Yuniyanti Chudzaifah, adalah Ketua Kominisoner Komnas Perempuan periode 2012-2015. Perempuan kelahiran Wonogiri, 4 Juni 1969 yang juga tengah mengikuti seleksi sebagai komisioner Komnas Perempuan untuk periode 2015-2019 ini telah sejak lama malang melintang menjadi aktivis perempuan di berbagai organisasi. Yuni yang menikah dengan Mukhlis, rekan sesama aktivis dan teman kuliah satu angkatannya yang kemudian menekuni profesi sebagai jurnalis ini dibesarkan dalam kultur pendidikan Islam yang kuat namun terbuka. Sulung dari tiga bersaudara ini memulai jenjang pendidikan formalnya di SD Muhammadiyah, kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Pabelan Magelang. Disini ia pertama kali belajar tentang pluralisme. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Fakultas Ushuluddin Jurusan Filsafat IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selanjutnya, bersama keluarga termasuk kedua putra-putrinya Fikra Alizanovich dan Vandana Mernissi, ia sempat merasakan hidup di Amerika Serikat saat sang suami melanjutkan studinya serta di negeri kincir angin, Belanda saat studi di Univeristas Leiden tempat Yuni menyelesaikan Masternya. Perempuan yang hobby menelusuri koleksi perpustakaan Koninklijke Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV), Leiden dimana koleksi Surat-surat Kartini disimpan, saat ini sedang berjuang menyelesaikan studi PhD.-nya di Universitas Amsterdam Belanda. Berikut sajian wawancara redaksi Swara Rahima dengan Yuni, di rumahnya yang asri di daerah Cinangka, Sawangan, Depok.
Bagaimana refleksi anda tentang perjalanan atau evolusi jilbab dari masa ke masa?
Konsep pelarangan jilbab pada masa Orde Baru sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari menguatnya militerisme di Indonesia. Kita tahu saat itu Islam menjadi satu kekuatan yang mengkristal, yang potensial mengguncang state. Pelarangan jilbab beriringan dengan over control terhadap gerakan-gerakan Islam. Bahkan khatib-khatib di masjid mesti dikontrol supaya tidak melawan pemerintah (against the state). Pelarangan jilbab adalah cara paling depan dalam penaklukan sebuah identitas, atau penaklukan kekuatan sebuah kelompok Islam melalui simbolnya, jilbab. Yang menarik, jilbab tidak jauh beda dengan cara orang India yang ingin menunjukkan identitasnya dengan memakai baju berupa kain sari sebagai simbol nasionalisme. Penaklukan-penaklukan ini tidak jauh beda dengan sebuah konflik dimana kelompok yang berkepentingan dalam tubuh militerisme, terkadang kemudian membenarkan atau membiarkan kekerasan seksual dan sebagainya terjadi. Tubuh perempuan sering dijadikan politik identitas (politics of identity) untuk proses pengontrolan. Itu konteksnya.
Sebetulnya kontrol terhadap Islam akibat ketegangan hubungan antara Islam dan state (negara) itu sudah berlangsung lama, sejak masa kolonial. Bahkan kita bisa lihat bagaimana pesantren-pesantren serius dikontrol, yang membuat huruf Arab dengan huruf Latin menjadi saling berkontestasi, berkompetisi sebagai sebuah simbol power. Trauma pada state dimasa kolonial itu terbawa sampai Orde Baru, dimana identitas agama akan muncul pada konteks militerisme menjadi simbol dari kekuatan state. Di situasi itulah militer sering bermain. Kecuali pada akhir akhir Orde Baru, dimana pendukung Suharto semakin menjauh, berjarak dengan kelompok militer. Soeharto kemudian mengajak kelompok Islam. Simbolnya melalui kehadiran Bank Syariah (Muamalat) dimana-mana, melalui ICMI, Masjid Amal Bhakti Muslim Pancasila dan lain sebagainya, bahkan jilbab diberi kelonggaran. Ini penting dan menarik untuk dibaca dari sudut pandang historis dalam melihat ketegangan hubungan antara agama dan negara.
Bagaimana Anda melihat bergesernya trend pelarangan berjilbab hingga munculnya trend pemaksaan berjilbab oleh negara ?
Penting untuk membaca bagaimana kondisi psikososial dalam tubuh umat Islam saat berhadapan dengan state. Kebetulan saya pernah berhadapan dan melakukan riset kecil terkait dengan Islam, perempuan dan fundamentalisme. Kelihatan betul bagaimana Islam bernegosiasi atau memanfaatkan ruang-ruang reformasi untuk menunjukkan supremasinya. Yang paling kongkrit adalah melalui Perda-perda (yang dalam kacamata Komnas Perempuan dinilai sebagai kebijakan diskriminatif), yang hingga Agustus 2013 jumlahnya tercatat sebanyak 342 kebijakan atas nama agama dan moralitas.
Beberapa ulama yang saya temui -di antaranya Ketua Majelis Ulama di beberapa daerah- mengatakan bahwa ini adalah momen untuk menunjukkan supremasi ulama atas negara. Yang paling kongkrit adalah memberi ruang kepada jilbab melalui anjuran (anjuran yang soft, hingga kencang, bahkan sampai pada pelembagaan (level kewajiban) sampai penghukuman. Banyak orang membaca bahwa fundamentalisme memulai gerakannya dari pinggiran, dalam konteks ini melalui kekuatan-kekuatan daerah atau sering didapat dari masjid, lembaga pendidikan atau institusi-institusi negara.
Kelihatannya pelemahaan atas otonomi perempuan melalui isu agama mulai banyak terjadi. Think-tank-nya mulai terlihat di level nasional. Sementara di level internasional terjadi softening, pelembutan. Temuan Komnas Perempuan mengenai range persoalan jilbab beragam. Misalnya di sekolah SMA, jilbab menjadi anjuran Kepala Sekolah, anjuran pun hanya anjuran biasa. Akan tetapi kalau melihat dari sisi power relation (relasi kuasa), seorang siswa sangat powerless. Dengan dia “dianjurkan“ saja akan membuatnya mengalami resiko pada pemberian nilai, maka dia akan terpaksa memakai jilbabnya. Atau dimulai dari kultur yang terjadi di antara kawan-kawannya sendiri, karena ada banyak yang memakai jilbab, maka yang minoritas (yang tidak memakai jilbab) akan terlihat. Hal itu terkristalkan dalam proses menjadi minoritas melalui agama di antara orang yang memakai jilbab, sehingga orang tidak nyaman kemudian mengambil resiko dan akhirnya memilih untuk berjilbab atau tidak memakai jilbab. Pada level kelembagaan negara melalui kebijakan atau Surat Edaran dari Kepala-kepala Daerah yang hukumannya melalui shaming and naming (mempermalukan dan menjadikannya bahan olok-olok). Penghukumannya menjadi penghukuman legal. Kita lihat bagaimana seseorang dipermalukan di depan umum, bagaimana kenaikan jabatan diperlambat bahkan dipersulit. Atau ketika upacara, ada siswa yang tidak memakai jilbab disuruh datang menghadap Kepala Sekolah terlebih dahulu.
Di Sulawesi ada diskriminasi pada mereka yang tidak memakai jilbab. Saat kami tanyakan ke otoritas negara waktu itu, mereka bilang bahwa nanti raskin (beras bagi rakyat miskin)-nya akan kami tahan. Ini mengkhawatirkan betul, hanya gara-gara tidak pakai jilbab kemudian terhalang hak hidup dan hak ekonomi seseorang, yaitu kelompok miskin. Pada level-level seperti ini negara sudah memberikan pelembagaan diskriminasi.
Oleh karenanya, Komnas Perempuan berpikir hal seperti ini tidak bisa dibiarkan. Bagi Komnas Perempuan soal berjilbab atau tidak berjilbab, adalah otoritas individu yang harus kita hormati. Bagi individu yang berjilbab dan berekspresi atas dasar keyakinan agamanya, dan menganggapnya memiliki sesuatu makna tertentu, ya silakan saja. Begitu pula halnya ketika seseorang tidak mau pakai jilbab, akan menjadi masalah apabila negara mewajibkan. Itu yang terkadang membuat Komnas Perempuan mengalami kesulitan untuk mengkomunikasikan hal ini ke daerah, tentang ketika negara terlalu mengintervensi pada isu-isu ini. Artinya negara sudah melakukan pelembagaan diskriminatif.
Pertama, dari segi hak politik, bentuk penghormatan negara terhadap hak sipil politik warganya dengan cara sesedikit mungkin negara melakukanintervensi. Pada praktiknya hak paling individual seperti ini sering tidak dipahami oleh otoritas daerah. Mereka bilang, ’menghormati agama dengan membuat kewajiban kenapa dianggap diskriminatif?’ Mereka tidak tahu yang kita sebut diskriminatif adalah dari prosesnya yang tidak melibatkan perempuan, tidak mau mendengar perempuan maunya apa. Kedua, dari sisi substansinya, sering terjadi kriminalisasi bahkan viktimisasi, baik terhadap mereka yang pakai atau tidak pakai jilbab. Malah dibiarkan otoritas negara yang melakukan itu. Ketiga, dampaknya bagi mereka yang mendapatkan perlakuan diskriminasi. Saya merasakan betul ketika saya diundang buka puasa bersama oleh seorang Menteri. Saat itu, mayoritas perempuan yang hadir pakai jilbab, saya tidak pakai jilbab. Ketika saya datang saya seperti teralienasi. Bila terjadi pada satu orang, hal ini sering tidak terekam. Ini yang terjadi pada saya. Saya sendiri sebenarnya fleksibel saja. Kadang di satu wilayah tertentu, saya harus mengekspresikan diri karena lingkungannya pakai jilbab, maka saya pakai kerudung.
Ketika jilbab diwajibkan oleh negara, artinya negara diberi otoritas untuk mewajibkan jilbab. Artinya pula suatu hari nanti negara punya otoritas untuk melarang memakai jilbab. Ini bahaya sekali, karena soal ini bukan wilayah otoritas institusi negara. Biarkan dia menjadi wilayah institusi agama. Termasuk misalnya, di Aceh polisi syariah didanai dan menggunakan budget negara untuk men-support kelompok-kelompok tertentu saja. Artinya suatu hari nanti, bila ada kelompok lain yang minta difasilitasi Salib, baju bikhu, maka negara tidak akan bisa untuk tidak men-support. Secara sederhana kita lihat ada hal idiologis, dampak proses, substansi dan lain sebagainya. Oleh karenanya kita mesti mengambil posisi bahwa negara harus clear dalam bermain dan bersikap dalam kerangka ber-bhinneka. Jangan kesannya menghormati, tapi sebenarnya justru malah tidak menghormati.
Bukankah teks yang seringkali digunakan perempuan, menggunakan jilbab itu interpretable, apa implikasi dari keberagaman penafsiran itu?
Penafsiran tentang jilbab itu bisa dari A sampai Z. Ada yang mau pakai jilbab yang panjang sekali, ada yang modis, terang, sederhana, pendek sekali. Walaupun beraneka macam gaya, menurut saya perempuan itu tetap punya hak menyebut dirinya muslim. Karena mindset tentang sebuah ajaran yang disebut Islam banyak sekali susbtansinya. Seseorang bisa disebut sebagai orang Islam, tidak hanya karena dia meyakini dan menjalani rukun Islam dan rukun Iman. Justru menjadi menarik di Islam sendiri terjadi ke-bhinneka-an. Ada seorang kawan dari Saudi yang datang ke Indonesia mengatakan bahwa perempuan Indonesia ini adalah perempuan yang happy. Seorang perempuan pakai daster bisa naik motor, atau seorang yang bisa main gitar tanpa pakai kerudung tapi dia bisa menjadi muslim yang sholehah. Atau ada orang yang pakai jilbab yang beragam-ragam. Justru kalau dia menjadi pemimpin maka akan baik, karena individu boleh mengekspresikan identitasnya mau seperti apa. Bagi mereka yang menganggap itu sebuah kewajiban dan membela agama, ya sudah kita hormati.
Misalnya dulu awal kuliah saya satu kost dengan orang-orang Usroh (pakai jilbab yang panjang-panjang). Ada seorang kawan saya –dia ini sesama muslim yang tidak konservatif-, dia merasa tidak nyaman, karena kost kami yang kecil itu dipakai untuk kelompok-kelompok yang pakai jilbab panjang dan juga cadar. Teman saya yang berjilbab panjang ini didorong agar dia pindah kost agar kami merasa lebih nyaman. Tapi bagi saya ini tidak bisa, karena ekspresi seseorang menggunakan apa saja, harus kita hormati. Toh sebagai individu dia baik, sebagai teman dia tidak pernah mengganggu orang lain. Yang membedakan kami, dia ada di kelompok muslim yang fundamentalis yang sifatnya teologis, bukan fundamentalis politis. Selagi kita menghormati hak orang lain, tidak menyalahkan dan tidak menganggap dirinya paling benar ya sudah, tidak apa-apa.
Waktu itu saya belum paham isu HAM tapi saya ambil prinsip itu. Menurut saya, bertemu kawan pakai cadar yang panjang ya tidak apa-apa. Namun ketika sudah melakukan blaming atau merasa paling benar dan menyalahkan saya, bahkan mengekspresikannya dengan kekerasan maka itu salah. Dalam bernegara hal ini tidak bisa dibenarkan. Masing-masing ada ruang individu, maka mari berkontestasi.
Artinya tidak boleh ada otoritas tunggal dalam penafsiran dalam teks ini ?
Kalau saya mengambil posisi itu karena banyak keshalehan-keshalehan di mata Tuhan dalam agama. Kesalehan teologis seringkali beriringan dengan kesalehan sosial. Sehingga, kalau seseorang telah melakukan kesalehan sosialnya, menurut saya sebagai manusia kita tidak berhak untuk mengatakan dia tidak Islam atau malah menyebutnya kafir. Biarkan hal itu menjadi otoritas Tuhan.
Bila pemaknaan jilbab ini memiliki keberagaman, kenapa ada kebijakan tentang hal ini menurut kaca mata tertentu, dan apa implikasi(dampak)nya pada perempuan ?
Dampaknya bisa dimulai dari alienasi. Seseorang merasa teralienasi atau merasa asing karena dianggap tidak saleh. Lalu ada stigma, ada diskriminasi atau kekerasan termasuk kekerasan fisik, kekerasan verbal dalam bentuk lontaran yang diskriminatif. Komnas Perempuan menerima hasil pengaduan bahwa mereka-mereka yang tidak mengenakan jilbab mengalami satu diskriminasi dalam upaya mobilitas vertikal. Artinya untuk mencapai posisi tertentu, sangat rumit dan penuh stigma. Sebetulnya pengalaman seperti ini tidak hanya di Indonesia.
Adakah kelompok perempuan tertentu mengalami kekerasan berlapis dan dalam bentuk apa ?
Ada beberapa bentuk kekerasan berlapis terkait dengan menguatnya politik identitas, misalnya seperti adanya kelompok yang mewajibkan adanya pengajian, lalu mewajibkan busana-busana tertutup. Ada teman saya akhirnya mengalami KDRT dalam bentuk teologis, dan ini termasuk kategori KDRT yang berbeda. Contohnya, istri tidak pakai jilbab, suaminya melakukan pemaksaan. Jika si istri tidak mau mengenakan jilbab maka diancam cerai oleh suami. Anak-anak pun turut diprovokasi untuk memberikan penilaian bahwa ibunya bukanlah perempuan salehah. Jadi ada de-otorisasi atau tidak penghormatan kepada ibunya. Ada kasus sebaliknya, ketika si perempuannya salehah memakai pakaian yang tertutup, sementara suaminya masih bertingkah laku misalnya masih minum wine, maka si istri menganggap suaminya tidak saleh dan tidak bisa menjadi suami ideal. Oleh karenanya dia merasa setiap malam telah berzina karena menganggap bahwa dia berelasi secara seksual dengan seorang suami yang notabene-nya bukan muslim. Ia muslim, namun tidak secara formal. Oleh karenanya ia mendorong sang suami untuk menggunakan identitas muslim seperti menumbuhkan jenggot. Hal ini menimbulkan terjadi banyak ketegangan; karena si istri ingin segera bercerai supaya merasa lebih nyaman. Ini kekerasan yang telah menyentuh dimensi teologis, sehingga terjadi multi dimensionality of gender pada isu perceraian. Yang mengalaminya tidak hanya laki-laki tetapi juga perempuan sendiri. Menurut saya fenomena ini cukup menarik.
Soal ketegangan sosial dan kultural terkait jilbab dalam berbagai relasi, baik di ranah individu dengan negara atau di masyarakat., bagaimana Anda menjelaskan fenomena ini ?
Di Nigeria Utara ada stigmatisasi kepada perempuan yang mengenakan jilbab. Perempuan yang mengenakan jilbab panjang dianggap sebagai pencopet, karena dulu ketika ada seseorang yang mau menjadi pencopet itu memakai jilbab yang panjang sehingga menimbulkan reaksi di kalangan orang muslim merasa kenapa hal ini bisa terjadi? Atau sebaliknya mereka yang tidak pakai jilbab juga diwajibkan oleh negara. Petani-petani merasa keberatan dan mempertanyakan kenapa kami kaum perempuan harus dipaksa tunduk memakai ini ? Sehingga ada perempuan yang kebacok kakinya gara-gara memakai baju-baju panjang. Bahkan aturan tentang jilbab membuat pengaburan identitas sosial lokal (local social identity). Jadi perempuan-perempuan kulit hitam (termasuk anak-anak) menggunakan rambutnya sebagai simbol identitas melalui bentuk dan model pilinan rambut, misalnya model pilinan perempuan sudah menikah berbeda dengan janda. Dari model itu orang bisa tahu, oh yang ini bisa saya dekati. Maksudnya, untuk menghindarkan seseorang menikah dengan anak kecil, ataupun menghindari pernikahan dengan orang yang sudah married. Jadi ketika ada aturan tentang jilbab, lalu para perempuan memakai kerudung maka orang merasa kesulitan untuk mengidentifikasi sehingga tingkat pelecehan seksual yang dilaporkan di sana menjadi lebih banyak karena ketidaktahuan laki-laki. Sebenarnya siapa yang mengidentifikasi? Ini menjadi ketegangan kultural antara jilbab dan tidak. Ini dimensi di negara lain cukup menarik.
Apa komentar anda tentang Jilbab/Hijab sebagai sebuah fashion style yang berkembang akhir-akhir ini?
Saya punya teman dekat, dia memiliki toko jilbab. Menurutnya hijabers di daerah Jawa Tengah cukup massif, kelompoknya move dari satu tempat ke tempat lain. Atas fenomena ini, teman saya menjawab sederhana dalam berpromosi kepada hijabers ini. Untuk menghindari anak-anak remaja perempuan menjadi korban narkoba, maka dia mengumpulkan mereka di mesjid. Trend yang asyik adalah sesuatu yang fashionable dan fun. Dengan bahasa Inggris, dia mengadakan diskusi tentang kesehatan reproduksi. Dia kemas sesuai sasaran kelompok remajanya, itu masuk ke radio, dan majalah. Kegiatan ini cukup popular. Ketika saya kritik, apakah itu bukan pemborosan menggunakan kerudung dalam berbagai macam warna-warni. Dia katakan, saya mendorong mereka untuk membeli yang harganya Rp. 10.000,- an saja, murah dan warna warni.
Suatu hari teman ini bercerita kepada saya, bahwa perempuan-perempuan yang hamil diluar nikah, banyak sekali. Saya bilang temuan dari Komnas perempuan tentang perempuan korban yang hamil diluar nikah, terutama anak-anak remaja, mereka rata-rata korban kekerasan seksual. Jadi hati-hati kalau mau mengatakan bahwa ini karena pergaulan bebas. Hati-hati untuk menstigmatisasi korban. Seringkali dia dikeluarkan dari jamaah atau dikeluarkan dari sekolah.
Ternyata fashionable muslim itu menarik. 10 tahun yang lalu saya pernah ikut seminar Muslim Fashion and fashionable Muslim di Amsterdam tentang jilbab. Setidaknya cara berjilbab perempuan Maroko, Turki di Amsterdam telah mereduksi ketegangan antara orang non muslim (Eropa) dengan Islam karena cara berjilbab mereka trendi dan tidak menakutkan, bahkan menjadi trend. Orang-orang lokal senang melihat mereka, perempuan muda pakai sepeda, dan berjalan mengenakan pakaian trend. Ini artinya melalui pakaian dia menjadi front-liner untuk negosiasi tentang minority identity di sebuah negara dimana dia adalah minoritas. Dinamikanya cukup menarik.
Ada juga fashion industry, dimana terjadi produksi besar-besaran untuk merespon munculnya kesalehah-kesalehan mendadak yang ada kalanya hanya bersifat temporer. Kemudian terjadi fashion membludak karena menjadi target dari Kepala Daerah untuk menjadikan daerah tersebut sebagai eksportir busana muslim, dengan harapan ada orang-orang Malaysia yang datang ke Indonesia untuk berbelanja. Itu lain hal. Menurut saya yang terpenting adalah fenomena ini tidak melahirkan sebuah diskriminasi. Akan tetapi harus ditekankan bahwa salah satu bentuk human rights ada pada hak berekspresi. Itu yang harus dipegang.
Apa kaitannya trend tadi dengan fenomena globalisasi ?
Melihat Islam sekarang tidak bisa lagi dilihat dari apa yang terjadi di level lokal, maupun nasional saja. Itu yang saya ingatkan waktu berbicara tentang identitas seksual dan keamanan (sexual identity and security). Ketika kita berbicara jilbab sebagai trend fashion dari lokal, hanya dari Indonesia. Namun cara beragama orang Indonesia ini bergeser. Apa yang terjadi di Palestina, membuat gejolak emosi disini. Apa yang terjadi saat pelecehan Nabi melalui kartun, juga ada dampaknya sampai disini. Film Fitna karya Greet Wielder, seorang politikus di Belanda, juga membuat ketegangan disini. Cara globalisasi ini membuat orang lain sentimen sendiri dalam konstelasi keberagamaan seseorang. Termasuk trend poligami, secara kultural di Indonesia sudah ada dari dulu, tetapi kemudian seperti mendapatkan legitimasi ketika ada trend poligami di Malaysia. Jadi cara beragama menjadi lebih mengglobal.
Bicara tentang jilbab, juga menarik. Misalnya di Singapura. Di sejumlah negara-negara jiran dimana banyak arus migran, jilbab digunakan untuk negosiasi minoritas pendatang. Seperti menunjukkan identitas untuk dikenali. Misalnya teman-teman TKW tahu, oh kamu dari Indonesia, oh kamu dari Bangladesh. Ketika berada pada komunitas yang inklusif, dia perlu direct identity (identitas langsung) yang sudah dikenal, sehingga dia juga mudah dikenal. Dan hal itu juga dijadikan alat untuk membangun resistensi.
Kalau sekarang cara berjilbab diselempangkan di bahu, awalnya ini trend jilbab gadis-gadis Maroko. Melalui cara berjilbab ini, bisa teridentifikasi upaya transferring of values. Dari fashion segala macam hal bisa terlacak. Bagaimana jilbab yang di Maroko, bagaimana model pakaian yang dibawa oleh orang-orang Belanda kesini. Seperti baju panjang hitam, di Iran dan Arab Saudi dibawa ke sini. Baju-baju Afrika, Pakistan, model kebaya dan sari yang sekarang bisa kita dapat dimana saja, dia bisa melacak bagaimana jilbab sebagai sebuah trend dari cara berpakaian. Ini cukup menarik sebagai orang yang belajar antropologi. Saya belajar mengenai identitas publik (public identity), melalui belajar dengan kain. Dengan kain maka kamu bisa melihat identitas who you are (siapa dirimu), kelas sosialmu, identitasmu, keberagamaan kamu.
Masih terkait globalisasi, bagaimana Anda memahami pro-kontra pelarangan jilbab yang sempat muncul di Perancis maupun Ibu Negara yang mengenakan jilbab di Turki, serta fenomena jilbab sebagai sebuah manifestasi gerakan sosial seperti yang terjadi di awal berdirinya Republik Islam Iran?
Sebetulnya ketegangan-ketegangan ini tidak hanya di Indonesia. Misalnya simbol perlawanan dari sekularisasi Turki. Dulu jilbab dijadikan alat untuk liberasi Islam dari state; fenomena pelarangan jilbab adalah pelarangan terhadap simbol Islam yang menimbulkan satu debat yang cukup menarik; bahkan melibatkan istri presiden. Nanti saya akan menceritakan bagaimana sikap, gerakan feminis di Turki terhadap isu jilbab ini.
Ketegangan di Paris, Turki harus dilihat dalam konteks pandangan mereka. Saya bersyukur pernah lalu lalang di Eropa sehingga saya memahami krusial orang-orang Eropa. Saya bisa membaca, kekhawatiran orang Eropa terhadap perilaku orang-orang migran yang punya contradictory values yang sangat serius. Terutama dalam konteks Belanda. Misalnya mereka telah capek-capek bekerja untuk membuat sistem kesejahteraan masyarakat, dan mereka membatasi punya anak. Tiba-tiba ada orang-orang Islam dari Maroko yang datang dari pegunungan, dalam pikiran doktrinnya membuat anak banyak-banyak sehingga jumlah migrannya semakin banyak. Penduduk asli Belanda merasa, kita capek-capek kerja kok mereka (para pendatang ini) yang mengkonsumsi. Ini juga terkait kedisiplinan sosial di sekolah. Mereka banyak melakukan stigmatisasi pada komunitas ini karena dianggap merepresentasikan kelompok Islam. Padahal sebenarnya kemarahan pada kelompok kelompok imigran ini. Ini ketegangan di Eropa dan sekarang muncul sikap anti imigrasi yang semakin tinggi. Konflik nilai, konflik isu demografi tidak hanya di wilayah ini saja, di berbagai wilayah di Eropa sekarang ini evolusi migrasi semakin ketat karena soal tingkah laku dari sekelompok orang-orang Islam yang tidak menghormati sistem yang dibangun dari sebuah peradaban yang dibangun serius oleh orang-orang Eropa. Padahal banyak orang-orang Islam yang ada disini, sehingga mereka jadi tidak adil kepada orang-orang Islam dari Indonesia, termasuk kita karena we are the best migrant disana. Di sana juga banyak orang muslim sama seperti Indonesia. Orang Belanda antinya pada sikap itu. Termasuk juga di Paris, hal ini terjadi. Ini soal meminimalisir dominasi politik. Untuk penggunaan identitas salib, mereka justru sangat menghindari karena mereka justru merasakan trauma pada perang Salib yang luar biasa itu. Oleh karenanya, pelarangan jilbab disana harus dibaca dalam konteks seperti itu.
Apa dampak dari fenomena tersebut dengan situasi yang terjadi hari ini di tanah air.
Globalisasi berkontribusi pada mudahnya kita memahami serta membuat respon pada isu-isu global. Kita orang Islam disini, bisa tahu situasi di benua lain, nasib apa yang dialami oleh orang Islam atau kelompok agama di wilayah Negara lain. Itu kelebihan dari globalisasi, terutama soal information technology (IT)-nya. Dampak yang lebih serius terkadang, misalnya isu Palestina, kita bisa segera kirim pasukan, donasi makanan. Padahal kawan-kawan disana mengatakan bukan itu yang dibutuhkan. Representation of the media diperlukan untuk mendiskripsikan sebuah situasi, kondisi konflik, namun yang pasti media pun mengambil prioritas pada situasi yang perlu mendapatkan perhatian publik. Kadang mereka mengatakan, ini yang kami butuhkan, bukan lagi makanan, karena sudah cukup. Sekarang di Palestina pun pendekatan yang digunakan adalah Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob). Karena pendekatan sosial politik akan cenderung diselesaikan melalui perang, sementara pendekatan ekosob akan memberi perhatian pada soal ekonomi, pendidikan, dan human rights.
Selain fenomena “jilbabisasi” (ramai-ramai memilih mengenakan jilbab); terdapat pula fenomena dimana para pelaku tindak pidana termasuk tindak pidana korupsi, tiba-tiba berganti penampilan mengenakan jilbab pada masa persidangan mereka. Bagaimana komentar Anda tentang hal ini?
Ini soal public respons. Jadi pejabat publik apabila dia bertingkah laku menyimpang, maka yang ditakuti adalah publik. Maka untuk membantu publik sehingga perilaku pejabat publik mudah terbaca, kita perlu melakukan tracking (penelusuran rekam jejak). Jadi ada legal justice (keadilan hukum) dan public justice (keadilan publik). Legal justice bisa dieksekusi, dan siapa tahu dengan claiming the nature identity (melakukan klaim atas identitas asli) dia bisa mendapatkan dukungan publik. Jadi bisa dibaca seperti ini.
Kalau dari kacamata sosiologis, menggunakan jilbab bisa dianggap sebagai pelindung walaupun seseorang melakukannya sebatas temporer. Cara perempuan mencantumkan identitas adalah dengan menulis dirinya sebagai orang berdosa lalu berubah menjadi orang yang suci dengan cara menggunakan jilbab. Itu ekspresi perubahan identitas yang paling gampang. Contohnya, pekerja seks menjadi non pekerja seks, atau seorang janda yang ingin memproteksi diri ketika bekerja sebagai PRT, agar lebih mutlak mobilitasnya, dia mengenakan jilbab sehingga merasa terlindungi. Jadi, jilbab digunakan sebagai pelindung, untuk membentuk identitas lain.
Bagaimana Anda melihat jilbab dalam konteks sosiologis masyarakat Indonesia?
Sebetulnya kita mempunyai jejak sebagai Islam yang beragam. Kita ingat, dulu RA. Kartini, adalah orang yang cukup religius, itu terlihat dari bagaimana dia bernegosiasi dengan Kyai Saleh Darat untuk pembumiaan Alquran melalui terjemahan Al Fatihah. Tetapi dalam aktivitas kesehariannya RA Kartini tidak memakai simbol jilbab atau kerudung. Bahkan pada pahlawan nasional perempuan yang lain, jilbab disimbolkan pun tidak. Itu untuk ke-bhinneka-an, dan dalam bahasa agama, itu menyimbolkan bahwa Indonesia adalah Negara yang sekufu. Di antara simbolnya adalah hampir semua perempuan tidak pakai jilbab meski di Aceh sekali pun.
Kalau dilihat dari Sejarah masa lalu, orang bilang nggak pakai jilbab juga nggak apa-apa kok. Pakai jilbab ya kerudung yang tipis, lalu rambut lepas-lepas, nggak apa,-apa. Fenomena yang belakangan semakin mengeras. Kemudian jilbab menjadi beragam ini sebetulnya juga up and down. Sejumlah orang pakai jilbab yang panjang menjadi manusia dengan kesadaran-kesadaran yang berbeda. Buktinya tingkat militansi di balik pakaian penting ditelusuri lebih jauh apakah dia trend atau ideologi.
Apa kaitan antara ‘jilbab” dengan hak-hak perempuan? Bagaimana melihat jilbab secara kritis dari sebuah fenomena patriarkhi maupun dari pendekatan kebebasan berekspresi?
Ketika ada operasi pelarangan jilbab, maka perempuan-perempuan feminis menggunakan jilbab untuk menunjukkan otoritas dirinya, untuk menentukkan ekspresinya. Itu hak paling otonom untuk cara berpakaian. Bahkan di Turki perempuan feminis tidak mau menerima donor dari luar, dia memilih donor dari suaminya, untuk menunjukkan kemandirian dia.Perempuan feminis yang progresif memilih memakai jilbab, karena opresi negara sudah pada level mengkontrol mono identity bagi perempuan yang tidak pakai jilbab. Di tempat lain jika jilbab dikontrol oleh orang lain, dikontrol oleh Negara, dikontrol oleh otoritas agama yang monotafsir maka ada bahkan banyak orang yang memilih tidak pakai jilbab sebagai sebuah simbol bahwa ini cara berislamku. Cara berislamku biar Tuhan yang menghakimi atau mengadili Islam terbaik seperti apa. Dia tidak mau hal yang paling dasar seperti memiliki baju, diregulasi oleh orang lain. Ini adalah otonomi individu yang di serap begitu saja menjadi otoritas lain. Lain jika hal itu atas kesadaran dirinya, karena dia sadar dan tahu bahwa ini bagian dari cinta kepada Tuhan, maka akan ia mengenakan jilbab. Lain soal kalau dia menjadi simbol resistensi, terserah ia mau pakai atau tidak.
Seperti apakah keragaman motivasi perempuan yang memilih mengenakan atau tidak mengenakan jilbab, atau menanggalkan jilbab mereka?
Ada beragam, mulai dari pakai jilbab sebagai simbol patuh terhadap Tuhan, atau simbol negosiasi baru, atau simbol untuk menunjukkan keberadaan sebagai kelompok minoritas sebagai perempuan. Atau mereka yang tidak pakai, itu semua merupakan simbol sebagai negosiasi yang berjarak dari otoritas, lalu sebagai kebebasan berekspresi. Kalau seperti di Nigeria, mereka tidak mau pakai karena itu kultur dia. Atau dulu seseorang mengenakan sanggul dan sekarang hal itu sudah mulai luntur dan menjadi budaya masa lalu, penampilan perempuan banyak yang berubah menjadi seperti sekarang ini. Ada yang menerima keberagaman, keberadaban kesejarahan dia, dia memilih pakai budaya lokal. Jadi dari sifatnya ada yang teologis, sosiologis, politis, motifnya berantai.
Apa saran Anda bagi semua perempuan terkait pilihan mereka mengenakan jenis pakaian tertentu?
Be your self. Jadilah diri sendiri. Seseorang yang mengenakan jilbab karena trend fashion, sebetulnya dia tidak menjadi hamba Tuhan tetapi sedang menjadi hamba industri. Atau kalau dia mengenakan karena merasa tidak enak dengan yang lain, atau karena ketakutan, maka dia sedang menjadi hamba Negara. Jadi menurut saya, jadilah diri sendiri, dan pahami agama dengan betul. Itu sesuatu yang paksa atau tidak paksa. Karena kamu tahu dan karena kamu berkeyakinan pada sesuatu yang kamu yakini, yang paling penting adalah dibuktikan. Terutama kita harus menjaga sikap toleran. Mau pakai jilbab atau tidak, kita tidak berhak menyalahkan dan menghujat yang lain atau merasa dirinya yang paling saleh. Pesan untuk Negara, beri ruang bagi perempuan untuk menentukkan hak otonominya. Mengingat, ini hak yang paling dasar yang sangat inheren. Jadi Negara tidak berhak untuk mengintervensi. Biarkan cara beragama seseorang terkait dengan keyakinan dia. Yang prinsip adalah otonomi diri perempuan yang paling dalam. {}AD. Kusumaningtyas