Oleh: Faqihuddin Abdul Kodir

Dalam pentas sejarah Islam klasik, banyak kisah sukses yang diukir  para perempuan. Sebutlah, misalnya, Siti Aisyah , isteri baginda Nabi Muhammad Saw, yang dengan sukses dapat memimpin puluhan ribu pasukan perang di bawah kendali perintahnya. Tetapi, ‘Agama’ diyakini  banyak orang, menegaskan bahwa kepemimpinan perempuan paralel dengan ketidak-suksesan dan kesengsaraan. Sehingga, tidak ditemukan satupun literatur Islam klasik yang membenarkan  kepemimpinan selain untuk laki-laki.

Di dalam kitab Minhaj al-Thalibin, misalnya, salah satu rujukan utama tradisi pesantren yang ditulis oleh Imam al-Nawawi al-Dimasyqi (676 H), disebutkan bahwa syarat-syarat pemimpin tertinggi (imamat al-uzma) adalah muslim, bukan budak, dari suku Quraisy, orang dewasa, berjenis kelamin laki-laki dan cerdas. Ketika mengomentari pernyataan ini Khathib al-Syarbini  menegaskan bahwa kelelakian adalah merupakan syarat mutlak untuk kepemimpinan tertinggi. Alasannya, hanya laki-laki yang bisa bergumul dengan politik yang nota bene dianggap sebagai dunia laki-laki. Alasan lain adalah teks hadis yang melarang kepemimpinan perempuan (Mughni al-Muhtaj, IV:129).

Kitab-kitab lain dalam literatur Islam klasik juga menyatakan hal yang sama. Dalam penelusuran DR. Wahbah al-Zuhaili, tak ditemukan satupun ulama yang membenarkan kepemimpinan perempuan. Dikatakan bahwa ulama Islam telah konsensus (ijma’) dengan pernyataan bahwa kelelakian merupakan salah satu syarat utama bagi kepemimpinan tertinggi (al-Fiqh al- Islami, VII: 6179). Para penulis fiqh politik Islam pada masa lalu, seperti Mawardi dan al- Abu Ya’la, juga bersikeras mensyaratkan laki-laki dalam kepemimpinan politik. Sementara pemikir Islam kontemporer juga tidak sedikit yang menyuarakan hal yang sama. Sebutlah misalnya Syah Waliyullah al-Dahlawi, al-Mawdudi dan yang lain. Dengan demikian, apakah berarti bahwa perempuan dalam pandangan Islam tidak dibenarkan untuk menduduki kepemimpinan politik tertinggi?.

Pada masa kehidupan baginda Nabi Muhammad Saw, perilaku kepemimpinan telah dipraktekkan oleh segenap perempuan-perempuan mulia. Siti Khadijah bint Khuwailid ra, isteri pertama Nabi, perempuan mulia, pengusaha, yang ‘melamar dan meminang Nabi Saw. Ia menenangkan, mendukung dan memprakarsai aktivitas-aktivitas da’wah yang pada awalnya Nabi Saw merasa ragu untuk melakukannya. Nusaibah bint Ka’ab ra memimpin pasukan perlindungan Nabi Saw pada saat-saat kritis para sahabat terdesak dalam perang Uhud. Umm Salamah ra, isteri Nabi yang memimpin perempuan-perempuan Madinah menyuarakan aspirasi mereka kepada Nabi Saw, sehingga turun ayat-ayat kesetaraan laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal, Siti Aisyah ra, juga melakukan hal yang sama, bahkan lebih nyata lagi pada masa akhir pemerintahan Khulafa Rasyidin.

Aktifitas seperti diatas, terutama kepemimpinan Siti Aisyah pada perang Unta, setidaknya bisa menjadi pendulum untuk mengkritisi wacana kepemimpinan politik laki-laki dalam Islam. Argumentasi-argumentasi yang diajukan untuk mendukung penolakan kepemimpinan perempuan saat ini bisa didiskusikan kembali, sama seperti permasalahan-permasalahan lain yang pada awalnya diterima secara bulat, tetapi pada perkembangannya berikutnya didiskusikan kembali kebenarannya setelah muncul perubahan-perubahan sosial yang cukup berarti. Misalnya, hampir seribu tahun lebih, mayoritas ulama berpendapat bahwa kepemimpinan politik hanya dimiliki oleh suku Quraisy. Hal ini dinyatakan oleh ulama seperti Imam al-Nawawi di atas dan dinyatakan juga oleh Imam al-Baqillani dan Imam al-Ghazali-, dengan alasan teks hadis Nabi Saw yang disampaikan oleh Khalifah Abu Bakr ra. Suku diluar Quraisy, apalagi yang bukan Arab, tidak diperkenankan  ‘Islam’ untuk memegang tampuk kepemimpinan tertinggi.

Tetapi ketika realitas sosial menunjukkan bahwa kelayakan kepemimpinan politik tidak hanya dimiliki oleh keturunan  Quraisy, bahkan pentas politik secara nyata hanya bisa dikendalikan dan telah diambil oleh orang-orang dari keturunan lain, permasalahan kepemimpinan suku Quraisy didiskusikan kembali. Ibn Khaldun, penulis kitab al-Muqaddimah, pertama kali menawarkan pemahaman substansial terhadap teks-teks kepemimpinan suku Quraisy. Menurutnya, kepemimpinan suku Quraisy berarti kepemimpinan ‘sifat-sifat’ suku Quraisy, seperti berani, tegas, cerdas dan tangkas, bukan berarti kepemimpinan ‘orang-orang’  Quraisy. Saat ini, kepemimpinan politik suku selain Quraisy sudah tidak  lagi menjadi permasalahan yang krusial dalam diskusi kepemimpinan politik Islam. Mayoritas ulama telah menerima hal ini dengan sura bulat, sebagai suatu keniscayaan realitas yang tidak berlawanan dengan ajaran agama. Sama halnya kepemimpinan perempuan, yang saat ini telah menjadi suatu keniscayaan, bahkan kemaslahatan masyarakat banyak. Banyak perempuan yang nyata-nyata memiliki kelayakan untuk mengelola pekerjaan-pekerjaan politik, sama seperti laki-laki. Karena itu, penolakan ‘agama’ terhadap kepemimpinan perempuan perlu didiskusikan kembali.

Dalam teologi kelompok Khawarij dan Mu’tazilah, mendirikan pemerintahan dan kepemimpinan tertinggi (Imamt al-Uzma) tidak termasuk urusan yang harus didasarkan kepada teks-teks agama. Permasalahan seperti ini merupakan urusan sosial kemanusiaan yang didasarkan kepada keperluan, kebaikan dan kemaslahatan sesuai ukuran rasionalitas sosial setempat. Pembicaraan mengenai perlu tidaknya mendirikan pemerintahan; siapa yang berhak menjabat kepemimpinan tertinggi; dan bagaimana cara memimpin suatu pemerintahan adalah termasuk wilayah rasio kemaslahatan manusia. Semua itu bukan wilayah teks-teks literal agama. Jika masyarakat sudah aman, saling tolong menolong dan sejahtera tanpa pemerintahan, maka mendirikan pemerintahan bisa menjadi tidak perlu.

Syarat bahwa pemimpin harus berasal dari suku Quraisy juga tidak diterima  kelompok ini. Dalam pandangan mereka, semua orang memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin, asal sesuai dengan kualifikasi kepemimpinan yang diperlukan  masyarakat. Dengan logika yang sama, sekalipun secara eksplisit tidak mereka nyatakan, perempuan dibenarkan untuk menjadi pemimpin, sama seperti laki-laki. Karena dasar kelayakan kepemimpinan adalah kemaslahatan dan kebaikan. Ketika seorang perempuan dianggap baik, layak,  cerdas, bijak, adil dan diterima untuk menjadi pemimpin suatu bangsa, maka tidak ada alasan teks agama yang dibenarkan untuk membatalkan kepemimpinannya. Artinya, di antara sekian banyak ulama klasik yang menolak kepemimpinan perempuan dengan dasar agama, ada sejumlah pandangan dari ulama klasik juga yang tidak sependapat dan tidak sejalan. 

Baca Juga:

Fokus 2: Mengkritisi Argumentasi Penolakan Kepemimpinan Perempuan dalam Islam

Fokus 3: Rekonstruksi Fiqh Kepemimpinan

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here