Perhimpunan Rahima berkesempatan untuk menghadiri The International Conference on Family Planning and Reproductive Health in Indonesia (ICIFPRH) yang diselenggarakan di Hotel Sahid Yogyakarta. Konferensi ini dilaksanakan selama tiga hari, yakni pada tanggal 30 September hingga 2 Oktober 2019. Kegiatan ini merupakan forum besar yang membahas berbagai masalah keluarga berencana dan kesehatan reproduksi sebagai salah satu pilar untuk mengurangi angka kematian ibu serta meningkatkan kesejahteraan keluarga di Indonesia. Hal penting yang juga diangkat dalam konferensi ini adalah keterlibatan dan kontribusi remaja dalam membahas persoalan kesehatan reproduksi.
Secara umum, ICIFPRH memiliki dua tujuan umum, yakni (1) mendiskusikan konsep, temuan baru, kebijakan, program, dan pembelajaran dari lapangan untuk meningkatkan kinerja program KB dan kesehatan reproduksi dalam mendukung pengurangan angka kematian ibu dan peningkatan kesejahteraan keluarga; (2) Membagikan pengalaman lapangan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi peserta, baik dalam kapasitas individu dan implementasi program dan mendorong gerakan di antara CSO tentang masalah keluarga berencana dan kesehatan reproduksi.
Pera Sopariyanti selaku direktur Rahima turut terlibat di dalam konferensi ini, yakni sebagai moderator pada Satelit 7 yang bertema Engaging Men to Change Harmful Gender Norms and Practices: The Experience of Implementing Male. Sesi yang diselenggarakan oleh Rutgers WPF Indonesia ini dihadiri oleh beberapa panelis, yakni Ibu Endang Sri Lestari, SH, M.Si dari UPPA Polda Metro Jaya, Haryo Widodo dari Rifka Annisa, Evi Baiturohmah dari Sahabat Kapas, serta Sely Fitriyani dari Damar Lampung. Pada Satelit 7 ini para panelis menceritakan tentang pengalaman lapangannya ketika melakukan pendampingan pada kasus kekerasan dengan melibatkan laki-laki sebagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan, baik laki-laki sebagai pelaku maupun yang bukan. Ibu Endang misalnya, ia memaparkan bahwa pada Unit Perlindungan Perempuan dan Anak telah membuat SOP standar layanan pada kasus kekerasan pada tahun 2019. Buku panduan tersebut merupakan panduan bagi para penegak hukum di dalam pemeriksaan kasus KDRT di unit PPA Polda Metro Jaya. Ia menjelaskan bahwa membangun rasa kepercayaan dengan korban harus dilakukan guna memberikan rasa nyaman kepada pelapor. Hal yang menarik dari presentasi Ibu Endang adalah terkait SOP konseling bagi laki-laki sebagai pelaku. SOP ini sebagai terobosan baru mengingat belum ada cantolan hukum di atasnya. Namun dari pengalaman yang telah dilakukan, SOP pelaku sangat efektif. Kenapa? Karena ada banyak kasus KDRT yang dilaporkan ke kepolisian kasusnya ditarik kembali dengan berbagai pertimbangan. Nah untuk mengatasi keberulangan tindakan pelaku KDRT konseling pelaku menjadi hal yang penting agar korban tidak lagi mengalami KDRT.
Adapun Haryo dari Rifka Annisa mempresentasikan tentang pengalaman lapangan saat melakukan konseling kepada pelaku kekerasan di mana Rifka Annisa juga telah melakukan MoU dengan Polres Gunung Kidul di dalam penanganan kasus kekerasan. Haryo menerangkan bahwa seringkali perempuan (istri) kembali lagi dengan pasangannya yang telah melakukan kekerasan, dan setelah keluar dari penjara pun tetap melakukan kekerasan. Situasi tersebutlah yang melatarbelakangi Rifka Annisa untuk melakukan konseling kepada laki-laki pelaku di dalam penjara untuk memutus rantai kekerasan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan membuat MoU dengan Polres Gunung Kidul untuk membuat intervensi kepada pelaku kekerasan. Melalui MoU tersebut lembaganya dapat bersinergi bersama kepolisian untuk menangani kasus KDRT, khususnya di dalam memberikan konseling kepada para pelaku.
Sementara Evi dari Sahabat Kapas (lembaga yang secara khusus bekerja pada isu anak yang terkena kasus hukum) menceritakan perihal pengalamannya di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Evi mengutarakan bahwa lembaganya telah melakukan pembinaan, baik kepada para petugas maupun anak-anak di LPKA. Ia menjelaskan bahwa tantangan yang dialami adalah anak-anak yang telah dibina kembali lagi pada lingkungan berkekerasan. Panelis berikutnya, Selly dari Damar memaparkan pengalamannya terkait pelibatan laki-laki dalam pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan di Lampung. Ia menjelaskan bahwa laki-laki memegang peran penting di dalam mencegah dan menghapus kekerasan. Merespon hal tersebut, strategi yang dilakukan oleh Damar adalah bekerja sama dengan media serta melakukan advokasi (bekerja sama dengan pemerintah desa). Harapannya, akan semakin banyak laki-laki yang bersuara untuk terlibat di dalam penghapusan kekerasan.
Sebagaimana presentasi yang dipaparkan oleh panelis, penyusunan SOP konseling laki-laki sangat penting di dalam penanganan dan pecegahan kekerasan. Dalam hal ini, tidak hanya jeratan hukum yang diberikan kepada pelaku, tetapi konseling juga penting untuk dilakukan guna memutus rantai kekerasan itu sendiri. Namun demikian, konseling laki-laki tersebut belum dapat berjalan dengan maksimal karena masih belum memiliki payung hukum. Artinya, SOP konseling laki-laki perlu diperkuat melalui payung hukum untuk memaksimalkan kerja-kerja penegak hukum maupun CSO di dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Sesi Satelit 7 menjadi bagian yang penting di dalam rangkaian ICIFPRH, mengingat sesi ini adalah satu-satunya ruang yang mendiskusikan tentang pelibatan laki-laki di dalam pencegahan kekerasan. Bagaimanapun, dalam membicarakan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi diskursus tentang pelibatan laki-laki perlu digaungkan guna mewujudkan keluarga yang sejahtera serta terbebas dari kekerasan.