Foto: unsplash.com
India merupakan negara dengan pemeluk Islam terbanyak kedua di dunia setelah Indonesia. Berdasarkan laporan dari Pew Research Center (April 2015), Islam merupakan agama dengan pertumbuhan paling cepat dibanding agama-agama lain di India. Diprediksi, pada tahun 2050 Muslim India akan menjadi yang terbesar di dunia dengan jumlah lebih dari 310 juta mengungguli Indonesia. Sementara Pakistan akan berada di urutan kedua. Fakta ini menyebabkan munculnya isu Islamophobia di India. Perdana Menteri saat ini, Narendra Modi yang seorang Hindu, juga cukup ketat terhadap Muslim. Misalnya ia mengampanyekan tentang pelarangan menyembelih hewan dan tentu ini dialamatkan juga ke orang-orang Muslim yang biasa menyembelih sapi.
Dengan populasi sekitar 14% (180 juta lebih) dari keseluruhan penduduk India, jumlah Muslim di India sangatlah banyak. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan yakni 1000 laki-laki berbanding dengan 900an perempuan. Kebanyakan mereka tersebar di wilayah Utara dan Selatan. Lantas bagaimana kondisi perempuan Muslim di India. Terkait hal ini, saya sempat mewawancarai dosen saya, Aisya Mahmood Farooqui. Ia mengatakan, kondisi perempuan Muslim di India sangat beragam. Antara satu state (negara bagian) dengan state yang lain tentu berbeda. Bahkan lebih jauh ia mengatakan, antara satu keluarga dengan keluarga yang lain juga mempunyai pandangan yang berbeda terkait isu-isu perempuan.
Ia sendiri seorang perempuan yang open minded dan progresif. Meraih gelar PhD. dari Mc Gill University Kanada dan tak berjilbab. Jadi jelas bahwa latar belakang pendidikan dan keluarga sangat berpengaruh. Namun setidaknya kondisi mereka bisa dipetakan antara yang tinggal di perkotaan (urban) dan pedesaan (rural). Berdasarkan apa yang saya lihat di Hyderabad, India Selatan, perempuan Muslim perkotaan memperoleh pendidikan cukup baik. Secara ekonomi mereka pun cukup sejahtera bahkan jika dibanding dengan perempuan Hindu pada umumnya. Jangan kaget, perempuan Hindu kalangan bawah di sini biasa bekerja sebagai kuli bangunan. Bisa dibayangkan apa yang mereka kerjakan. Membuat galian-galian kabel di pinggir jalan pun menjadi pemandangan yang lumrah.
Adapun perempuan Muslim sendiri cenderung jarang bekerja di luar rumah. Beberapa memang menjadi guru atau dosen. Tapi pada umumnya hanya menjadi ibu rumah tangga. Bahkan untuk urusan belanja saja, dilakukan oleh suami. Aisya Farooqui mengatakan, hal ini bukan karena adanya larangan dari keluarga. Tapi memang masih ada semacam kekhawatiran perempuan bekerja di luar rumah terlebih sampai larut malam. Kekhawatiran itu sangat beralasan karena kasus pemerkosaan masih sering terjadi di India. Dan Delhi merupakan state dengan kasus perkosaan tertinggi. Jangan heran, masjid-masjid di India pada umumnya juga jarang menyediakan tempat shalat bagi perempuan. Besar kemungkinan hal ini karena perempuan jarang beraktivitas di luar. Kalaupun harus bekerja di luar, biasanya keluarga membolehkan bekerja yang tak sampai larut malam.
Sedangkan perempuan Muslim pedesaan kondisinya jauh lebih buruk, terutama di India bagian Utara. Secara ekonomi kondisi mereka lebih buruk dibanding orang-orang Hindu dan kelompok agama minoritas lainnya seperti Kristen, Sikh, dan Budha. Karena alasan itu juga prosentase mereka dalam hal pemenuhan pendidikan sangat rendah dan bahkan paling rendah. Berdasarkan laporan dari Kementerian Pengembangan Sumber Daya Manusia India, angka melek huruf Muslim (59%), Kristen (80%), Sikh (69%), Budha (72%), dan Zoroastrian (97%).
Tentu ada banyak faktor penyebab. Pertama adalah faktor ekonomi. Ini menjadi persoalan serius India bahwa penduduknya—termasuk Muslim—masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan. Kedua, akses pendidikan di desa tak sebaik di kota. Sekolah-sekolah jauh dari jangkauan serta sarana dan prasarana yang kurang. Ketiga, masih ada anggapan bahwa perempuan tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Biasanya mereka cenderung di rumah membantu orang tua. Keempat, pernikahan dini masih banyak terjadi akibatnya putus sekolah setelah menikah.
Terkait hal ini ada cerita unik dari teman saya. Ia berasal dari Sudan dan menjalani studi S2 di Osmania University Hyderabad. Jadi saat itu ia hendak menikahi perempuan Muslim yang hanya lulusan SD. Acara sudah akan digelar, tinggal menunggu kedatangan pengantin perempuan. Namun secara tiba-tiba pernikahan batal karena orang tua perempuan minta mahar yang banyak dan ia tak mampu membayar. Mengapa ia menikahi perempuan tersebut, ia beralasan dengan menikahi perempuan berpendidikan rendah, istri akan cenderung nurut ke suami. Ini satu contoh bahwa perempuan Muslim di India masih banyak yang berpendidikan rendah.
Kemudian terkait dengan tradisi pernikahan Muslim di India. Sebenarnya antara Hindu dan Muslim relatif sama. Sudah maklum bawah suami wajib memberi mahar kepada istri. Namun selain itu sudah menjadi tradisi bahwa istri harus memberi seserahan sesuai permintaan suami yang tak sedikit jumlahnya. Orang tua perempuan pun mau memberi dengan alasan supaya putrinya bisa menikah. Dalam sesi kuliah, terkait hal ini Aisha Farooqui mengatakan bagi keluarga berada pemberian itu bisa berupa flat lengkap dengan isinya.
Hal ini tentu menjadi masalah yang sangat pelik karena sudah mentradisi. Berita terbaru yang dimuat di Times of India (Juni, 2015), di State Uttar Pradesh, Khanpur Village, seorang perempuan dibakar hidup-hidup dan akhirnya meninggal karena tak mampu memenuhi permintaan suami untuk memberi sejumlah mahar (istilah yang dipakai dalam berita tersebut yakni dowry). Namun apakah di India tidak ada semacam peraturan yang menjamin hak-hak perempuan dalam rumah tangga. Tentunya ada sebagaimana berikut.
The Dissolution of Marriage Act (1939), putusan ini mengatur tentang hak perempuan untuk mengajukan cerai karena beberapa sebab di antaranya suami tidak memberi nafkah selama 2 tahun berturut-turut, suami bertindak kasar, dsb. Kemudian Special Marriage Act (1954), ini merupakan landasan hukum bagi warga India yang berada di manapun tanpa memandang agamanya untuk melangsungkan pernikahan. Beberapa syarat yang harus dipenuhi di antaranya; sedang tidak berada dalam ikatan pernikahan yang sah dengan siapapun, usia laki-laki minimal 21 tahun dan perempuan 18 tahun. Bahkan jika tidak mendapat restu dari orang tua, calon pengantin tetap bisa melangsungkan pernikahannya dengan payung hukum putusan ini. Terakhir, The Muslim Women Act; Protection of Rights on Divorce, 1986. Putusan ini mengatur soal hak perempuan untuk tetap mendapatkan nafkah dari suami selama menjalani masa iddah setelah diceraikan.
Itulah sekilas potret perempuan Muslim di India dengan segala macam problematikanya. Di satu sisi, sudah ada payung hukum yang menjamin hak-hak perempuan untuk beberapa kasus. Namun tetap masih banyak isu lainnya yang perlu segera disahkan payung hukumnya supaya hak perempuan lebih terjamin. Memang cukup pelik karena isu perempuan di India selalu bersinggungan dengan persoalan kelas, kasta, tradisi dan lainnya. Tentu banyak juga NGO yang bergerak untuk memperjuangkan nasib mereka dan diharapkan semaksimal mungkin bisa memberikan kontribusinya. {} Muhammad Faiq, M.A. in Islamic Studies, Osmania University Hyderabad, India