Ai Sadidah*

Judul Buku     :   “Merintis Keulamaan untuk  Kemanusiaan :  Profil Kader  Ulama                                         Perempuan Rahima

Tim Penulis    :   AD. Eridani, Mawardi, AD. Kusumaningtyas, Maman Abdurrahman

Editor            :    Nor Ismah

Penerbit         :   Rahima, 2014

Jumlah Halaman: xlviii, 2364 halaman

 

Secara etimologi, ulama (jamak) yang bentuk tunggalnya dalam Bahasa Arab adalah ‘alim adalah pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupun masalah sehari-hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Makna sebenarnya dalam bahasa Arab adalah ilmuwan atau peneliti, kemudian arti ulama tersebut berubah ketika diserap ke dalam Bahasa Indonesia, yang maknanya adalah sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam. Pengertian ini memang merupakan pengertian yang secara umum dianut oleh masyarakat kita ketika mendefinisikan ulama.

Dalam pengertian ini, terlihat bahwa ulama ini umum dan bisa dilekatkan pada laki-laki atau pun perempuan. Namun kenyataan di lapangan term ulama ini lebih merujuk pada  orang yang berjenis kelamin laki-laki. Asumsi ini dibangun karena fakta menunjukkan yang diakui sebagai ulama oleh masyarakat itu hampir semuanya laki-laki. Pandangan demikian juga terbangun terkait dengan pemahaman teks keagamaan mainstream yang meletakkan otoritas keagamaan sebagai wilayah istimewa  laki-laki.

Diakui atau tidak, selama ini kecenderungan masyarakat menempatkan laki-laki di dunia publik dan perempuan di dunia domestik terjadi hampir pada setiap peradaban manusia. Mitos semacam ini telah melahirkan kesenjangan sosial yang berkepanjangan antara kedua jenis kelamin. Perempuan dianggap superior dalam aktivitas rumah tangga (wilayah domestik), sementara laki-laki dianggap paling unggul dalam wilayah publik. Padahal jika kita melakukan telaah teologis terhadap Alquran sebagai rujukan utama umat Islam, kita akan menemukan bukti bahwa Alquran banyak mengisahkan perempuan-perempuan yang aktif dan sukses di wilayah domestik dan publik, di antaranya dalam surat An-Naml  ayat 23 : “Sungguh, kudapati ada seorang perempuan yang memerintah kaumnya dan dia dianugerahi segala sesuatu serta memiliki singgasana yang besar”. Ayat ini mengisyaratkan bahwa ada seorang perempuan yang sangat cakap  memegang kekuasaan, dia adalahRatuBilqis.

Sementara itu telaah historis akan membuka mata kita untuk menengok kondisi perempuan pada masa Nabi saw. Pada masa itu, kaum perempuan memperoleh kemerdekaan dan suasana batin yang cerah. Rasa percaya diri mereka semakin kuat, sehingga di antara mereka mencatat prestasi gemilang, terutama dalam sektor publik. Tidak diragukan lagi bahwa terdapat perempuan yang sukses di wilayah publik pada masa Nabi saw. Sejarah mencatat dan mengabadikan nama besar mereka dalam pengembangan intelektualitas. Pada masa Rasulullah, studi keagamaan merupakan bidang terfavorit bagi kaum perempuan, sehingga banyak perempuan Muslim yang menjadi tokoh terkemuka di kalangan para ahli hadis dan ahli hukum. Adalah Siti Aisyah, istri Nabi saw. menduduki peringkat pertama teratas. Ia adalah ilmuwan terkenal pada masanya. Aisyah dipercaya memiliki ribuan hadis yang diterima langsung dari Nabi saw. dan sampai hari ini tetap dinilai memiliki otoritas yang tinggi dalam yurisprudensi Islam. Nama lain yang terkenal adalah Nafisah, keturuan Ali, yang menjadi ahli hukum dan ahli teologi terkemuka. Shuhdah merupakan nama termuda dalam keilmuan tradisional, terutama hadis, yang merupakan sebuah disiplin ilmu orang Islam yang  diajarkan secara eksklusif kepada kaum laki-laki.

Penghargaan Islam atas perempuan secara teologis dan historis ini telah membawa spirit pembebasan perempuan dari berbagai ketertindasan. Sayangnya spirit  pembebasan perempuan ini meredup setelah wafatnya Rasulullah saw. dan terus meredup pada masa selanjutnya. Bahkan kini kita akan menjumpai pandangan dan sikap merendahkan perempuan yang mengatasnamakan Islam. Dalam kehidupan keagamaan, memang dominasi dan hegemoni patriarki hampir tak tergoyahkan. Namun demikian, hal ini tidak menyurutkan sebagian perempuan yang masih meyakini bahwa Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam. Termasuk di dalamnya kaum perempuan yang terus bergerak demi terwujudnya peradaban yang lebih ramah terhadap perempuan, peradaban yang menciptakan relasi yang setara di antara manusia.

Spirit pembebasan perempuan yang berpijak secara teologis dan historis seperti di atas inilah yang dapat kita temukan  pada profil para perempuan yang terdokumentasi pada buku “Merintis Keulamaan untuk Kemanusiaan: Profil Kader Ulama Perempuan Rahima”. Yang menarik dari buku ini adalah pemaknaan baru atas term ulama. Rahima mempertahankan pemaknaan ulama dalam pengertian tradisional yakni memiliki kualifikasi ulama sebagaimana yang  dikenal selama ini, namun dengan tambahan adanya kemampuan melakukan pengorganisasian masyarakat serta kemampuan mendesakkan kepentingan perempuan dalam kebijakan negara dan institusi-institusi keagamaan yang otoritatif di Indonesia. Dengan pemaknaan ini, maka ulama bukanlah figur perseorangan namun kelompok orang (komunitas ulama), mengingat perannya yang semakin kompleks di tengah budaya patriarkhi yang masih kental.

Bagi saya pribadi, buku ini adalah saksi sejarah atas proses perjuangan yang dilakukan para ulama perempuan untuk membangun dunianya yang ramah bagi kemanusiaan. Ada sekitar 40 (empat puluh) ulama perempuan didokumentasikan kiprahnya dalam buku ini dengan beragam peran dalam komunitasnya masing-masing. Pada umumnya, sebagian besar profil ulama perempuan ini relatif sama (berlatar belakang priyayi pondok, atau minimal santri yang pernah mondok), menghadapi kultur yang tidak jauh berbeda terhadap perempuan di dalam masyarakat, sehingga dalam upaya membangun komunitas yang ramah dan adil gender relatif sama dalam cara yang dipilih.

Ini terlihat pada isu pendidikan sebagai sentral gerakan. Mungkin karena sebagian besar berlatar belakang pondok dan dunia pendidikan, maka upaya nyata mereka lakukan juga di wilayah ini. Bagi mereka, pendidikan diyakini sebagai pewarisan dan internalisasi nilai yang mumpuni sehingga melalui pendidikan ini internalisasi nilai-nilai yang ramah terhadap kemanusiaan lebih mudah dimasukkan. Namun demikian, peran sosial lainnya muncul semisal pembelaan terhadap perempuan-perempuan korban KDRT dan buruh migran, dan pengambil kebijakan (anggota DPRD).

Profil ulama perempuan dalam buku ini telah memberikan warna bagaimana kehidupan yang ramah terhadap kemanusiaan dipandang dalam perspektif gender yang mempertimbangkan pengalaman perempuan sebagai bagian dari upaya memahami ajaran Islam itu sendiri. Maka, pemahaman Islam yang berakibat buruk pada perempuan dipandang sebagai pemahaman yang harus diinterpretasi ulang, karena Islam sebagai agama rahmat tidak mungkin memperlakukan umatnya dalam kondisi  yang  buruk.

Kehadiran buku ini tentunya memperkaya wawasan kita, terutama kita bisa belajar pada apa yang sudah dilakukan oleh para ulama perempuan ini di komunitas  masing-masing. Dan yang tidak kalah penting, buku ini adalah narasi sejarah perjuangan perempuan Muslim di negeri bernama Indonesia. Wallahu’alam 

*Mitra Rahima di PP Nurul Huda, Cisurupan, Garut

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here