Ratna Ulfatul Fuadiyah atau akrab dipanggil umi Ratna adalah seorang aktivis perempuan yang tak pernah lelah untuk melakukan kerja-kerja kemanusiaan. Sehari-hari perempuan yang menjabat sebagai ketua Fatayat ranting Borokulon, Banyu Urip, Purworejo, ini bekerja di Kementerian Agama tingkat kecamatan sebagai penyuluh agama.
Perempuan yang lahir di Malang pada tahun 1981 itu menamatkan pendidikan tingginya di UIN Sunan Kalijaga dengan mengambil jurusan Tafsir Hadis. Sebelumnya, ia juga sempat belajar dan nyantri di Pondok Pesantren Darul Ulum, Jombang, untuk jenjang sekolah menengah pertama, dan kemudian melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Pandanaran, Yogyakarta untuk jenjang sekolah menengah atas hingga kuliah.
Ratna yang memulai karir di Kementerian Agama pada tahun 2015 itu bertugas membina tiga desa. Ia juga mengisi pengajian di majelis taklim-majelis taklim di desa binaan. Setidaknya ada sekitar delapan majelis taklim pada setiap desa. Selain di desa, Ratna juga melakukan penyuluhan agama atau bimbingan rohani di rumah sakit, lembaga pemasyarakatan, sekolah, PKK, polres, TNI, dan ibu-ibu dari berbagai latar belakang. Jamaah yang didampingi Ratna juga berasal daru berbagai ormas, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, bahkan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII).
Bersama dengan suaminya, Alm. Taufiq Hidayat, Ratna mendirikan sebuah majelis taklim yang bernama Majlis Taklim wal Qur’an ”Nur Iman” di rumah kontrakan pada tahun 2007. Selang tujuh tahun kemudian atau pada tahun 2014, Ratna berhasil membangun rumah sendiri dengan pekarangan yang cukup luas. Praktis setelah itu, segala kegiatan majelis taklim berpindah di rumah barunya itu. Kegiatan belajar di majelis taklim yang diampu oleh Ratna diikuti oleh anak-anak, remaja, dan orang tua. Tentu Ratna membedakan waktu dan tema pengajiannya untuk masing-masing tingkatan usia. Pengajian untuk anak-anak dilakukan pada sore hari, sementara untuk remaja dilakukan paska shalat maghrib, dan untuk orang dewasa dilaksanakan sekitar pukul Sembilan atau pada waktu dhuha. Sedangkan pada hari Rabu, Ratna mengadakan pengajian umum. Untuk tema pengajian ini tematik dan disesuaikan dengan kebutuhan. Tak jarang Ratna mengisinya dengan tema kesehatan reproduksi perempuan dengan mengacu pada kitab Risalatul Mahid dan buku panduan produksi Rahima, keluarga dan hal-hal yang berkaitan dengan itu.
Saat ini, Ratna juga sedang merintis pesantren di rumahnya. Meski baru sepuluh orang yang sekarang dididik sebagai santri, namun Ratna memberikan pengajaran dan pendidikan terbaik pada mereka. Ratna tidak memungut biaya kepada para santrinya, bahkan Ratna membantunya biaya Pendidikan mereka. Ratna juga memperlakukan para santri seperti anaknya sendiri. Hal itu terlihat dari apa yang terhidang di meja makannya, itu pulalah yang menjadi santapan para santri. Pun untuk pengurusan rumah dan pesantren dilakukan bersama-sama antara dirinya dan para santri.
Inisiatif-inisiatif untuk Pemberdayaan Masyarakat
Selain majelis taklim, Ratna juga menginisiasi beberapa program yaitu: pertama infak produktif. Gagasan ini lahir untuk merespons persoalan yang dihadapi masyarakat dalam bidang ekonomi. Di desa di mana ia tinggal, masyarakatnya, terutama ibu-ibu jamaah pengajiannya, banyak yang terjerat rentenir atau “bank plecit” dengan bunga tinggi. Operasi infak produktif ini dengan infak bulanan senilai lima ribu rupiah oleh anggota majelis taklim yang diasuh oleh Ratna. Awalnya, dana yang terkumpul hanya seratus lima puluh ribu rupiah, dan saat ini sudah lebih dari satu juta rupiah. Dana yang terkumpul tersebut kemudian dipinjamkan kepada anggota majelis taklim yang membutuhkan, dan tentu saja pinajaman itu tanpa ada bunga. Ratna hanya mensyaratkan bagi calon peminjam untuk aktif di majelis taklimnya setidaknya selama tiga bulan. Syarat ini digunakan oleh Ratna sebagai strategi untuk mengajak masyarakat untuk belajar dan berdaya secara ekonomi. Dalam Proses pengembalian pinjaman ini tak ditentukan besarannya dan sesuai dengan kemampuan masing-masing peminjam, hanya saja batas waktu yang diberikan sekitar empat bulan.
Kedua, program one bag one garbage yaitu program (biaya) pendidikan yang dihasilkan dari penjualan sampah terpilah. Ratna meminta setiap anak didiknya mengumpulkan sampah terpilah pada satu tas atau kantong, untuk kemudian hasilnya dijual pada pengepul. Hasil penjualan sampah baru bisa dicairkan setiap setahun sekali dan digunakan untuk pembiayaan kebutuhan sekolah. Cara ini digunakan Ratna karena dalam pelaksanaan pendidikan ia tak memungut biaya pendidikan. Inisiatif ketiga yang dilakukan Ratna adalah memanfaatkan pekarangan rumah untuk sayur-sayuran organik di polybag. Perawatan bertani ini dilakukan oleh anak didiknya. Sebagian hasil panen dikonsumsi sendiri dan sebagian lainnya dijual untuk kebutuhan pendidikan, misalnya untuk membeli alat tulis, kitab, atau lainnya.
Keempat, Ratna juga berinisiatif membuat bazar yang digelar di pekarangan rumahnya pada bulan Ramadan. Pada bazaar ini, Ratna menjual kebutuhan pokok dengan harga lebih murah daripada di pasaran. Sayur dan buah yang dijual merupakan hasil kebun para petani di sekitar rumah Ratna dan dari jaringan yang dimiliki oleh Ratna.
Kerja dan inisiatif yang dilakukan Ratna itu mengantarkannya sebagai juara pertama penyuluh agama terbaik se-Provinsi Jawa Tengah pada bulan Juni 2019. Setelah sebelumnya, pada tahun 2018 ia menyabet juara kedua penyuluh terbaik se-Provinsi Jawa, dan pada tahun 2017 menjadi juara kedua tingkat kecamatan sebagai penyuluh terbaik. Saat ini Ratna sedang bersiap mengikuti ajang penyuluh agama di tingkat nasional. Dalam ajang tersebut, Ratna bersaing ketat dengan para penyuluh agama dari berbagai daerah, yang mana perwakilannya didominasi laki-laki.
Yang Tak Boleh Menjadi Hambatan
Tantangan terbesar yang dihadapinya adalah ketika suaminya berpulang ke rahmatullah. Sedang ia harus mengasuh empat anak yang masih kecil, satu di antaranya adalah balita. Paska meninggalnya suami Ratna, banyak yang beranggapan Ratna tidak akan bisa melanjutkan perjuangannya karena harus fokus mengurus anak, dan bisa jadi pulang kembali ke orang tua di Malang. Namun, anggapan itu mampu dipatahkan, Ratna membulatkan tekad untuk membesarkan anak-anaknya sembari melanjutkan perjuangannya untuk berkhidmah kepada masyarakat. Ratna ingin menunjukan kepada anak-anaknya bahwa ia bukan sosok yang tak punya nyali dan terpuruk paska ditinggal suami.
Keluarga, anak, dan sahabat bagi Ratna adalah faktor pendukung terbesarnya dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Ibu bagi Ratna adalah sesosok perempuan yang mengajarkan dirinya untuk tetap teguh dan tangguh pada prinsip, juga ayahnya yang merupakan sosok pantang menyerah. Ayahnya tetap menyekolahkan dirinya meski pada saat itu usaha yang sedang dijalani gulung tikar. Juga dukungan dari teman-temannya membantu Ratna dalam startegi dakwah.
Sebelum suaminya meninggal, Ratna sempat belajar mengendarai motor, dan dengan motor itu ia bisa melakukan aktivitas dan berinteraksi dengan masyarakat. Pertemuan pertamanya dengan Rahima yaitu saat ia mengikuti program Pendidikan Ulama Perempuan (PUP) yang diselenggarakan oleh Rahima. Ratna bergabung dalam program PUP dengan rekomendasi dari Nihayatul Wafiroh (Pondok Pesantren Darussalam, Blok Agung, Banyuwangi) atau yang akrab dipanggil dengan Ning Nik. Ning Nik adalah teman sekelas suaminya ratna, dan atas rekomendasinya itu, suami Ratna tak bisa menghalangi Ratna untuk mengikuti pendidikan di Rahima.
Kegelisahannya saat ini di antaranya adalah makin menguatnya kelompok fundamentaslisme dan ekstremisme. Gejalanya sudah ditemukan di lingkungan sekitar, anak-anak didiknya di sekolah (MTSN 1 Purworejo) bahkan anak santrinya sendiri. Ada dua anak santrinya yang sudah terindikasi masuk pada kelompok radikalisme. Salah satu indikasinya sudah bercadar dengan keyakinan sudah melakukan Islam secara kaffah dan di luar itu bahkan Ratna sebagai gurunya dianggap belum mejalankan Islam yang kaffah. Oleh karenanya, Ratna tak Lelah mengingatkan anak-anak didiknya, komunitas juga santri-santrinya tentang bahaya dari paham fundamentalisme dan radikalisme yang mengarah pada sikap intoleran dan ekstrem.
[Pera Sopariyanti]