Sumber gambar: pexels.com
Dr. H. Wawan Gunawan Abdul Wahid, Lc.M.Ag, adalah seorang tokoh Muhammadiyah yang terlahir dari keluarga Nahdliyyin dengan nama Abdul Wahid Marwan Nasrullah, di Singaparna Tasikmalaya 8 Desember 1965. Perubahan namanya terjadi karena ‘kecelakaan’ saat didaftarkan sekolah oleh pamannya dengan nama Wawan yang kemudian oleh temannya ditambahkan nama Gunawan di belakang namanya; sementara keluarga besarnya tetap memanggil dengan mana kecilnya, Wahid. Ketua Prodi Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suka Yogyakarta ini sempat mengenyam studi di PP. Darul Arqam Muhammadiyah, Garut dan kuliah di Timur Tengah. Hingga akhirnya kembali ke tanah air dan menjalani studi kembali di Jurusan Perbandingan Mazhab (S1), Prodi Hukum Islam konsentrasi Muamalat (S2) dan Hukum Ekonomi Syariah (S3) di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga yang sebelumnya bernama IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini. Menikah dengan Ir. Kokom Komariah, seorang alumni IPB, mereka dikaruniai 4 orang anak. Di sela kesibukan Pak Wawan sebagai salah satu anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah untuk periode 2015-2020, Swara Rahima berkesempatan untuk menimba pengalaman dan berbagi informasi mengenai upaya beliau dalam membangun perspektif gender di perguruan tinggi.
Menurut Bapak, apakah kesetaraan gender penting untuk diperkenalkan kepada mahasiswa?
Menurut saya tidak hanya penting, tapi ‘wajib’ diperkenalkan karena menurut pandangan saya lihat itu bagian dari ajaran agama. Ini penting untuk memastikan atau menegaskan bahwa perempuan dan laki-laki itu setara. Kalau PTKIN ini menegaskan bahwa salah satu kekhasannya adalah keislaman, maka bagian dari keislaman itu adalah wajib memberitahukan kepada mahasiswa tentang ajaran kesetaraan. Jadi bukan hanya penting, malah wajib. Cuma bagaimana bahasa ‘wajib’ itu diterjemahkan di perguruan tinggi Islam yang senyatanya beragam cara pandang wawasan keagamaannya. Dan itu merupakan bagian dari perjuangan.
Apa manfaatnya dengan memperkenalkan gender ini kepada mahasiswa?
Banyak hal. Pertama, mahasiswa diperkenalkan tentang eksistensi dirinya yang sesungguhnya di hadapan Tuhan memang setara. Mereka disadarkan bahwa pandangan yang selama ini mereka anut, pegang, baca adalah bias dan berangkat dari konstruksi sosial yang di hadapan mereka (lembaga pendidikan atau sekolah apa pun itu namanya ; bisa pondok, madrasah, SMA, dan sebagainya) sehingga ketika berada di perguruan tinggi Islam baik STAIN, IAIN, atau UIN, dengan penyadaran itu mereka tahu bahwa eksistensi dirinya setara. Kedua, bagi mahasiswi mereka akan disadarkan tentang kesamaan kedudukan atau kesetaraan sebagai manusia yang nantinya disebut kesetaraan dan keadilan gender itu. Sementara pada mahasiswa disadarkan bahwa mereka tidak memiliki keutamaan apa pun terhadap perempuan kecuali ketakwaan. Nggak ada keutamaan fisik dan sebagainya. Jadi harus dibedakan hal yang dalam bahasa agamanya bersifat taqdir atau qadha’ yang dipastikan oleh Tuhan tidak akan berubah; atau sesuatu yang sesungguhnya adalah upaya perjuangan masing-masing untuk mendapatkan sesuatu. Di hadapan Allah mereka memiliki potensi yang sama untuk mendapatkan kualitas yang disebut ketakwaan itu.
Hal ini diperkenalkan melalui apa?
Kalau menurut saya, idealnya disampaikan sejak semester satu. Secara pribadi, kalau mengajar sejak semester satu itu, itu saya sampaikan. Tetapi kalau disampaikan dalam mata kuliah secara resmi, itu saya sampaikan dalam mata kuliah khusus dengan judul Hukum Islam dan Analisis Gender di semester 7 (tujuh). Semester ganjil. Sesungguhnya itu terlalu jauh; sebaiknya di semester 3, 4 atau 5. Meskipun ada manfaatnya juga. Dalam artian begini, mereka diperkenalkan ajaran Islam apa adanya di semester 1 hingga semester 6 baru kita bongkar di semester 7. Nah, dalam beberapa hal itu ada baiknya. Seolah-oleah pemahaman itu dikumpulkan terlebih dahulu dalam 6 semester, lalu baru didekonstruksi semester 7.
Untuk di Prodi Perbandingan Mazhab di semester 7 ini pun masih termasuk mata kuliah pilihan. Mengapa masih mata kuliah pilihan, ini semua sebenarnya karena bagian dari strategi jangka panjang. Mengingat pada awalnya mata kuliah ini pun mau dihapus (ada yang mau menghapusnya). Akan tetapi kemudian saya lakukan dialog dengan cara yang halus. Ini sebenarnya hal yang penting dan mesti ada, lalu mata kuliah ini muncul lagi. Untung tidak jadi dihapus, karena kalau dihapus maka strategi atau cara untuk menyampaikan pemahaman tentang kesetaran gender itu bisa menjadi hilang sama sekali.
Saya ber-husnuzhan bahwa suatu saat boleh jadi dengan suatu istilah yang tidak terlalu tampak, ya (karena terkadang nama itu bisa membuat orang trauma) dengan nama apapun secara substantif kita bicara tentang kesetaraan gender. Akan tetapi dengan judul mata kuliah yang lain, mungkin akan lebih smooth. Mungkin dengan cara itu bisa dimasukkan ke dalam mata kuliah tertentu. Saya sebenarnya sangat berharap bahwa teman-teman yang mengajar Fiqh Munakahah, atau mengajar Hukum Perkawinan bisa menyampaikan itu. Tapi semuanya kan tergantung pada perspektif, ya. Perspektif tentang kesetaraan gender.
Menurut Bapak, bagaimana pengajaran berbagai mata kuliah terkait studi Islam selama ini? Apakah sudah berperspektif adil gender?
Secara umum masih sangat kurang. Mengapa saya katakan masih sangat kurang? Karena pada akhirnya terkembali pada teman-teman yang punya perspektif itu. Mereka yang tidak punya perspektif gender tidak akan menyampaikannya. Misalnya tadi Anda menyatakan, misalnya pada mata kuliah yang secara verbatim disebut dengan Pengantar Studi Islam, seseorang yang bergelar Doktor dan bahkan Profesor yang tidak memiliki perspektif kesetaraan gender maka isinya akan bias gender. Sebaliknya, teman-teman yang hanya bergelar Master yang sudah terlatih penelitiannya, tulisannya, cara berpikirnya, berperspektif kesetaraan, maka isi kuliahnya itu. Bagaimana mengarahkan mahasiswa, memposisikan mahasiswa, bahkan tulisan atau makalah-makalah mahasiswa pun akan diarahkan kesana.
Apa dampaknya pada pemahaman yang diterima oleh mahasiswa? Apa implikasinya saat terjun di masyarakat kelak?
Sebelumnya saya ingin menambahkan dulu jawaban pertanyaan sebelumnya. Dibandingkan beberapa Fakultas lainnya, Fakultas saya sebenarnya masih sangat mendingan. Sebab, apakah itu by design atau by accident banyak dosen dan mahasiswa yang sering mengikuti pelatihan atau acara-acara yang dilakukan oleh Pusat Studi Wanita (PSW) dan sebagainya. Namun dibandingkan dengan sekian banyak yang yang tidak aktif, tidak menulis, dan tidak punya perspektif, saya kira masih banyak yang tidak punya perspektif. Tentu efeknya adalah apa yang tercermin dalam perilaku keseharian mereka, paling dekat ya di kampus, dari ucapan ataupun tindakan simpel-tindakan simpel mem-bully teman-teman mahasiswinya. Khawatirnya apabila itu terus dibawa dan berlanjut pada saat mereka menjadi tokoh atau pelaku (aktor) yang berpengaruh di masyarakat, misalnya jadi Hakim.
Lulusan Fakultas Syariah beberapa waktu yang lalu ada 100 orang lebih yang jadi Hakim, dari semua jurusan. Nah, kalau mereka tidak membawa perspektif gender itu maka akan berefeklah pada putusan-putusan yang mereka di Pengadilan. Maka dulu Pusat Studi Wanita (PSW) secara cerdas melatih para hakim bekerjasama dengan Badilag Mahkamah Agung melatih mereka tentang perspektif kesetaraan gender. Kemarin saya dengar dari Hakim Muda senior yang merupakan adik kelas saya, dia bilang, “Wah, Kang sekarang saya paham kesetaraan gender. Ternyata sekarang berefek pada putusan yang saya buat.” Kurang lebih hal yang sama bisa diterapkan di Fakultas atau Jurusan. Oleh karenanya, seperti yang saya katakan pada jawaban pertama; bukan hanya penting tetapi wajib. Jadinya intinya adalah kesetaraan dan keadilan. Kembali pada konsep tentang karamatul insan (kemuliaan manusia). Karamah insaniyyah itu tidak akan terjadi tanpa kesetaran dan keadilan. Kalau kesetaraan dan keadilan itu tidak ada, maka pelan tapi pasti bila situasinya dibalikkan maka penistaan itu akan dilakukan oleh anak-anak didik atau teman-teman kita kita sendiri.
Upaya apakah yang pernah diperkenalkan oleh UIN Suka Yogyakarta dalam melakukan pengarusutamaan gender?
Untuk mahasiswa yang baru upaya itu masih tetap dilakukan oleh Pusat Studi Wanita (PSW) yang sekarang telah berubah namanya Pusat Studi Gender dan Hak Anak (PSGHA). Tapi yang menarik, rasanya kegiatannya tidak semassif dulu, ya. Entah karena tokoh-tokohnya sudah berpindah di wilayah lain misalnya ada yang jadi Rektor, jadi Dekan, ada yang jadi orang istana seperti Mbak Ruhaini, ada juga teman-teman yang bergiat di wadah baru seperti Sunan Kalijaga for Justice seperti Mbak Eni, Mbak Syamsiyatun, Pak Shodiq, dan sebagainya. Jadi Pusat Studi Wanita itu sekarang yang aktif yang masih muda-muda. Meskipun berbagai kegiatan itu sampai sekarang masih dilakukan.
Kegiatan apa yang dilakukan oleh PSW dengan melibatkan para dosen? Bagaimana proses keterlibatan mereka?
Kembali pada riwayat ketika saya ditraining di tahap-tahap awal tahun 2001, pertama , sekian puluh persen dari kita (dosen-dosen) ditraining dengan perangkat analisis gender, pendekatan sosiologis dan antropologis, kemudian kita diajak untuk membahas yang menurut orang orang itu tabu. Kita diajak untuk terlibat dalam diskusi berseri membahas hadis-hadis yang dianggap misoginis, setahu saya yang mengawali itu adalah Pusat Studi wanita. Hadis-hadis tersebut kemudian didiskusikan, dibahas, dan akhirnya dibukukan. Kedua, melakukan penelitian-penelitian yang berada di wilayah yang terkait dengan bias gender, dengan penelitian singkat dan kemudian jadi buku. Saya ingat penelitian pertama yang saya lakukan tentang kemudian jadi buku seperti Bias Gender dalam Khutbah Nikah, Kemudian teman-teman memberi catatan, mendiskusikan, dan akhirnya jadi buku. Selanjutnya ada penelitian tentang topik Mu’asyarah bil-Ma’ruf, kemudian jadi buku lagi. Saya pikir itu, di samping Pusat Studi Wanita memiliki jurnal dan mengundang rekan-rekan dosen untuk berkontribusi untuk menulis dalam jurnal Musawa, yang sekarang usianya sudah kurang lebih 17 tahun. Jurnal Musawah yang pertama yang mengangkat topik tentang poligami, saking terkenalnya pembahasan itu kemudian dibuat jadi buku.
Dari situlah saya dan kawan-kawan yang seangkatan maupun adik tingkat saya punya perspektif itu, yang kemudian disuruh atau tidak mereka menyampaikam hal itu di kelas, di rumah, di masyarakat, dalam khutbah, atau di organisasi, dan sebagainya. Dan jadilah saya membawa istilah-istilah itu ke organisasi. Misalnya, saya membawa istilah Fiqh Perempuan di organisasi., jadi seminar nasional, dan kemudiah ada istilah fiqh-fiqh yang lain. Saya kira teman-teman lain juga melakukan dan punya dampak yang sama. Hanya bedanya, setiap orang ketika menerima efek positif itu dan menyampaikan kepada yang lain caranya macam-macam. Ada yang yang kencang dan ada yang lembut.
Di Muhammadiyah tidak ada poin apabila tidak ada dalil, oleh karenanya saya tidak bisa menyampaikan hal itu jika tanpa upaya pendalilan-pendalilan, Namun karena kebiasaan itu, mereka akhirnya bisa menerima. Lho, ada dalilnya to, Pak? Jadi kalau biasanya ada orang yang dilekatkan stempel atau label ‘liberal’ dan sebagainya, saya tidak mengalaminya. Ada dalilnya, ya ternyata? Karena meskipun tegas, pesannya saya sampaikan dengan cara-cara yang lembut sehingga tidak terjadi penolakan.
Apakah tindak lanjut dari kegiatan tersebut yang dilakukan ?
Tahun 2003 atau tahun 2004, seingat saya kami pun pernah secara khusus mengintegrasikan kesetaraan dan keadilan itu dalam kurikulum. Waktu itu Mbak Siti Ruhaini Dzuhayatin (yang memimpin PSW UIN) bekerjasama dengan Emory University saat itu ada tiga kali pertemuan dosen waktu itu di Rektorat lama, masing-masing dosen dengan mata kuliahnya sendiri diminta untuk membawakan silabi dengan perspektif gender itu, kalau yang dimaksud adalah melalui perkuliahan, ya. Meskipun saya ber-husnuzhan ketika disajikan dalam perkuliahan tidak semudah itu juga.
Selain itu kalau ada diskusi-diskusi yang sifatnya nasional atau internasional, kita selalu diundang untuk berkontribusi. Waktu Hari Kartini kemarin secara khusus kita hadir, atau kalau ada pembicara dari luar untuk mendapatkan insight yang lebih luas kita diundang.
Sebagai dampak dari proses ‘engendering’ yang dilakukan PSW tersebut, inisiatif apa yang kemudian Bapak lakukan sebagai alumni program tersebut misalnya dalam pengambilan keputusan di kampus atau untuk memperkenalkan kesetaraan dan keadilan gender kepada mahasiswa melalui perkuliahan?
Kalau mengintervensi kurikulum dalam arti penambahan mata kuliah, sepertinya itu tidak bisa dilakukan. Namun bila yang dimaksud adalah intervensi kurikulum insidentil subjektif yang dilakukan oleh masing-masing dosen saya kira itu terjadi. Namun dalam konteks perubahan kebijakan, dalam masa Pak Amin (Amin Abdullah, red.) perubahan dalam berbagai bentuk terjadi. Misalnya, dalam hal pemilihan Dekan atau Wakil, sekarang tidak pernah ada situasi tidak melibatkan calon-calon perempuan. Selalu ada perempuan muncul. Dulu itu, kalau ada dosen perempuan dibandingkan laki-laki yang ikut pemilihan, seolah-olah tanggapannya ya jangan dulu perempuan. Akan tetapi sekarang tidak lagi. Jadi tidak lagi ada resistensi, bahkan sekarang Dekan perempuan, lalu Wakil Rektor dan sebagainya. Selain itu diperlihatkan setiap wisuda dipertlihatkan bahwa wisudawan dan wisudawati terbaik, kebanyakan adalah perempuan. IPK yang tertinggi adalah perempuan. Jadi pandangan yang mengatakan bahwa akal perempuan separuh, kini ternyata banyak perempuan yang melampaui lebih jauh. Ada yang jadi professor, ada yang jadi Doktor dan sebagainya.
Kalau saya, ada mata kuliah tersendiri yang namanya Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia, pada awalnya. Namun karena dipandang terlalu luas, akhirnya saya menawarkan berubah persis judul Hukum Islam dan Analisis Gender. Dengan status mata kuliah pilihan, setahu saya kepersertaannya bakal tidak mencapai 30 orang. Tapi ternyata pesertanya melampaui 30 hingga 40 mahasiswa yang mengambil mata kuliah pilihan ini. Tapi tidak sampai dua kelas. Jadi setiap tahun ada mahasiswa atau mahasiswi yang menindaklanjuti perluasan judul dari makalahnya menjadi judul skripsi. Saya kira ini merupakan efek atau keberhasilan, ya.
Bagaimana iklim atau suasana perkuliahan yang berlangsung?
Pertemuan pertama pasti tegang ya, karena mahasiswa dibawa ke alam baru perkuliahan yang jauh berbeda dari sebelumnya. Kok begini, ya. Pertemuan kedua, tampak mahasiswa mulai berubah. Hal ini karena di perkuliahan pertama mahasiswa masih sulit membedakan mana sesuatu yang sesungguhnya ajaran agama, dan mana yang sesungguhnya itu adalah platform pengembangan dari ajaran agama. Kesetaraan gender itu merupakan paham dari agama. Bias gender itu adalah konstruksi sosial yang merupakan respon dari orang atas situasi tertentu. Diambillah beberapa contoh, lalu ditarik kepada hukum Islam. Nah, makanya dalam pertemuan pertama dikemukakan analisis gender seperti yang dikemukakan oleh Pak Mansour Fakih (Analisis Gender dan Transformasi Sosial). Buku itu dipakai. Tapi saya kan tidak boleh melepaskan itu dari nilai-nilai Islam.
Saya memasukkan Prinsip-prinsip Kesetaraan Gender dalam Islam, yang sangat berperan disana adalah bukunya Pak Nasaruddin Umar dan Tahrir al- Mar’ah fi Ashri al-Risalah (diterjemahkan Kebebasan Perempuan pada Masa Rasul) yang ada 6 jilid itu. Satu lagi ada tesis master yang judulnya Daurul Mar’ah al-Shiyasi fi ‘Ahdi al-Rasul wa Khulafa’ir Rasul (Peran Politik Perempuan pada Masa Rasul dan Khalifah Sesudah Rasul). Nah, dua buku itu (Buku Pak Nasaruddin dan buku Pak Mansour Fakih), sudah ketemu itu. Pakai itulah mahasiswa untuk menganalisis judul-judul. Maka ketika mereka presentasi (presentasinya secara berkelompok, karena kalau satu-satu semuanya tidak kebagian), saya bagi dan buat judul. Dan mereka diminta untuk mengelaborasi hal-hal yang ada dalam kitab Fiqh dan mereka diminta untuk mengkritik dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender. Nah, lalu ketemulah berbagai kesimpulan yang berkeadilan gender.
Melalui mata kuliah apakah isu-isu gender itu diperkenalkan?
Melalui mata kuliah Hukum Islam dan Analisis Gender, itu mata kuliah pilihan. Namun juga saya perkenalkan di mata kuliah lain sejak semester 1. Saya mengajar Pengantar Perbandingan Mazhab, saya sampaikan dengan bahasa saya. Namun tidak sesistematis ini. Kedua, ketika saya mengajar Qawaid Fiqhiyyah di semester 4. Saya juga mengajar Fiqh-Ushul Fiqh di Prodi lain, bila sedang tidak sibuk saya terima. Karena ada beberapa contoh kan, berkaitan dengan hukum. Lalu membaca Teks Arab (Qira’atul Kutub). Di Akwalusy-Syakhsiyyah atau Hukum Keluarga Islam, selalu masalah pernikahan itu masuk juga. Tanpa disuruh dari awal judulnya kita pilih topik-topik yang ada kaitannya dengan isu gender. Itu dilakukan kalau sifatnya selipan. Jadi saat kita menyampaikan mata kuliah tersebut kita gunakan cara berpikir itu. Hanya bedanya, kalau mata kuliah Hukum Islam dan Analisis Gender, itu betul-betul kelihatan bahwa dari awal kita sudah bisa masuk. Kalau selipan pun, tema tetap, bacaan bacaan tetap. Saya hanya bilang, mestinya begini lho cara anda berpikir. Jadi saya hanya memperkenalkan analisis ini. Misalnya, di Akhwalusy-Syahsiyah ada pembahasan soal nikah sirri, nikah mut’ah. Tentu disana dibahas juga. Dan tak jarang sesudah perkuliahan ada mahasiswa yang menguntit dari belakang dan mengatakan, “Pak, saya ingin menulis skripsi dan mendalami salah satu topik dengan perspektif seperti yang Bapak sampaikan.”
Bagaimana rancangannya dalam Rencana Perkuliahan? Bagaimana implementasinya?
(Sambil menunjukkan RPS mata kuliah Hukum Islam dan Analisis Gender), ini kan tampak mudah begini, ya. Karena sudah jadi. Tapi saya yakin bahwa teman-teman yang tidak melakukan ini di kelas, ya susah juga. Pertama, harus dimulai dengan cara mencari buku-buku bacaan dulu. Ini contohnya, terjemahan yang dibuat oleh Khairussalim LKIS Kebebasan Wanita Professor Nasaruddin Umar di Ulumul Quran yang judulnya Teologi Menstruasi, Cara Quran Membebaskan Perempuan (Asma Barlas), Menggeser Konsepsi Gender dan Analisis Sosial (Mansour Fakih), Hal-hal Yang Tak Terpikirkan mengenai Isu-isu Keperempuan dalam Islam (Syafiq Hasyim), Citra Perempuan dalam Islam (penelitian PPIM UIN Jakarta), Fiqh Perempuan :Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Gender (KH. Husein Muhammad), Muslimah Reformis (Siti Musdah Mulia, lalu produk-produk PSW seperti Perempuan Tertindas dan juga Hadis-hadis Misoginis, Ensiklopedi Tokoh-tokoh Wanita dari Mistikus hingga Politikus (Ready Susanto), Feminist Thought (Rosemary Tong), ), Jejak Perjuangan Keulamaan Perempuan Indonesia (Rahima), Islam dalam Teks dan Konteks, dan lain-lain. Jadi berupa daftar referensi, kemudian kita sarikan dalam teman-tema perkuliahan. Tentu ada juga Kitab-kitab seperti Fiqh Sunnah-nya, Al Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, juga Bidayatul Mujtahid dan sebagainya, itu yang kemudian kita dekonstruksi atau takhrij hadis-nya.
Bagaimana respon dan tanggapan mahasiswa terhadap perkuliahan tersebut?
Tentu tidak akan semuanya jadi muallaf ya, dalam soal ‘gender’. Saya sendiri juga tidak biasa memaksa mahasiswa untuk sepakat dengan pikiran saya. Bahkan, dalam ujian Anda tidak mesti mengambil apa yang saya sampaikan. Akan tetapi kalau Anda tidak sepakat dengan pandangan saya, mohon maaf, tolong sertakan argumentasi Anda juga. Itu sebenarnya juga jebakan. Daripada susah-susah mencari counter argument-nya, ya sudah pakai jawaban seperti yang diterangkan Pak Wawan saja. Awalnya begitu. Itu ka nada dua sesi, yaitu Mid Test dan Test Akhir semester. Rupanya dari proses itu, yang awalnya seperempat bisa jadi lebih dari separuh kelas mereka sepakat dengan apa yang saya sampaikan. Itu ketahuannya dari mana, dari lembar jawaban. Jawaban yang menggunakan perspektif kita, itu lebih menarik. Runut, begitu.
Tindak lanjut apakah yang dilakukan oleh para mahasiswa?
Kalau mahasiswa yang tertarik dengan mata kuliah ini, kemudian akhirnya menjadi judul skripsinya. Minimal ada dua, kadang pernah sampai tiga. Perbincangan tentang khitan perempuan, perbincangan tentang mahram, tentang sopir perempuan, kan menarik itu topik-topik yang diangkat. Bahkan ketika saya di AS saja, yang topiknya Keluarga Sakinah pun saya cenderung tolak. Saya bilang coba anda angkat Keluarga Maslahah, jangan keluarga sakinah terus. Anda kan dari NU. Biar tahu konsep-konsep keluarga Maslahah itu berasal dari NU. Coba Anda refleksikan konsep keluarga yang digunakan, itu direspon seperti apa oleh warga NU. Ini juga begitu, minimal tidak sampai banyak, akan tetapi perspektif mereka kelihatan berbeda. Berbedanya itu kelihatan dari tulisan, hingga muncul makalah, bahkan terakhir Islam ada yang mengambil judul Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Islam. Yang jelas, yang membuat saya bahagia ketika saya melihat perspektif kritis itu.
Berdasarkan pengakuan mahasiswa, apakah dampak positif yang mereka rasakan setelah mengikuti perkuliahan tersebut?
Secara intelektual mereka punya pencerahan atau perspektif yang baru tentang isu-isu perempuan dan keislaman Lalu setelah itu kan ada mereka yang ikut Kuliah Kerja Nyata (KKN). Saya tanyakan, “siapa di antara Anda yang akan menyampaikan hal ini dalam KKN nanti?” Seperempat kelas mengacungkan jari. Kalau sekelas ada 40 orang, paling tidak ada 10 orang yang berani menyampaikan. Itu sudah lumayan. Karena ada orang yang bisa menulis, tapi tidak berani ngomong di tengah masyarakat. Ada orang yang diam, tapi dia punya perspektif.
Similar Posts:
- Rahima Libatkan Mahasiswa Dalam Monitoring Pengintegrasian Perspektif Islam Adil Gender
- Rahima Gelar Monitoring Pengintegrasian Perspektif Adil Gender Islam Bersama Dosen UII dan UIN Sunan Kalijaga
- Menuju pendidikan Islam berkeadilan Gender
- Mereka pun Perempuan: Pengalaman Bersama Perempuan Fundamentalis
- Ulil Abshar Abdala: Islam, Perempuan, dan Terorisme (Part II)