Oleh: Nevisra Viviani
Ribut-ribut soal syari’at Islam di tanah Minang , bukan hal baru bagi saya. Beberapa tahun lalu, ketika masih studi S1 di Padang, teman-teman yang tergabung dalam kelompok pengajian (di mana saya juga terlibat) mensosialisasikan tata cara perjalanan bagi muslimah. Rujukannya rujukan adalah buku Fikih Sunnah karya Sayyid Sabiq, karena dianggap paling kuat menyerukan umat Islam kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunah. Menurut sebuah hadits yang tertulis pada buku itu, perjalanan yang melebihi kira-kira 35 kilo meter mengharuskan seorang perempuan untuk ditemani muhrimnya.
Dengan mengabaikan asbabun nuzul dan ‘illat hukum , hadits itu kami pahmi begitu saja. Dan dengan semangat sami’na wa atha’na (kami dengar dan kami taati), kami langsung mempraktekkannya. Saya yang tinggal di sebuah kota kecamatan berjarak kurang lebih 30 Km dari kota Padang, terhindar dari keharusan ditemani muhrim. Tak begitu halnya teman-teman yang tinggal di Bukit Tinggi, Payakumbuh, Padang Panjang, Solok , dan lain-lain, yang melebihi jarak tersebut. Mereka meminta saudara, ayah, paman atau siapapun yang tergolong muhrim untuk menjemput dan mengantar mereka. Timbul keributan dalam keluarga masing-masing. Menurut keluarga, selama ini mereka pulang pergi sendiri, dan aman-aman saja. Lagipula, siapa yang selalu punya waktu mengantar jemput anak gadisnya ke kota yang bisa ditempuh dalam waktu 1-2 jam saja.
Beberapa teman mogok kuliah karena tak ada muhrim mau menemani. Ada yang stress karena merasa berdosa berjalan sendiri. Sebagian mencari ustadz untuk menjawab persoalannya. Yang terakhir ini biasanya akan cepat meninggalkan kelompok karena tak puas dengan norma-norma tersebut. Tapi terbanyak adalah menerima aturan-aturan seberat apapun karena meyakini itu datangnya dari Allah dan Rasul-Nya.
Ada teman perempuan yang berhenti mengajar di SMA karena meyakini ada ajaran agama yang mengatakan suara perempuan adalah aurat. Meski keputusan ini ditentang keluarga yang telah bersusah payah menyekolahkan anaknya agar jadi ‘orang’, mereka biasanya tak bergeming. Rezeki ada ditangan Allah, begitu mereka berargumen. Kemudian, mereka mengembangkan usaha-usaha yang aman dari ‘pelanggaran syari’at Islam bagi perempuan’, seperti jasa katering, salon khusus perempuan atau menjadi guru di taman kanak-kanak Islam. Mereka tak tergoda untuk memasuki persaingan kerja yang lebih luas, atau mempertanyakan tafsir bias gender dalam memahami ajaran agama. Orang boleh mengatakan kami ‘kuno’, ‘puritan’, atau ‘fundamentalis’, tapi kalau kami bahagia, kenapa tidak ?, begitu kata mereka.
Saya mengungkapkan cerita ini dalam diskusi dengan seorang rekan antropolog dari Eropa, ketika kami bicara tentang fenomena otonomi daerah yang memunculkan keinginan untuk melaksanakan syari’at Islam di beberapa daerah. Menurut sang teman, menguatnya isu pelaksanaan syari’at Islam di Indonesia akhir-akhir lebih sebagai sebuah realitas ekonomi politik , dari pada sesuatu yang ‘genuine’ dari masyarakat Islam sendiri. Ia menyontohkan Gerakan Aceh Merdeka yang menyerukan jilbabisasi bagi perempuan Aceh, atau kemenangan kelompok reformasi di DPRD Sumatera barat, yang memunculkan ide larangan keluar malam bagi perempuan. Ia juga menyebut beberapa nama pejabat Orde Baru yang dianggap ‘mendanai’ kegiatan kelompok Islam ‘garis keras’. Aktivitas mereka diperlukan untuk melanggengkan kepentingan bisnis dan politik para pejabat tersebut.
Saya tak menampik kemungkinan kebenaran sinyalemen sang teman. Tetapi melihat faktor ekonomi politik sebagai satu-satunya penyebab, saya anggap terlalu menyederhanakan persoalan. Fenomena ‘jilbabisasi’ dan kerinduan untuk kembali pada term-term Islam adalah realitas yang banyak ditemui di Indonesia dua puluh tahun terakhir . Di tengah merebaknya ide sekularisme agama yang dipelopori pemikir Islam seperti Cak Nur, Gus Dur, Johan Effendi dan kawan-kawan, gerakan Islam ‘revivalis’ juga berkembang biak di kampus-kampus perguruan tinggi umum di Indonesia. Anak-anak muda dengan indeks prestasi diatas 3, dengan jilbab dan jubah, dengan pengetahuan agama sekadarnya, mencoba merancang dunia sosial baru yang mereka anggap lebih adil, lebih bersih dan lebih ‘islami’.
Jadi, menurut saya, fenomena syari’at Islam tak sekedar imbas dari pertarungan merebut pengaruh antar elit politik Indonesia. Juga bukan hanya karena kepentingan mempertahankan kepentingan ekonomi kelompok tertentu. Beberapa kelompok telah mencoba untuk mempraktekkan syari’at Islam dalam lingkungan mereka sendiri. Ada kerinduan untuk melaksanakan ajaran Islam secara kaffah (menyeluruh). Ada kesadaran untuk tak hanya mengantungkan logika hidup pada hal-hal yang bersifat materi semata.
Persoalan, bahwa syari’at Islam versi tersebut sangat bias gender, itu menjadi keprihatinan tersendiri. Saya memahami ketika sang teman mengatakan bahwa fenomena syari’at Islam di beberapa negara muslim, sering ‘kontraproduktif’ terhadap perempuan. Ia menyebut soal jilbabisasi di Iran pada era Imam Khomeini dan ‘perumahan’ perempuan oleh pemerintahan Thaliban di Afghanistan. Tetapi, sang teman mencoba memahami ketika saya mengatakan bahwa bagi saya jilbab adalah sebuah pembebasan. Dengan jilbab saya melepaskan diri saya dari isme-isme yang dipaksakan lingkungan kepada saya. Dengan jilbab saya melepaskan diri dari ego pribadi dan berserah diri sepenuhnya pada Tuhan. Dan saya yakin itu juga yang menjadi alasan jutaan perempuan yang mengenakan busana muslim di negeri ini dan dibelahan bumi manapun.
Tentu, berbeda agama yang dipilih dengan kesadaran pribadi daripada yang dipaksakan oleh pihak luar. Dan karenanya, saya sependapat dengan penolakan sang teman terhadap pelaksanaan syari’at Islam dalam konteks ini. Saya menganggap penggundulan perempuan yang tak pakai jilbab di Aceh sebagai sesuatu yang melanggar hak azasi manusia. Dan penisbatan kebobrokan moral masyarakat di Sumatera barat terhadap perempuan yang keluar malam sebagai sesuatu yang sangat merendahkan perempuan.
‘Menjadi perempuan muslim di zaman modern lebih sulit daripada masa Nabi Saw’, kata Syubah Asa. Saya setuju. Keinginan jutaan perempuan muslim untuk mencari jati diri, kerinduan untuk menjadi hamba Allah sejati, nampaknya telah ‘ternodai’ oleh penafsir-penafsir agama yang masih memandang perempuan tak lebih sebagai makhluk kelas dua. Perempuan muslim yang dibawa pada euforia kebangkitan Islam nampaknya disadarkan bahwa agama (dalam penafsiran ‘pejuang-pejuang’ Islam tersebut) tetap saja tak ramah pada mereka. Di era kemajuan umat manusia ini, atas nama kesalehan mereka dikembalikan ke sudut-sudut gelap rumah mereka. Suara mereka aurat, tubuh mereka aurat, dan karenanya perempuan muslim harus ditarik dari kawah candra dimuka peradaban, dimana setiap orang berproses menjadi manusia. Lalu, apakah perempuan bukan manusia ?
Tentu tidak ! Mereka meyakini agama mengajarkan setiap manusia sama dihadapan Allah. Tuhan tidak melihat penampilan fisik seseorang, apakah dia laki-laki atau perempuan, budak atau majikan, kaya atau miskin, putih atau hitam. Tuhan hannya melihat karya seseorang dan kualitas pencerahan batinnya. Dan semua itu tak akan dicapai tanpa proses menjadi manusia.
Perempuan muslim sekarang harus merancang sejarahnya sendiri. Mereka harus belajar dari Khadijah yang memilih membela Muhammad daripada mengikuti kaumnya yang mempertahankan egoisme golongan. Mereka harus belajar dari Fatimah yang menentang sahabat utama Nabi Saw, yang berupaya mendeskreditkan Ali. Mereka harus belajar dari perempuan-perempuan Medinah yang berani memprotes khalifah Umar yang melarang mereka mendatangi mesjid-mesjid. Mereka harus belajar dari Aisyah yang memimpin perang dan menepis anggapan orang yang mengatakan perempuan tak layak menjadi pemimpin.
Mereka bukanlah manusia yang ‘dipaksakan’. Perempuan-perempuan tersebut, merumuskan keyakinannya, memutuskan sendiri pilihan-pilihan hidupnya. Mereka adalah subjek yang aktif dalam dunia sosialnya. Dan siapa yang berani mengatakan mereka bukan puncak dari kesalehan ?. Siapa yang mengatakan mereka bukan manusia-manusia terbaik ? Dan perempuan muslim sekarang harus menjadikan mereka sumber inspirasi. Maka, era kebangkitan Islam tak hanya menjadi milik laki-laki !
**************************
Seorang teman dari Eropa berkunjung ke RAHIMA. Ia adalah seorang antropolog yang banyak mengamati perkembangan dunia Islam, terutama yang berhubungan dengan persoalan-persoalan perempuan. Setelah ngalor ngidul omong soal Gus Dur, Sidang Istimewa, kenaikan harga barang dan segala macam, kami sampai pada tema tentang perda-perda yang memunculkan pelaksanaan syari’at Islam. Ia, cemas dengan kecendrungan baru ini.
Sekarang, di Aceh perempuan-perempuan digunduli karena tak memakai jilbab. Dan demi alasan memperbaiki moralitas masyarakat, perempuan dikenakan jam malam di Sumatera Barat. Mengapa Islam Indonesia yang dulu terlihat ramah berubah menjadi sangar ? Begitu lemahkah posisi perempuan dalam Islam sehingga ia harus dipersalahkan untuk problema sosial yang begitu komplek ? Kemana para aktivis yang selama ini dengan gagah berani memperjuangkan gerakan pemberdayaan perempuan ? Mengapa mereka tak mengantisipasi fenomena ini ?
Kegundahan teman ini memang tak gampang diurai. Perubahan yang drastis dalam sistem sosial Indonesia dalam 3 tahun terakhir telah memunculkan hal-hal yang terduga sebelumnya. Suharto jatuh, ekonomi Indonesia ambruk, perang saudara terjadi di mana-mana, beberapa daerah menuntut merdeka, dan seterusnya. Lalu, kalau timbul keinginan kelompok tertentu untuk memunculkan syari’at Islam di daerahnya, apa yang aneh ? Bila kita mengikuti dinamika wajah Islam di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir ini, fenomena ini tak terlalu mengejutkan.