Oleh: Nur Achmad, MA. *)
Dalam Islam, perbincangan seputar kesehatan, kebersihan, kesucian, keamanan, serta keberlangsungan reproduksi manusia, termasuk membicarakan tentang seksualitas, sejatinya, bukanlah hal yang asing. Demikian yang dapat disimpulkan dari membaca sejumlah ayat Alquran dan juga mengkaji kitab-kitab hadis, tafsir, dan fikih. Salah satunya dapat ditilik dari ayat yang menjelaskan tentang tema kesehatan reproduksi yang sangat sentral yaitu haid dan hal-hal yang mengitarinya serta menegaskan tentang etika kerumahtanggaan dan pujian Allah swt. kepada hamba-hamba-Nya yang menjaga kebersihan/kesehatan batin dengan bertaubat dan kebersihan/kesucian fisik dengan bersuci. Ayat dimaksud adalah:
Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang haid. Katakanlah bahwa haid itu sakit maka hindarkanlah kamu (dengan tidak berhubungan intim) dengan istri yang sedang haid dan janganlah mendekatinya hingga mereka suci. Lalu apabila mereka sudah bersuci (mandi besar), datangilah mereka dari jalan yang Allah perintahkan. Sungguh Allah mencintai orang-orang senang bertaubat dan mencintai orang-orang yang pandai menjaga kesucian. Istrimu adalah sawah-ladang bagimu. Datangilah sawah-ladangmu sebagaimana kamu kehendaki dan lakukanlah (kebaikan yang akan kembali) untuk dirimu sendiri. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kalian akan menjumpai Allah. Dan berikan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman. “(QS. Al-Baqarah, 2: 222-223).
Ayat tersebut konteksnya adalah menjawab pertanyaan para sahabat Nabi saw. tentang apa yang boleh dan tidak boleh ketika seorang perempuan mengalami haid serta keadaan yang dialami oleh perempuan yang haid. Dari ayat tersebut dapat dipahami isyarat pentingnya kaum pria (suami) berperan aktif dalam menjaga kebersihan/kesucian, kesehatan, dan kenyamanan kaum perempuan (terutama usia haid aktif) sehingga pengalaman haid tidak menjadi beban, baik fisik maupun psikis, dan seksual bagi perempuan, namun justru menjadi masalahat atau membawa hikmah bagi kehidupan dalam berbagai bentuknya. Dengan turunnya ayat di atas diluruskanlah pandangan kaum Yahudi bahwa jika seorang istri sedang haid harus dijauhi sama sekali (Katsir, 2003). Juga meluruskan bahwa berhubungan melalui jalur dubur (belakang) ke qubul (kemaluan) dalam pandangan kaum Yahudi saat itu akan menyebabkan anak yang dilahirkan bermata juling (ahwal). Hal ini sempat mengundang kaum perempuan Anshar geger dan bersikap salah ketika suami mereka hendak mendatangi melalui arah dubur ke qubul (kemaluan) atas dasar pandangan keliru tersebut sehingga turun ayat ini meluruskannya. (al-Wahidi 2009)
Terkait ayat di atas, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Anas bin Malik bahwa Kaum Yahudi itu bila istri mereka sedang haid, tidak diajak makan dan bergaul atau berkumpul di dalam rumah, sehingga turunlah ayat tersebut memberi tuntunan yang bijaksana. Ayat tersebut juga menjelaskan tentang dibolehkannya suami-istri saling menggembirakan (mubasyarah) antara keduanya, selama tidak melakukan hubungan intim, yakni menghindari hubungan seksual (hingga sang istri telah bersuci dengan mandi besar) sesuai yang disabdakan Nabi saw.. “Ishna’u kulla syai’in illa al-nikah” (Lakukan segala sesuatu, bagi suami istri, selain hubungan intim). HR. Muslim. Bahkan dalam Riwayat Aisyah ra. berkata: “Kana Rasulullahi ya’muruni fa’attaziru fa yubaasyirunii wa ana ha’idhun (Rasulullah saw. menyuruhku berkain lalu beliau menggembira-kanku, dengan menyentuhkan badan ke badanku, padahal aku sedang haid). HR. Muttafaq ‘alaih (Bukhari dan Muslim).
Begitu pula Allah swt. menjadikan kriteria hamba-hamba-Nya yang beriman dan meraih keberuntungan (al-muflihun), selain shalatnya yang khusuk, menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat, adalah membayar zakat, adalah dengan menjaga kebersihan/kesucian kemaluan (dari yang kotor dan tindakan kotor) serta memelihara amanah, sumpah dan janjinya. Mereka itulah yang akan mewarisi surga Firdaus. (lihat QS. al-Mukminun, 23: 1-11). Secara jelas dan tegas, Allah menyebut kata furuj yang sering diartikan alat-alat kelamin atau kemaluan, baik untuk perempuan atau laki-laki. Betapa perhatian Alquran terhadap kebersihan dan kesucian sangat tinggi.
Bukan saja Alquran, bahkan hal senada demikian dapat juga dilihat ketika membuka Kitab Sahih Muslim karya Imam Muslim (w. 261 H.), pembahasan dimulai dengan Kitab Iman lalu tentang bersuci (wudhu, mandi, haid, tayammum, dan seterusnya). (al-Naisaburi 2003) Sedikit berbeda dari kitab yang disebut sebelumnya, Kitab Sahih al-Bukhari karya Imam al-Bukhari (w. 256 H.), yang memulai pembahasan tentang wahyu, Iman, Ilmu, dan kemudian tentang bersuci. (al-Bukhari 2004). Yang lebih jelas lagi adalah Kitab Bulugh al-Maram min Jam’i Adillati al-Ahkam yang ditulis oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H) yang banyak menjadi rujukan dalam mengkaji hadis-hadis hukum Islam. Menariknya, pembahasan yang pertama kali dimunculkan di bagian awal kitab tersebut adalah Kitab al-Thaharah (tentang bersuci) sebelum membahas tentang shalat, jenazah, zakat, puasa, haji, dan seterusnya. (al-‘Asqalani 2002). Begitu pula dalam kitab-kitab fikih, seperti al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah karya Abdurrahman al-Jaziri, Kitab Fiqhus-sunnah karya Sayyid Sabiq.
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa semua yang terkait bersuci, persucian, dan penyucian adalah prinsip atau hal pokok dalam agama Islam sebelum melaksanakan praktik ibadah mahdhah lainnya. Setidaknya hal bersuci dikaji setelah mengkaji hal keimanan dan ilmu secara umum, sebelum mengkaji soal shalat, puasa, dan sebagainya. Betapa tidak, shalat yang menjadi tiang agama tidak diterima oleh Allah, jika dilakukan oleh orang yang tidak/belum bersuci terlebih dahulu (dengan menjalankan praktik bersuci diri ketika telah berhadas berupa istinjak atau cebok, mencuci, berwudhu, mandi wajib, dan tayamum secara benar).
Karenanya, terasa ada kejanggalan jika dalam pemahaman sementara orang belakangan bahwa membicarakan hal-hal yang terkait kesehatan reproduksi (walau dalam proporsi dan konteks yang wajar) dinilai sebagai tabu, yang tidak layak dibicarakan. Seringkali komunikasi antara orang tua dan anak akan terputus manakala pembicaraan sudah menyentuh hal-hal terkait organ-organ reproduksi. Demikian juga yang terjadi di lembaga pendidikan formal, sekolah dan sejenisnya. Padahal pembicaraan atau perbincangan (baca: pendidikan) seputar kesehatan dan hak reproduksi sejatinya sangatlah manusiawi dan sangat diperlukan bagi kebaikan atau kemaslahatan manusia itu sendiri, baik di level individu, keluarga, maupun sosial. Itu semua mengalir bersama kehidupan umat manusia sejak dilahirkan, menjadi balita, anak-anak, remaja, dan seterusnya. Namun tentu semua itu sesuai dengan takaran dan konteksnya. Yang pasti pada prinsipnya perbincangan soal kesehatan reproduksi (dan yang terkait dengan itu) adalah bagian dari kemaslahatan agama atau dalam rangka meraih kemaslahatan yang lebih tinggi, baik dalam agama maupun terkait urusan dunia. Dalam konteks ini dapat disandingpadankan dengan kaidah fikih, yakni maa laa yatimmu al-wujuub illaa bihi fa huwa waajibun (sesuatu yang menyebabkan tidak sempurnanya sebuah kewajiban selain dengannya maka menjadi wajib pula sesuatu itu) dan Maa laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu (apa saja yang tidak dapat dilakukan semua, tidak ditinggalkan semuanya).
Beberapa hadis berikut dapat dijadikan sebagai argumen pikir untuk menyatakan bahwa pembicaraan seperlunya tentang kesehatan dan hak reproduksi sesuai dengan proporsinya adalah sah dan dibenarkan. Beberapa hadis itu antara lain:
- Nabi saw. mengajarkan pesan kebersihan/kesehatan seksual dan reproduksi dengan bahasa yang sangat halus dan sopan serta terukur seperti dalam hadis berikut:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اَلْأَرْبَعِ, ثُمَّ جَهَدَهَا, فَقَدْ وَجَبَ اَلْغُسْلُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ . زَادَ مُسْلِمٌ: “وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ ”
Artinya: Dari Abi Hurairah ra. berkata: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika seseorang berposisi di atas empat cabangnya (tangan dan kaki) lalu telah bersungguh-sungguh kepadanya, wajiblah ia mandi besar.” (HR. Muttafaq alihi). Imam Muslim menambahkan: “walaupun tidak keluar sperma”. (Lihat Bulughul maram, hadis no. 116 dan 117).
- Nabi bersedia mendengar pertanyaan atau keluhan para sahabat, keponakan dan juga menantunya tentang orang yang sering keluar madzi.
وَعَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : كُنْت رَجُلًا مَذَّاءً فَأَمَرْت الْمِقْدَادَ أَنْ يَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَسَأَلَهُ : فَقَالَ : فِيهِ الْوُضُوءُ . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ ، وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ .
Artinya: Dari Ali ibn Abi Thalib ra. berkata: Aku adalah seorang yang sering keluar madzi (cairan agak lengket yang keluar dari kemaluan) lalu aku minta al-Miqdad untuk bertanya kepada Nabi saw. Ia pun bertanya kepada Nabi saw. (apakah seseorang yang keluar madzi diharuskan berwudhu?). Nabi saw. menjawab: “Hal itu perlu berwudhu”. (HR. Muttafaq ‘alaih dengan lafaz al-Bukhari, lihat Ibn Hajar, Bulughul-maram, hadis no. 63, h. 26, lihat juga al-Shan’ani, Subulus-salam Syarah Bulughul-maram, juz 1, h. 89).
Madzi adalah air bening putih bergetah yang keluar sewaktu terbersit bayangan hubungan persuami-istrian atau seseorang merasa terangsang atau bercanda (dalam konteks suami istri). Terkadang keluarnya tidak terasa. Bisa terjadi pada laki-laki dan perempuan. (lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jilid 1, h. 48).
- Nabimendengarkan pertanyaan dan pengaduan kaum perempuan tentang kesehatan seksual dan reproduksi:
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : { جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إنِّي امْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ ، أَفَأَدَعُ الصَّلَاةَ ؟ قَالَ : لَا إنَّمَا ذَلِكِ عِرْقٌ ، وَلَيْسَ بِحَيْضٍ : فَإِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُك فَدَعِي الصَّلَاةَ ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْك الدَّمَ ثُمَّ صَلِّي } – وَلِلْبُخَارِيِّ ” ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ ” وَأَشَارَ مُسْلِمٌ إلَى أَنَّهُ حَذَفَهَا عَمْدًا .
Artinya: Dari ‘Aisyah ra. berkata: Fatimah bintu Abi Hubaisy datang kepada Nabi saw. lalu bertanya: Ya Rasulallah, sungguh aku seorang perempuan yang mengalami istihadhah hingga aku tidak dalam keadaan suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat? Nabi saw. menjawab: Tidak, (istihadah) itu hanya cairan semacam keringat, bukan haid. Jika datang haidmu, tinggalkan shalat. Jika haidmu berhenti, cucilah darah haid darimu (mandilah hingga bersih) lalu shalatlah.” Dan dalam lafadz al-Bukhari: “Lalu berwudhulah (jika keluar darah istihadhah) untuk tiap-tiap shalat. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i).
- Nabi menjawab pertanyaan seorang sahabat tentang hukum menyentuh kemaluan apakah membatalkan wudhu.
وَعَنْ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : { قَالَ رَجُلٌ مَسِسْت ذَكَرِي ، أَوْ قَالَ : الرَّجُلُ يَمَسُّ ذَكَرَهُ فِي الصَّلَاةِ ، أَعَلَيْهِ الْوُضُوءُ ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا ، إنَّمَا هُوَ بَضْعَةٌ مِنْك } أَخْرَجَهُ الْخَمْسَةُ ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ ، وَقَالَ ابْنُ الْمَدِينِيِّ : هُوَ أَحْسَنُ مِنْ حَدِيثِ بُسْرَةَ .
Artinya : Dari Thalq ibn ‘Ali ra. berkata: Ada seorang laki-laki berkata: “Aku telah menyentuh kemaluanku?” atau ia berkata: “Ada seorang laki-laki menyentuh kemaluannya di dalam salat. Apakah baginya (wajib) berwudhu?” Lalu Nabi saw. menjawab: “Tidak, karena itu hanyalah daging kamu sendiri”. (HR. Imam yang lima, yakni Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad), disahihkan oleh Ibn Hibban. Ali ibnu al-Madini berkata bahwa hadis ini lebih baik dari hadis riwayat Busrah. (Lihat al-‘Asqalani, Bulughul-Maram, hadis no. 66). Imam al-Shan’ani menjelaskan bahwa hadis tersebut diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, Imam al-Daruquthni. Menurut al-Thahawi, sanadnya mustaqim ghaira mudhtarib (lurus tanpa cela). Imam a-Thabrani dan Ibnu Hazm menilainya shahih. (lihat al-Shan’ani, juz 1, h. 92)
Juga hadis berikut:
وَعَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : { مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ } أَخْرَجَهُ الْخَمْسَةُ ، وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ حِبَّانَ ، وَقَالَ الْبُخَارِيُّ : هُوَ أَصَحُّ شَيْءٍ فِي هَذَا الْبَابِ
Artinya: Dari Busrah binti Shafwan ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Siapa yang menyentuh kemaluannya hendaklah ia berwudhu”. (HR. Imam yang Lima, disahkan oleh al-Tirmizi dan Ibn Hibban, dan Imam Bukhari berkata hadis ini yang paling sahih dalam bab ini).
Dua hadis yang disebut terakhir di atas terkesan bertentangan. Hadis pertama tidak mewajibkan wudhu, sementara hadis kedua menganjurkan berwudhu. Karena itu ada yang menilai hadis Busrah (hadis kedua) di-nasakh, mansukh atau dihapuskan hukumnya. Namun sebagian ulama menggunakan metode pengumpulan (thariqatul-jam’i) antara keduanya, sehingga sementara ulama seperti Imam Malik menyimpulkan bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu, namun lebih baik jika berwudhu kembali. Artinya, disunnahkan (mandub) berwudhu, tidak diwajibkan. (Lihat al-Shan’ani, h. 93-94).
- Nabi menjelaskan tentang kewajiban mandi bagi perempuan yang bermimpi sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut:
وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ; أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ -وَهِيَ اِمْرَأَةُ أَبِي طَلْحَةَ- قَالَتْ: – يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ اَللَّهَ لَا يَسْتَحِي مِنْ اَلْحَقِّ, فَهَلْ عَلَى اَلْمَرْأَةِ اَلْغُسْلُ إِذَا اِحْتَلَمَتْ? قَالَ: “نَعَمْ. إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ” – اَلْحَدِيثَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ .
Artinya: Dari Ummi Salamah bahwa Ummu Sulaim, istri Abu Talhah, berkata: “Ya Rasulullah, sungguh Allah swt. tidak malu untuk urusan kebenaran. Apakah wajib mandi (besar) bagi perempuan, jika bermimpi (keluar air mani)?” Rasul menjawab: “Ya, jika ia melihat air (mani)”. (HR. Muttafaq ‘alaihi).
Hadis ini senada dengan hadis berikut:
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضي الله عنه – قَالَ: – قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِي اَلْمَرْأَةِ تَرَى فِي مَنَامِهَا مَا يَرَى اَلرَّجُلُ- قَالَ: “تَغْتَسِلُ” – مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ .زَادَ مُسْلِمٌ: فَقَالَتْ أُمُّ سُلَيْم ٍ – وَهَلْ يَكُونُ هَذَا? قَالَ: “نَعَمْ فَمِنْ أَيْنَ يَكُونُ اَلشَّبَهُ? – .
Artinya: Dari Anas bin Malik ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda tentang perempuan yang bermimpi di dalam tidurnya seperti mimpinya seorang laki-laki, “Ia harus mandi besar” (HR. Muttafaq ‘alaihi). Imam Muslim menambahkan bahwa Ummu Sulaim berkata: “Bagaimana itu bisa terjadi?” Nabi saw. menjawab: “Ya, jika tidak, maka dari mana terjadi kemiripan (seorang anak dengan ibunya).
- Nabi mengajarkan tata cara mandi dan kemudian Aisyah , Ibu Kaum Beriman, menjelaskannya kepada para sahabat yang lain sebagaimana hadis berikut:
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا اِغْتَسَلَ مِنْ اَلْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ, ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ, فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ, ثُمَّ يَتَوَضَّأُ, ثُمَّ يَأْخُذُ اَلْمَاءَ, فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ اَلشَّعْرِ, ثُمَّ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ, ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ, ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِم ٍ .
Artinya: Dari ‘Aisyah ra. berkata: Rasulullah saw. apabila mandi karena janabat memulai dengan mencuci kedua tangannya, lalu mengucurkan air dengan tangan kanannya ke tangan kirinya lalu mencuci kemaluannya. Kemudian berwudhu (seperti wudhu biasa). Lalu mengambil air dan memasukkan jari-jarinya ke pangkal rambut. Kemudian ia tuang atas kepalanya tiga kali tuangan. Lalu ia siram seluruh badannya (hingga bersih) lalu mencuci kakinya. (HR. Muttafaq ‘alaih, lafadz Muslim).
- Nabi menjelaskan tentang tata cara menyucikan bekas air mani yang mengenai pakaian melalui Aisyah ra. istri beliau:
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا, قَالَتْ: – كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَغْسِلُ اَلْمَنِيَّ, ثُمَّ يَخْرُجُ إِلَى اَلصَّلَاةِ فِي ذَلِكَ اَلثَّوْبِ, وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى أَثَرِ اَلْغُسْلِ فِيهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ .
Artinya: Dari Aisyah ra. berkata: “Rasulullah saw. itu mencuci air mani (yang mengenai kain). Kemudian beliau keluar menuju tempat shalat dengan memakai pakain tersebut. Dan aku melihat bekas mencucinya di pakaian tersebut.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
- Nabi menjelaskan tentang tata cara menyucikan bekas darah haid kepada Asma’ binti Abi Bakar ra., saudara ipar Nabi dari ‘Aisyah ra. sebagaimana hadis berikut:
وَعَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ -فِي دَمِ اَلْحَيْضِ يُصِيبُ اَلثَّوْبَ-: – “تَحُتُّهُ, ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ, ثُمَّ تَنْضَحُهُ, ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ” – مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ (2) .
Artinya: Dari Asma’ binti Abi Bakar ra. bahwa sesungguhnya Nabi saw. bersabda tentang (cara membersihkan) darah haid yang mengenai pakaian: “(Hendaklah) ia kerik darah itu, lalu ia gosok-gosok dengan air, lalu ia mencuci-bilasnya, kemudian ia shalat dengan memakai kain tersebut”. (HR. Muttafaq ‘alaihi).
Dari sejumlah pengalaman yang tertuang dalam hadis-hadis di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah adalah seorang guru dan pembelajar sejati bagi istri beliau, para sahabat, menantu, kaum perempuan yang berani bertanya maupun pemalu. Nabi Muhammad sering berbagi pengetahuan kepada segenap orang yang ingin mendapat penjelasan tentang sesuatu. Seringkali pula beliau mengajak dialog-dialog ringan atau membuat perumpamaan agar lebih mudah dipahami untuk memperjelas suatu hal. Model pendidikan atau pembelajaran seperti yang dilakukan Nabi bersama para sahabat tersebut sebagai model pendidikan yang interaktif, dialogis, dan berbasis pengalaman seseorang. Hal demikian mungkin yang sekarang sering disebut sebagai metode belajar atau pendidikan orang dewasa atau pembelajaran dengan teman sejawat.
Di pesantren dan madrasah atau majelis taklim, sesungguhnya pembelajaran seputar kesehatan reproduksi dan seksual sudah biasa dilakukan dengan istilah ngaji seputar thaharah dan seterusnya. Ini tentu harus dipastikan dilakukan dengan bijaksana, dengan melihat siapa yang diajak belajar, melihat konteks masalah, dan tentunya pula sesuai dengan materi pembelajaran. Dengan metode dialogis atau cerita pengalaman atau bertanya jawab secukupnya, diharapkan tema-tema kesehatan reproduksi dan seksual dapat dibelajarkan dengan baik dan benar serta efektif. Maksud menyebarkan ilmu sebagai pencerahan peradaban dapat dilakukan, namun tetap terhindar atau menghindarkan dari ekses/dampak negatif, terutama jika metode dan materinya kurang sesuai. Tentu bukan saja kalangan pesantren/madrasah yang perlu mengetahui tema ini dengan baik dan benar, bahkan setiap ayah atau ibu juga perlu memahami hal-hal terkait taharah dan juga kesehatan reproduksi agar dapat menjadi tempat konsultasi dan berbagi yang aman dengan anak-anak, termasuk anak didik (sebelum mereka mendapatkan informasi yang salah dari sumber yang tidak bertanggung jawab).
Demikian sekelumit tulisan sebagai pembuka wacana dan dialog seputar pendidikan atau pembelajaran kesehatan reproduksi. Semoga bermanfaat. allahu a’lam bish-shawab. {}
*) Penulis adalah Anggota Badan Pengurus Perhimpunan Rahima dan Dosen Kajian Islam STIEAD Jakarta