Oleh: Nyai Hj. Afwah Mumtazah
Pembangunan desa melalui UU Desa yang dicanangkan oleh pemerintah bertujuan untuk mencapai pemerataan kesejahteraan. Semangat UU Desa ini bersadarkan potensi unik yang dimiliki masing-masing wilayah.
Pada era modern, perempuan mempunyai peran penting dalam pembangunan desa. Saat ini, kerja-kerja perempuan Indonesia sudah merambah ke cakupan wilayah yang lebih luas, dan tidak hanya pada wilayah domestik saja. Beberapa posisi strategis di wilayah publik mampu diisi oleh perempuan, pun posisi-posisi strategis sebagai pengambil kebijakan.
Di Indonesia, pergeseran peran (pembagian kerja) antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga terjadi ketika seorang ibu mengambil peran yang sangat penting di dalam masyarakat dan negara. Perempuan tidak hanya dipimpin, tetapi juga mampu memimpin di berbagai lembaga atau institusi di semua level, mulai dari menjadi presiden, rektor, bupati, camat, kepala desa, dan ketua RT. Fonemena ini menunjukan bahwa kapasitas yang dimiliki perempuan tidak kalah dengan laki-laki. Keadaan ini juga menunjukkan bahwa kiprah dan posisi perempuan sudah mendapatkan pengakuan positif dari masyarakat. Kanyataan ini sekaligus juga mengabarkan bahwa pembagian peran privat dan publik bagi perempuan dan laki-laki sudah tidak relevan diterapkan dalam masyarakat. Mudah bagi kita saat ini untuk berjumpa dengan perempuan yang menempati posisi penting dalam ranah publik.
Pola pembagian privat dan publik sesungguhnya telah dipatahkan oleh ideologi produksi yang menganut paham fungsionalisme struktural. Paham ini mengatakan bahwa pembagian privat-publik berlawanan dengan ideologi produksi. Menurut ideologi produksi, perempuan juga berproduksi. Dalam penjabaran teori sosiologi, Parsons mengatakan bahwa walaupun pengukuran yang dipakai untuk menilai status perempuan dan laki- laki berbeda, namun status perempuan sama dengan status laki-laki. Pola perkawinan menurut Parsons, merupakan hubungan antara dua orang yang sederajat (Saptari dan Holsner 1997:64-67).
Kehadiran perempuan di posisi-posisi strategis memberi otoritas kepada perempuan untuk membuat kebijakan yang dapat berkontribusi besar dalam hal memperjuangkan keadilan. Pembangun desa yang melibatkan perempuan dan sensitif pada kebutuhan perempuan dan anak termuat secara tegas dalam UU No 6 2014 pasal 7 ayat 3. Penataan desa bermakna mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, yang di dalamnya adalah perempuan. Perempuan mempunyai pengalaman yang unik dan berbeda dengan laki-laki karena perbedaan struktur biologis yang dimilki. Pengalaman ini tentu saja otomatis membutuhkan kebijakan yang tepat. Dan keterlibatan perempuan menjadi penting untuk menghasilkan kebijakan yang ramah, sensitif, dan tepat pada kebutuhan perempuan.
Al-Quran Merespons Positif Perempuan Aktif
Islam menganjurkan pemeluknya untuk aktif beramal shalih dan menjauhkan diri dari sifat malas. Allah tegas menyatakan manusia sebagai “khalifah” di muka bumi dalam rangka memakmurkan dan mengisi dengan kerja-kerja produktif. Menurut Quraish Shihab, manusia, baik laki-laki maupun perempuan, diciptakan Allah dengan daya fisik, pikir, kalbu, serta daya hidup untuk melakukan aktivitas pekerjaannya yang merupakan bagian dari amal shalih.(Quraish Shihab, 2013). Dalam lintas sejarah, perempuan-perempuan shahabiyat dan tabi’iat menjadi garda depan dalam amal shalih. Sebut saja Aisyah dan Khafsah, yang keduanya aktif merawikan hadis beserta pengajarannya. Khodijah adalah pengusaha perempuan, Rufaidah merupakan perawat pertama dalam Islam, Sayidah Nafisah guru para Imam, Zubaidah istri Harun ar-Rashid yang mendermakan harta, tenaga, serta pikirannya untuk memberi kontribursi penyulingan air laut untuk mengatasi krisis air bagi jamaah haji.
Al-Quran juga mengungkap perempuan-perempuan yang aktif melakukan kerja-kerja di berbagai bidang seperti: Pertama, dua putri Nabiyullah Syuaib a.s sebagai peternak yang tak pernah lelah menggembalakan kambing dengan penuh tanggung jawab, bersaing dengan banyak penggembala laki-laki (QS. al-Qashos: 23). Kedua, Ratu Balqis, pemimpin perempuan Negara Saba’ yang terkenal adil sehingga mampu membawa kemakmuran untuk seluruh rakyatnya (QS. An-naml: 23). Ketiga, perempuan-perempuan yang bekerja di sektor jasa seperti ibu Nabi Musa, Ibu susu Nabi Muhamad, Halimah as-Sa’diyah (QS. al-Baqarah: 233).
Berkaca dari peristiwa sejarah yang sudah ditorehkan dalam Alquran, sebenarnya telah menunjukan partisipasi perempuan untuk bekerja di ruang publik. Pun, perempuan dapat mengambil peran dalam pembangunan desa dengan partisipasi aktif di dalamnya. Ini tidak serta merta membuat kehormatan perempuan terkurangi karena tampil dipublik. Tidak ada keraguan sedikitpun tentang hak serta kewajiban perempuan sebagai makhluk yang dimuliakan Allah, sebagaimana dalam surah QS. an-Nisa: 7.
Kendala-kendala akibat perbedaan penafsiran dan pemahaman agama yang menjegal langkah perempuan ikut andil dalam ranah publik, semestinya sudah dapat dijawab. Alquran dengan sharih (terang dan jelas) tidak membedakan perempuan dan laki-laki untuk mengambil peran-peran publik dalam beramal shalih. Laki-laki dan perempuan akan mendapat kehidupan yang baik dan pahala yang sama seperti yang termaktub dalam QS. an-Nahl :97, an-Nisa: 124. Laki-laki dan perempuan berkedudukan sebagai hamba Allah (QS. al Dzariyat: 56), laki-laki dan perempuan sebagai khalifah fi al-ardh (QS.al-Anam: 165), laki-laki dan perempuan sebagai penerima perjanjian primordial (QS. al-‘Araf: 172), laki-laki dan perempuan diciptakan untuk mengenal (QS.Hujarat: 13). Partisipasi perempuan dalam membangun desa dalam rangka membangun kesetaraan semata-mata untuk menghilangkan ketimpangan, supaya semua warga dapat hidup tenang, tenteram, dan sejahtera.
Segala bentuk kezhaliman, penindasan, kekerasan terhadap perempuan dikecam keras oleh Alquran melalui seruan an-Nisa: 19, al Baqarah: 236, at-Thalaq: 6. Ayat-ayat tersebut menjadi dalil ideologis yang dapat dijadikan rujukan untuk berpartisipasi dalam membangun desa yang bertujuan menciptakan kesejahteraan, kenyamaan dan perlindungan kaum perempuan. Saat ini, marak kasus-kasus kekerasan pada perempuan yang ditemui di berbagai desa di Indonesia, seperti penggadaian istri yang dilakukan suami sebagai pelunas hutang, mutilasi istri, KDRT dan lain-lain. Jika segenap penduduk desa saling bahu-membahu menciptakan keadilan untuk laki-laki dan perempuan, maka tidak mustahil akan tercipta kemajuan dan kesejahteraan.
Partisipasi perempuan penting dalam membangun desa karena sebagian besar penduduk desa adalah perempuan dan anak-anak. Pedesaan secara geografis berbeda dengan perkotaan. Rasa guyub dan teguh memegang adat-istiadat, nilai-nilai agama, serta budaya menjadi ciri khas penduduk desa. Lingkungan yang homogen membuat desa susah menerima perubahan, wajar jika banyak perempuan desa lebih memilih bekerja dalam ranah domestik, dibanding bekerja di wilayah publik yang risikonya jauh lebih besar. Penguatan dalam pendidikan terhadap perempuan-perempuan desa, mulai dari remaja dan usia produktif menjadi wajib. Melalui pendidikan dapat membuka wawasan perempuan untuk terus bisa berpacu mengentaskan kemiskinan, sekaligus memunculkan kesadaran terhadap ketimpangan dan mencari solusi terhadap segala hal yang dibutuhkan warga desa.
Kebijakan pemerintah yang memberikan dana desa sedemikian besar, sudah semestinya melibatkan perempuan dalam penyusunan program dan pelaksanaan. Perempuan dapat dijadikan rekanan dalam pengawasan dan penggunaannya, agar program yang dicanangkan sesuai dengan kebutuhan dasar semua warga masyarakat, dan demi mewujudkan kesejahteraan warga. Sebagaimana yang dianjurkan dalam al-Hujarat : 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Kata لِتَعَارَفُوا (lita’arofuu) atau ‘untuk saling mengenal’ dapat diartikan dengan mengetahuinya perempuan aktif dalam ranah publik mengenal hal-hal yang terkait dalam partisipasi membangun desa yang didalamnya akan mengenal semua orang yang terlibat baik laki-laki dan perempuan, mengetahui program-program yang dapat menyejahterakan kaumnya, mengantisipasi ketertindasan, ketidakadilan serta pemberdayaan perempuan, ibu-ibu dan anak-anak dalam hal pendidikan dan ekonomi, semua berawal kata لِتَعَارَفُوا (lita’arofuu).
Kata لِتَعَارَفُوا (lita’arofuu) adalah mendapatkan sesuatu dengan cara berpikir dan taddabur sebagai akibat atau atsar keduanya. Seseorang akan mengetahui keberadaan Allah dan bukan sekonyong-konyong, tetapi harus didahului melalui proses perenungan, dan itu bukan mengetahui dzatNya. Dalam konteks sosiologi لِتَعَارَفُوا (lita’arofuu) mempunyai arti saling mengenal dan berfungsi sebagai lil musyarokati baina Itsnaini fa aktsara (Nadirsyah Hosen,Tafsir al-Hujarat: 13). Sementara dalam Tafsir Jalalain, makna لِتَعَارَفُوا (lita’arofuu) dimaknai dengan saling mengenal bukan dalam bentuk untuk berbangga-banggaan, tetapi saling mengenal dengan landasan takwa. Al-Hujarat: 13 merupakan ayat yang semangatnya adalah menghapus diskriminasi dan relasi kuasa atas nama apapun.
Proses mengenal ini sebagai langkah awal, disusul dengan interaksi intens di antara kedua belah pihak, sehingga akan melahirkan simpati hingga empati. Tahapan Ini menggambarkan sebuah proses yaitu mengenal, memahami sampai kepada empati. Perempuan mengenal akan dunia dan Paham akan kebutuhannya, di mana ketika terlibat dalam pengambilan kebijakan dan kerja-kerja sosial, perempuan akan menggunakan pengalamannya yang khas sebagai dasar dan mampu empati terhadap sesamanya.
PENUTUP
Peran aktif masyarakat, baik laki-laki atau perempuan, dalam pembangunan desa merupakan syarat mutlak. Masyarakat, terutama perempuan, dapat berpartisipasi penuh di dalam pembangunan desa tanpa sedikitpun keraguan dan kekhawatiran atas tafisiran yang misoginis, karena Islam melalui Alquran telah menceritakan tokoh-tokoh perempuan aktif bekerja dalam sektor jasa, kepemimpinan, pertanian, dan sebagainya. Alquran juga menganjurkan manusia, baik laki-laki atau perempuan, untuk berkiprah dalam amal shalih dan menjadi khalifah di muka bumi. Begitupun hadis dan lintasan sejarah, banyak menceritakan shabiyat, tabi’iyat yang sangat aktif terlibat dalam kerja-kerja sosial. Hendaknya ini menjadi landasan ideologis dan teologis bagi perempuan dalam berpartisipasi membangun desa.