga peneliti pada Pusat Studi Wanita UI, mengkritik perlakuan guru kepada murid yang sering kali menempatkan mereka sebagai obyek, bukan subyek. Yustina mengajak peserta pelatihan meninjau kembali seluruh materi pelajaran yang diberikan mulai dari TK sampai SMU. Yang lebih penting lagi adalah mengubah prilaku yang diskriminatif dan bias gender pada murid perempuan, dan perlahan-lahan menciptakan sistem pendidikan yang berkeadilan gender. (Ruby)