Neng Dara Affiah
Kemunculan pemimpin negara yang berjenis kelamin perempuan dalam percaturan masyarakat Muslim hampir dipastikan ada hubungannya dengan nama-nama besar yang berkaitan dengan ayahnya ataupun suaminya. Sebut saja, Bhenazir Bhutto, anaknya Ali Bhutto (Pakistan), Begum Khalida Zia, istri mantan Presiden Zia ur-Rahman (Bangladesh), Syeikh Hasina, Puteri Presiden Mujibur Rahman (Bangladesh) dan Megawati Sukarnoputri, anaknya Sukarno.
Dalam teori sosialisasi politik dinyatakan, keluarga dan orang tua adalah penentu utama pendorong anak untuk terlibat dalam kehidupan politik. Seiring dengan perkembangan hidup seseorang, peranan kelompok sepergaulan semakin menentukan sikap seseorang di masa-masa datang. Persoalammya, tergantung kelompok mana yang dominan mempengaruhi orang tersebut.
Dalam wawancara pada sebuah media, Benazir Bhutto, perempuan yang telah dua kali terpilih menjadi perdana mentri di Negara Islam Pakistan ini mengatakan, sejak kecil ia sering didongengi ayahnya (Ali Bhutto) dengan cerita tokoh-tokoh dunia seperti Alexander Agung, Napoleon, dan lain-lain, sehingga tumbuh dalam dirinya keinginan untuk menjadi “seperti orang” yang didengarnya dalam cerita-cerita tadi. Sosialisasi ini kemudian diperkuat oleh realitas kegetiran politik yang dihadapinya, yakni terbunuhnya sang ayah, Ali Bhutto, oleh rezim Jendral Zia ul-Haq dengan tuduhan terlibat pembunuhan politik. Pada masa-masa akhir sebelum ayahnya maju ke tiang gantungan di penjara Rawalpindi, ia berpesan: “Kau harus mengorbankan segalanya demi tanah air.” Akibat peristiwa ini kebahagiaan hidup Benazir dan keluarganya porak poranda, tetapi sekaligus merupakan sebuah titik balik untuk terjun dalam dunia politik dengan segala tempaan kekerasannya.
Demikian halnya dengan Megawati Sukarnoputri. Dalam sebuah talkshow yang dipandu oleh Jaya Suprana, ia mengatakan: “Meskipun sebelum saya berkiprah di PDI profesi saya hanya sebagai ibu rumah tangga, tidak berarti saya tidak peka terhadap perkembangan-perkembangan politik. Saya selalu memantau perkembangan politik, sebab dalam keluarga saya telah terkondisikan untuk itu.”
Selama ini ada kesan, pemimpin perempuan hanya dapat lahir dari kalangan kelas elit tertentu, amat sedikit yang tumbuh dari masyarakat akar rumput (grass-roots). Dalam corak masyarakat feodal-tradisional, kepemimpinan sangat ditentukan oleh aspek kharisma dan keturunan, bukan karena kemampuan. Komentar sinis dari lawan politik Benazir, umpamanya, menuduh perempuan yang dijuluki “Singa Betina dari Larkana” ini hanya mengeksploitasi nama besar mendiang ayahnya yang selalu mengangkat isu Bhuttoisme sebagai faham yang membela masyarakat miskin dan tertindas. Bahkan sempat terjadi pertikaian politik dengan ibunya, Nusrat Bhutto, akibat pemakaian nama dibelakangnya. Nusrat menyatakan: “Mengapa ia mempertahankan nama Bhutto? Dia mestinya melepaskan nama keluarga yang digunakan sebelum menikah, yang diwariskan dari ayahnya perdana menteri terpilih, Zulfikar Ali Bhutto. Dia seharusnya menggunakan nama suaminya sebagai Benazir Zardari dan tidak sebagai Benazir Bhutto (FEER, 20 Januari 1994).
Modal politik yang sama dilakukan oleh Megawati Sukarnoputri. Dengan mengusung isu Sukarnoisme dan partai wong cilik dalam tubuh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), ia memperoleh simpati massa terbanyak dan menjadi partai pemenang Pemilu pada tahun 1998. Bahkan sempat pula dipersoalkan tentang nama dibelakangnya: Apakah Megawati Taufik Kiemas (nama suaminya ) atau Megawati Sukarnoputri?
Pemanfaatan nama besar tersebut tidak akan menjadi modal politik yang kuat jika tidak dukung oleh para patriark dari parlemen dan kelompok militer. Tetapi jangan lupa: kepemimpinan negara yang mengandalkan kharisme cenderung anti kritik, mengandalkan pada satu figur tertentu, rapuh dan amat terbuka peluang untuk praktek nepotisme.
Kendala Kepemimpinan Perempuan.
Salah satu ganjalan terkuat dalam masyarakat Islam untuk melahirkan pemimpin perempuan adalah ganjalan teologis. Para mullah (ulama konservatif) di Pakistan yang disebut Benazir sebagai “sekelompok agamawan yang cuma bisa mendikte apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang” umpamanya, menentang secara keras kenaikan Benazir. Secara cerdik, Benazir selalu melontarkan pendapat tentang tidak adanya ayat al-Quran yang secara tegas melarang perempuan menjadi pemimpin pemerintahan. Justru sebaliknya, al-Quran mengambarkan keberhasilan Ratu Bilqis (semasa Nabi Sulaiman) yang berhasil memimpin negeri Saba’ secara arif, adil dan bijaksana. Benazir mengatakan: “Perempuan dan laki-laki di hadapan Tuhan mempunyai kedudukan yang sama. Saya bangga menjadi perempuan Islam. Isu dalam pemerintahan Pakistan bukanlah lelaki melawan perempuan, tetapi diktator melawan demokrasi. Adalah interpretasi yang salah dari kaum pria atas ajaran Islam, dan bukan ajaran itu sendiri yang membatasi kesempatan kaum perempuan untuk memerintah. Sejarah Islam sebenarnya penuh dengan banyaknya perempuan yang memainkan peran penting dalam masyarakat serta memerintah yang tidak kalah penting dengan pria. ( The Strait Times, 18 Nopember 1988).
Tantangan yang sama terjadi pada presiden Megawati Sukarnoputri. Pada kontroversi mengenai rencana kenaikannya dalam Kongres Umat Islam Indonesia (KUII, 1998), KH. Ibrahim Hosein, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, mengatakan: “Islam melarang perempuan menjadi khalifah atau pemimpin bangsa. Dalam Islam, orang yang menjabat khalifah juga berkewajiban mengembangkan dakwah Islam, membantu dan menolong perkembangan umat Islam serta menjadi imam mesjid. Dengan demikian, Islam mengharamkan perempuan menjadi khalifah, sebab akan terbentur pada tugas sebagai imam mesjid. Kepala negara yang dipegang wanita dimana penduduknya mayoritas muslim akan menimbulkan pro dan kontra” (Terbit, 7 Nopember 1998).
Pro-kontra tersebut direspon Megawati sebagai berikut: “Siapa bilang wanita tidak bisa menjadi pemimpin. Sejak dulu, wanita adalah pejuang. Sesuatu yang tidak masuk akal jika di jaman sekarang ini wanita masih diperlakukan secara diskriminatif. Terus terang, saya tidak mau disebut makhluk kelas dua. Dalam agama Islam yang saya anut mengajarkan agar sesama manusia itu harus saling menghormati. Dulu, Nabi Muhammad selalu membela jika ada wanita yang diperlakukan tidak adil. Bukan ingin membela diri, memang saya punya hak untuk itu. Tapi tidak saya pakai. Saya ingin agar perlakuan diskriminatif ini hendaknya dihilangkan” (Merdeka, 30 Oktober 1998)
Kendala itu berasal dari ayat al-Quran: ar-rijalu qowwamuna a’lannisa, persisnya penafsiran terhadap kata “qowwam” yang seringkali dimaknai secara tunggal: Laki-laki sebagai pemimpin atau penguasa. Padahal sebuah kata akan bergeser maknanya seiring dengan konteks ruang dan waktu. Belum lagi bisa dipertanyakan, apakah kata itu cukup relevan untuk dikaitkan dengan kepemimpinan perempuan dalam ranah publik, mengingat konteks munculnya ayat ini adalah sebuah setting sosial tentang upaya pengaturan suami-istri dalam rumah tangga.
Bagi saya, yang jauh lebih penting diperdebatkan sebenarnya bukan ayatnya, tetapi alam bawah sadar kolektif masyarakat laki-laki, yang agaknya, egonya tabu untuk tunduk dibawah kekuasaan perempuan. Di berbagai belahan dunia , laki-laki sejak kecil telah tersosialisasi untuk menjadi penguasa; paling kecil, berkuasa di tengah-tengah keluarganya. Ini adalah persoalan ego, bukan persoalan ayat. Ayat bisa dimanipulasi untuk menjadi tameng kepentingan ego penafsirnya.
Jika kita kembali kepada al-Quran sebagai sebuah spirit ajaran, maka ganjalan teologis tersebut semestinya tidak pernah ada. Karena prinsip dasar Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan adalah untuk menjadi pemimpin (Inni ja’ilun fil ardhi khalifah). Ini telah dicontohkan oleh orang-orang terdekat Nabi. Siti Khadijah sebagai penopang ekonomi keluarga yang merelakan hartanya untuk perjuangan Nabi. Siti Aisyah memimpin suatu peristiwa politik dalam sebuah peperangan waqiatul jamal (perang unta). Makanya, terasa aneh jika ada umat Islam yang masih mempersoalkan kepemimpinan politik perempuan, sebab secara normatif-ajaran hal tersebut terdapat dalam al-Quran dan pada praksisnya telah dilakukan oleh orang-orang terdekat Nabi.
Persoalan berikutnya, bagaimana kita dapat membentuk kembali sebanyak mungkin pemimpin perempuan Islam dalam berbagai ranah kehidupan? Kepemimpinan itu dibentuk, tidak datang dengan sendirinya. Sejak kecil, pola pendidikan watak kepemimpinan, baik pada perempuan maupun laki-laki, sebaiknya tidak dibedakan. Anak perempuan dan laki-laki, berhak mengakses apa saja sepanjang mampu membuat diri mereka berkembang. Setelah mereka mampu memilih, berikan kepada mereka kebebasan untuk memilih sesuai dengan pilihan hatinya. Biarkan mereka jatuh bangun dengan pilihannya, karena dalam proses itu akan muncul pendewasaan hidup dan “otonomi” diri. Pengkerangkengan perempuan dalam sebuah sangkar emas atas nama “perlindungan” dan “kasih sayang” yang selama ini sering dilakukan, bisa menjebak mereka menjadi kerdil dan gagap berhadapan dengan realitas kehidupan yang sesungguhnya. Wallahu A’lam!
*Penulis adalah peneliti pada Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan (KAPAL-Perempuan), Jakarta dan staf pengajar pada sebuah Pondok Pesantren di Banten.
Similar Posts:
- Resensi Buku: Kepemimpinan Perempuan dan Ambiguitas Politik Islam
- Jejak Perjuangan Keulamaan Perempuan Indonesia
- Maulid Nabi dan Keterkungkungan Perempuan
- Kepemimpin Perempuan di Bangladesh: (Bukan) Simbol Kemenangan Gerakan Perempuan?
- Kepemimpinan Perempuan di Wilayah Konflik: Otoritas, Efektifitas, dan Perspektif Kemanusiaan