Sumber Foto: Piera/ Pinterest

H. Zudi Rahmanto* 

Sekilas Ibnu Jarir At Thabary

Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At Thabari, nama lengkap sejarawan dan ahli tafsir terkemuka At-Thabari atau Ibnu Jarir at-Tabari yang dilahirkan di kota Amol, Tabaristan (di Iran) pada 225 H atau 839 M yang merupakan tempat berkembangnya kebudayaan Islam.  Namun berdasarkan catatan Wikipedia, mufassir ini lebih banyak menghabiskan waktunya di kota Baghdad; dimana semasa hidupnya, ia pernah belajar di kota RayBaghdad, Syam dan Mesir. Guru yang wafat saat berusia kurang lebih 85 tahun pada 310 H/ 923 M ini, sebagian besar hidupnya diisi dengan mengajar dan menulis. Menurut salah seorang muridnya, Ibnu Kumail, beliau gunakan waktu pagi dan siang untuk menulis, dimana dalam sehari  beliau sanggup menulis hingga 40 halaman.  Sementara sore harinya beliau memberi pelajaran Alquran, Tafsir, dan Fiqh di masjid.

Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur’an atau Tafsir at-Tabari, adalah karyanya yang monumental. Dalam menyusun kitab tafsirnya ini, At-Thabary mengumpulkan bahan-bahan yang berasal dari nash Alquran, hadis, dan riwayat-riwayat yang dipercaya mendukung dalam menjelaskan maksud Alquran. Corak tafsirnya yang bi al-ma’tsur/bi ar riwayah dalam kitabnya menjelaskan penemuan-penemuan hukum, akidah dan fiqh yang ditarik dari ayat-ayat Alquran. Berikut deskripsi beberapa penafsiran At-Thabary terkait kedudukan dan hak-hak reproduksi perempuan.

Perempuan Dalam Tafsir At Thabary

Saat At Thabary  QS. Al Baqarah 36 yang mengusung kisah migrasi  Nabi Adam dan Hawa dari surga ke bumi  dengan merujuk berita yang berasal dari Wahb Ibn Munabbih, seorang ahli tafsir Bibel yang kemudian memeluk Islam, cerita terkait bagaimana ’nilai’ seorang perempuan dalam wacana teks keagamaan, yang diwakili oleh Hawa telah dimulai. Berdasarkan teks-teks Alquran, bahwa Adam dan Hawa ditempatkan di surga, berikut larangan-larangan yang harus dihindari oleh keduanya jika ingin tetap di surga adalah benar adanya. Episode berikutnya adalah perpindahan Adam dan Hawa dari surga menuju bumi ini karena tipu daya setan. (QS. Al Baqarah: 35-36).

Merujuk riwayat yang bersumber dari Wahab Ibn Munabbih, dalam tafsirnya At Thabary menyatakan: “Allah menempatkan Adam dan Hawa di surga dan melarangnya untuk mendekati sebuah pohon yang konon batangnya bercabang-cabang dan berbuah sebagai makanan malaikat agar tetap langgeng di surga. Buah inilah sebenarnya yang dilarang Allah untuk dimakan Adam dan istrinya. Saat iblis ingin menggoda keduanya, ia masuk ke dalam lambung seekor ular hingga ketika sampai di surga iblis keluar darinya untuk menjalankan aksinya. Ia mengambil buah dari pohon larangan serta menawarkannya kepada Hawa, “Wahai Hawa, lihatlah buah dari pohon ini! Alangkah harum aromanya, manis rasanya dan bagus warnanya!”

Hawa mengambil buah tersebut dan memakannya, lalu menawarkan kepada Adam seraya berkata seperti ucapan iblis kepadanya. Adam pun memakannya dan berakibat mereka telanjang. Adam masuk ke tengah-tengah pohon untuk berlindung. Tuhan pun memanggilnya, “Wahai Adam, dimana engkau?” Adam menjawab, ”Aku di sini, karena aku malu.” Tuhan berkata, “Laknat bagi bumi yang Aku ciptakan kamu darinya, laknat yang merubah buah dari pepohonan menjadi duri.” Riwayat menambahkan informasi bahwa sejak saat itu, di surga dan di bumi hanya ada dua pohon yang mulia, pohon akasia dan bidara. Tuhan berkata, kali ini kepada Hawa, “Wahai Hawa, engkau yang telah menipu hambaKu, maka engkau akan hamil dengan susah payah. Jika engkau akan melahirkan, akan merasakan sakit kematian yang berulang-ulang.” (Tafsir At Thabary I:526 versi Maktabah Syamilah)

Versi lain dikisahkan oleh At-Thabari, bahwa suatu ketika Adam mengajak Hawa untuk tidur bersama, namun ditanggapi dengan ungkapan,”Tidak! Kecuali engkau kesini! Ketika Adam menghampirinya, Hawa berujar,”Tidak mau! Hingga engkau makan buah ini!” Keduanya pun makan buah tersebut dan berakibat pakaian surgawi lepas dari tubuh mereka. Adam pun lari untuk berlindung. Tuhan memanggilnya, “Hai Adam, apakah engkau lari dariKu?” Adam menjawab,”Tidak wahai Tuhanku, aku lari karena malu kepadaMu.” “Wahai Adam, bagaimana ini terjadi?” firmanNya. “Ini tidak lain disebabkan oleh Hawa,” Jawab Adam.

Selanjutnya, Allah menjatuhkan sanksi atas Hawa berupa (1) darah yang keluar dari tubuhnya setiap bulan, (2) ia dijadikan dungu, padahal awalnya tercipta dalam keadaan cerdas, dan (3) Hawa akan mengalami kehamilan dan persalinan yang berat, padahal semula kehamilan dan kelahiran yang dialaminya sangat ringan. Kondisi ini dipertegas oleh sebuah ungkapan bahwa andai saja Hawa tidak melakukan pelanggaran tersebut, pastilah perempuan-perempuan di dunia tidak mengalami menstruasi, cerdas, dan mengalami proses kehamilan dan persalinan yang mudah. (Ibid I:527. Bandingkan: Tarikh Tabary, I:55) 

Sub ordinasi Perempuan:  Implikasi yang Mengkhawatirkan

Kajian Nashr Hamid Abu Zaid terkait penafsiran At-Thabary ini, membuktikan tesisnya bahwa bagaimana pun, kondisi di luar teks berpengaruh terhadap produk dari pembacaan terhadapnya. Perspektif Thabary dalam tulisan tersebut menunjukkan betapa pandangan peradaban Arab pra-Islam mewarnai wacana tafsir keagamaan yang terkesan sangat menyudutkan dan merendahkan perempuan. Meskipun perspektif sumber riwayat ini sulit diterima logika dan mengandung mitos, namun cara pandang ini dapat melahirkan implikasi yang serius dalam memandang status perempuan dalam pembacaan teks berikutnya.

Oleh karenanya, lahirnya pelabelan ‘miring’ terhadap perempuan (diwakili Hawa) yang sedemikian kental sebenarnya tidak dapat lepas dari paradigma yang dibangun oleh karya-karya klasik yang tetap ditempatkan sebagai warisan luhur kita, meskipun terkadang memuat materi yang irasional, penuh mitos dan legenda umat pra-Islam. Kisah tersebut secara eksplisit memberikan stigma kepada Hawa sebagai sosok perempuan penggoda, penyebab keluarnya spesies manusia dari surga, sehingga dihukum dengan ketidaknyamanan perempuan dalam proses bereproduksi. Penafsiran seperti inilah yang dikritik secara tajam oleh Abu Zaid dalam artikelnya “Hawa bayna Ad Diin Wa Al Usthurah”.

Menurut Abu Zaid, kisah ini meninggalkan catatan penting bagi kita: Pertama; Tuhan yang digambarkan dalam kisah tersebut adalah tuhan taurat, bukan Allah yang dikenal dalam teologi Islam. Ini adalah hal lumrah dari segi implikasi konteks historis terhadap teks. Sesuatu yang tidak lumrah adalah apabila akal sehat kita menerima kebenaran harfiyah dari kisah ini hanya karena bersumber dari salah satu kitab tafsir yang sangat penting, karena bersumber dari At Thabary atau lainnya. Hal demikian ini bukanlah parameter keilmuan, karena telah menampilkan situasi kontradiktif dengan kaidah-kaidah ilmiah-rasional dan mengundang pertanyaan seperti benarkah para malaikat itu makan? Benarkah Tuhan tidak tahu keberadaan Adam? Kenapa Tuhan hanya menghukum Hawa, tidak kepada Adam? Dan pertanyaan-pertanyaan lain terkait rasionalisasi  kisah Adam dan Hawa ini.

Kedua, kisah di atas menempatkan Adam sebagai korban yang tak berdosa, sehingga mendorong publik berkesimpulan bahwa laki-laki itu contoh ideal dan bebas dari kesalahan, sementara perempuan selalu dalam posisi buruk dan salah. Padahal teks ayat mengabarkan kepada kita bahwa Allah memberi sanksi kepada keduanya (QS.1:36). Menurut Abu Zaid dan menyebabkan kekhawatiran, adalah tuturan kisah lebih memiliki daya tarik dibanding membaca dan memahami teks-teks Alquran. Ketiga: terkait dengan hubungan persamaan antara kesalahan dan sanksi. Sanksi atas Hawa berupa perdarahan setiap bulan, sebagai akibat memakan buah dari pohon larangan, dihilangkannya kecerdasan karena alasan menggoda Adam dengan nafsu. Pesan dominan dari kisah ini adalah bahwa setiap kesalahan melahirkan sanksi, dan pelakunya adalah perempuan, karena berbagai versi kisah Israiliyat tersebut tidak ada yang secara tegas mampu mengungkap sanksi yang diberikan Tuhan kepada Adam.

Apa yang disuguhkan At Thabary, menunjukkan konsistensinya terhadap corak yang diambil dalam penafsiran. Mengenai bagaimana nilai informasi yang dikumpulkan,–tentu saja di luar teks Alquran –dan dijadikan bahan kajian, tidak menutup kemungkinan untuk diklarifikasi secara rasional-ilmiah-teologis. Sudah saatnya kita lakukan kajian teks yang rasional-ilmiah-teologis, dan mengalihkan segala bentuk warisan yang irrasional-mitologis  ke dalam ranah studi arkeologi. Wallahu a’lam.

*Kepala KUA Kec. Tepus Kab. Gunungkidul DI.Yogyakarta, mitra Rahima Program Tokoh Agama

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here