Dalam sepuluh tahun terakhir ini, Bangladesh telah mencatat dua orang perempuan yang menduduki kepemimpinan politik tertinggi; Begum Khalida Zia dan Syekh Hasina Wazed. Bahkan dalam pemilu Oktober 2001, Partai Nasionalis Bangladesh (PND) pimpinan Begum Khalida kembali menang, sehingga bisa melapangkan jalan baginya untuk kembali memimpin Bangladesh.
Negara Bangladesh, yang awalnya merupakan sayap timur Pakistan, menjadi negara berdaulati pada tahun 1971. Meski mendapar perlawanan keras dari kelompok Islam garis keras, negara baru yang dipimpin Syekh Mujibur Rahman akhirnya menjadi negara republik, bukan negara Islam. Sayangnya, tiga tahun kemudian, ayah Syekh Hasina ini, yang bergelar sebagai ‘Bapak Bangladesh’, mati dibunuh oleh Jendral Ziaur Rahman dalam sebuah kudeta. Setelah kematian Zhia, jendral Muhammad Ershad menggantikan kepemimpinan di Bangladesh. Pada tahun 1994, Partai PND pimpinan Be
gum Khalida isteri mendiang jendral Zhiaur Rahman memenangkan Pemilu dan dipilih menjadi Perdana Menteri Bangladesh.
Dalam perjalanan pemerintahannya, Begum selalu dirongrong oleh oposisi yang digalang oleh Partai Liga Awami pimpinan Syeikh Hasina Wazed. Tahun 1996, Begum Khalida diberhentikan dan digantikan oleh Syekh Hasina Wazed. Tetapi pada tahun 2001 PND kembali memenangkan pemilu, sehingga kemungkinan besar Begum Khalida akan kembali menjadi Perdana Menteri Bangladesh.
Perebutan ini menjadi menarik karena dilakukan oleh dua partai yang keduanya dipimpin oleh perempuan. Yang pertama adalah anak dari PM Bangladesh pertama yang dibunuh dalam sebuah kudeta. Yang lain adalah isteri mendiang jendral yang melakukan kudeta. Lebih menarik lagi, partai Jemaat-e-Islami yang termasuk katagori Islam garis keras selalu berada memback up kelompok opisisi, tak peduli siapa yang menjadi opisisi. Sekali waktu mereka bergabung dengan Liga Awami merongrong Pemerintahan PND, dan lain waktu bersama PND mereka merongrong pemerintahan Liga Awami.
Kemunculan dua sosok perempuan dalam kancah politik Bangladesh, membuat pembicaraan tentang korelasi keadilan gender dengan posisi politik perempuan menjadi lebih menarik. Kalau jabatan politik praktis adalah sebuah tolok ukur, maka Bangladesh bisa dibilang negara yang cukup sukses bagi keadilan gender. Tetapi bagaimana dengan realitas di balik hiruk pikuk politik dan kepemimpinan perempuan di Bangladesh?
Kesaksian Seorang Aktifis Perempuan
Pada tahun 1994, dunia Islam digemparkan berita dari Bangladesh tentang seorang perempuan yang dianggap murtad. Karya-karyanya dilarang beredar, bahkan terakhir dicabut hak warga negaranya dan diumumkan sebagai orang terlarang yang harus ditangkap. Perempuan itu bernama Taslema Nasreen. Ia adalah penulis produktif dalam bidang sastra, terutama penulisan novel. Karena pandangannya mengenai al-Qur’an dianggap kontroversial, ia mengalami berbagai tekanan yang mengharuskannya bersembunyi dari masyarakat. Setelah berbulan-bulan bersembunyi, ia berhasil keluar dari Bangladesh dengan mendapat perlindungan dari “Komite Penulis Perempuan Internasional”. Ia kemudian tinggal di Stocklholm Swedia sampai sekarang.
Ekstradisi Taslema dari Bangladesh justru terjadi ketika kepemimpinan politik ada di tangan seorang perempuan, yaitu Begum Khalida Zhia. Sehingga tak mengherankan kalaui Taslema menganggap Begum Khalida maupun Syekh Hasina bukanlah tipologi pemimpin perempuan yang punya kepekaan gender. Menurutnya, kedua perempuan itu hanyalah simbol kekuatan bayangan dari kharisma suami atau bapaknya. Corak pemerintahan keduanya masih bias gender, patriarkhal dan melanggengkan praktek-praktek misoginis.
Ada beberapa fakta yang dipaparkan Taslema untuk mendukung pernyataannya. Semasa pemerintahan kedua pemimpin perempuan tersebut, jumlah anak-anak perempuan yang kekurangan malnutrisi sangat banyak bila dibanding dengan anak laki-laki. Perempuan yang mampu berobat ke rumah-rumah sakit juga sangat sedikit sekali, bila dibanding dengan laki-laki. Ini bukan berarti g perempuan lebih sehat dari laki-laki, tetapi lebih karena masyarakat menganggap perempuan tidak layak untuk pergi ke dokter dan rumah sakit.
Sistim dan kurikulum pendidikan juga masih bias gender. Anak-anak perempuan hanya dididik untuk menjalani tugas-tugas domestik seperti menjadi ibu rumah tangga yang baik, melahirkan anak-anak, menjaga dan mengurusi mereka, serta mengabdi pada suami. Pendidikan perempuan masih sangat terbatas. Pendidikan masih menjadi tempat yang mahal bagi perempuan, sehingga jumlah perempuan yang sempat mengikuti pendidikan tinggi sangat sedikit. Perempuan dikondisikan untuk hidup, tumbuh dan cepat menikah, dan kemudian harus patuh kepada suami.
Posisi strategis dalam kancah politik sebenarnya masih tetap dipegang oleh laki-laki, bahkan oleh para ulama yang berhaluan keras, yang tergabung dalam Jama’at islami. Ketika kelompok ini Liga Awami dan menekan Begum Khalida dan PND, jatuhlah PND. Jika mereka merangkul PND dan menekan Liga Awami dan Syekh Hazena, jatuhlah Liga Awami. Dalam kehidupan masyarakat Jama’at Islami memiliki pengaruh yang cukup berarti. Beberapa LSM yang mencoba melakukan upaya-upaya pedidikan dan pemberdayaan perempuan diteror oleh mereka dan dituduh sebagai gerakan ‘anti Islam, anti rakyat dan anti negara’. Para lelaki diperintahkan untuk menceraikan isteri-isteri yang keluar rumah dan bekerja di LSM. Bahkan ada fatwa keagamaan yang melarang untuk menguburkan mayat aktivis LSM di pekuburan orang-orang Islam.
Jika perempuan Bangaldesh tidak merasakan manfaat langsung dari kenaikan Begum Khalida Zhia, Syekh Hasena ke tampuk kepemimpinan , indikasi apakah yang dapat disimpulkan dari fenomena kemunculan dua pemimpin perempuan tersebut ? Apakah hal yang sama juga terjadi pada kepemimpinan Megawati Sukarnoputri di Indonesia? Semuanya terpulang pada sejarah. Tapi yang jelas, perjuangan untuk menegakkan keadilan gender memang masih panjang, tidak terhenti hanya karena kenaikan satu atau dua orang perempuan ke tampuk tertinggi kepemimpinan sebuah negara.
Sumber Tulisan:
(1) Gitiara Nasreen, “Bangladeshi Women and the Politics of Religion”. (2) Taslima Nasreen, “Patriarkhi, Agama terorganisir, dan Perempuan Bangladesh”. (3) Mahmuda Islam, “Women for Women in Bangladesh”. (4) Panji Masyarakat, No. 641, 11-21 Maret 1990. (5) Gatra, 3 Februari 1996; Gatra, 13 April 1996 (6) Satunet.com (*)