Oleh KH. Husein Muhammad

Poligami merupakan problem sosial klasik yang selalu menarik diperbincangkan sekaligus diperdebatkan di kalangan masyarakat muslim di seluruh dunia. Perdebatan pada tingkat wacana itu selalu berakhir tanpa pernah melahirkan kesepakatan. Kesimpulan dari perdebatan ini memunculkan tiga pandangan. Pertama pandangan yang membolehkan poligami secara longgar. Sebagian dari pandangan ini bahkan menganggap poligami sebagai “sunnah”, yakni mengikuti perilaku Nabi Muhammad saw. Syarat keadilan yang secara eksplisit disebutkan Alquran cenderung diabaikan atau hanya sebatas argumen verbal belaka. Pandangan kedua membolehkan poligami secara ketat dengan menetapkan sejumlah syarat, antara lain  adalah keadilan formal-distributif, yakni pemenuhan hak ekonomi dan seksual (gilir) para istri secara (relatif) sama serta keharusan mendapat izin istri dan beberapa syarat lainnya. Ketiga, pandangan yang melarang poligami secara mutlak.

Keberagaman pandangan kaum muslimin dalam isu poligami ini tentu saja menarik, karena di dalamnya memperlihatkan sebuah dinamika pemikiran yang terus berkembang. Perkembangan ini menunjukkan bahwa mereka tengah menghadapi perubahan-perubahan sosial yang terus bergerak.

Hal yang menarik dari perdebatan dan kontroversi poligami adalah bahwa masing-masing pendapat merujuk pada sumber yang sama, yakni ayat Alquran surah al Nisa [4]; 2, 3, dan 129, dan sejumlah hadis Nabi Muhammad saw. Hal itu menunjukkan bahwa teks-teks keagamaan selalu menyediakan kemungkinan bagi sejumlah tafsir (interpretasi). Teks-teks adalah huruf-huruf yang perlu disuarakan. Ibnu ’Arabi mungkin merupakan tokoh paling ”berani” ketika mengatakan; “Fa mā fi al kaun kalām lā yuta’awwal” (tidak ada satupun teks di dunia ini yang tidak bisa ditafsir).[1] Karena itu ia memang harus dimaknai dan dipahami oleh akal pikiran manusia yang tidak selalu menghasilkan kesimpulan sama. Perbedaan memahami dan cara pandang orang terhadap teks juga terjadi karena perbedaan ruang dan waktu. Setiap pandangan dan pikiran manusia selalu merupakan refleksi ruang dan waktu (sejarah sosial) di mana dan kapan mereka hidup. Perbedaan pendapat juga terjadi akibat dari cara-cara yang digunakan untuk menganalisis teks, dan lain-lain. Bahkan perbedaan penafsiran juga bisa terjadi karena perbedaan kepentingan dan ideologi.

Demikianlah, dalam soal poligami masing-masing pandangan tetap merujuk pada ketentuan agama dan masing-masing kemudian mengklaim atau menganggap bahwa pandangannya dimaksudkan untuk menegakkan ajaran agama. Yang diperlukan oleh masing-masing pihak kemudian adalah sikap saling menghargai pendapat pihak lainnya. Masing-masing pihak juga tidak boleh melakukan klaim kebenaran sepihak, dengan mencap  atau menuduh pihak lain sebagai kelompok sesat, anti-Islam atau melawan hukum Tuhan. Sejak Nabi Muhammad saw wafat, kaum muslimin di seluruh dunia tidak lagi memiliki tokoh paling otoritatif yang dapat memutuskan kebenaran suatu hukum Tuhan (agama, syarī’ah) secara tunggal dan final sebagaimana Nabi saw. Karenanya, sesudah beliau wafat, tidak ada lagi orang atau pihak yang bisa memonopoli kebenaran atas nama Tuhan.

Poligami bukan Tradisi Islam

Poligami bukan praktik yang dilahirkan Islam. Islam tidak menginisiasi Poligami. Jauh sebelum Islam datang tradisi poligami telah menjadi salah satu bentuk praktik peradaban Arabia patriarkhis. Peradaban patriarkhi adalah peradaban yang memposisikan laki-laki sebagai aktor yang menentukan seluruh aspek kehidupan. Nasib hidup kaum perempuan  dalam sistem ini didefinisikan oleh laki-laki dan  untuk kepentingan mereka. Peradaban ini sesungguhnya telah lama bercokol bukan hanya di wilayah Jazirah Arabia, tetapi juga dalam banyak peradaban kuno lainnya seperti di Mesopotamia dan Mediterania bahkan di bagian dunia lainnya. Dengan kata lain perkawinan poligami sejatinya bukan khas peradaban Arabia, tetapi juga peradaban bangsa-bangsa lain.

Di dunia Arab, tempat kelahiran Islam, sebelum Nabi Muhammad Saw lahir, perempuan dipandang rendah dan entitas yang tak berarti. Alquran dalam sejumlah ayatnya menginformasikan realitas sosial ini. Umar bin Khattab pernah mengungkapkan kenyataan ini dengan mengatakan : “Dalam dunia kelam (jahiliyah), kami tidak menganggap perempuan sebagai makhluk yang perlu diperhitungkan”. Perbudakan manusia terutama perempuan, dan poligami menjadi praktik kebudayaan yang lumrah dalam masyarakat Arabia saat itu. Ketika Nabi Islam hadir di tengah-tengah mereka, praktik-praktik ini tetap berjalan dan dipandang tidak bermasalah, sebagaimana tidak bermasalahnya tradisi “kasur, dapur, dan sumur” bagi peran perempuan dalam masyarakat Jawa.

Meskipun Nabi Muhammad saw. mengetahui bahwa poligami yang dipraktikkan bangsa Arab ketika itu  sering dan banyak merugikan kaum perempuan, tetapi bukanlah cara Islam untuk menghapuskan praktik ini dengan cara-cara revolusioner. Bahasa yang digunakan Alquran tidak pernah provokatif apalagi radikal. Transformasi Islam selalu bersifat gradual, akomodatif dan dalam waktu yang sama sangat kreatif. Alquran dan Nabi Muhammad saw selalu berusaha memperbaiki keadaan ini secara persuasif dan mendialogkannya dengan intensif. Bukan hanya isu poligami, seluruh praktik kebudayaan yang tidak menghargai manusia selalu diupayakan Nabi saw untuk diperbaiki secara bertahap dan terus-menerus untuk pada akhirnya tercapai sebuah kondisi yang paling ideal. Kondisi ideal adalah keadilan dan penghargaan terhadap martabat manusia. Ini adalah kehendak logis dari sistem kepercayaan Islam: Tauhid.

Jika kita membaca teks-teks Alquran secara holistik, kita melihat bahwa perhatian kitab suci terhadap  eksistensi perempuan secara umum dan isu poligami dalam arti khusus, muncul dalam rangka reformasi sosial dan hukum. Alquran tidak ujug-ujug turun untuk mengafirmasi perlunya poligami. Pernyataan  Islam atas praktik poligami, dilakukan dalam rangka mengeliminasi praktik ini, selangkah demi selangkah. Dua cara dilakukan Alquran untuk merespon praktik ini; mengurangi jumlahnya dan memberikan catatan-catatan penting secara kritis, transformatif dan mengarahkannya pada penegakan keadilan. Sebagaimana diketahui dari berbagai sumber, sebelum Islam laki-laki dipandang sah saja untuk mengambil istri sebanyak yang dikehendaki, tanpa batas. Laki-laki juga dianggap wajar saja memperlakukan kaum perempuan sesuka hatinya. Logika mainstream saat itu memandang poligami dengan jumlah perempuan yang dikehendaki sebagai sesuatu yang lumrah, sesuatu yang umum, dan bukan perilaku yang salah dari sisi kemanusiaan. Bahkan untuk sebagian komunitas, poligami merupakan kebanggaan tersendiri. Previlase, kehormatan dan kewibawaan seseorang atau suatu komunitas seringkali dilihat dari seberapa banyak dia  mempunyai istri, budak atau selir. Dan kaum perempuan menerima kenyataan itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berdaya melawan realitas yang sejatinya merugikan dirinya itu. Boleh jadi, karena keadaan yang lumrah dan mentradisi ini, mereka sendiri alih-alih tidak menganggapnya sebagai hal yang merugikan dirinya, malahan mungkin menguntungkan. Ketidakadilan menjadi tak terpikirkan lagi. Alquran kemudian turun untuk mengkritik dan memprotes keadaan tersebut dengan cara meminimalisasi jumlah yang tak terbatas itu sehingga menjadi dibatasi hanya empat orang saja di satu sisi, dan menuntut perlakuan yang adil terhadap para istri, pada sisi yang lain.

Informasi mengenai realitas sosio-kultural dan tindakan mereduksi praktik poligami ini terungkap dalam sejumlah hadits Nabi saw. Beberapa di antaranya hadis Ibnu Umar. Ia berkata: “Ghilan al-Saqafi ketika masuk Islam mempunyai sepuluh orang istri. Mereka semua masuk Islam bersamanya. Nabi Muhammad saw kemudian menyarankan dia untuk hanya mengambil empat orang saja”.(H.R. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirimizi). Qais bin Haris juga mengalami hal yang sama. Dia mengatakan ; “Aku masuk Islam dan aku mempunyai delapan orang istri. Aku kemudian mendatangi dan menceritakannya kepada Nabi saw. Kemudian Nabi saw mengatakan: “Pilih empat di antara mereka”. (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Keputusan Alquran mereduksi dan meminimalisasi jumlah istri oleh menunjukkan dengan jelas bahwa Alquran enggan untuk membolehkan poligami kecuali dengan syarat berkeadilan.

Membaca Ayat Poligami

Ayat Alquran yang membicarakan soal dan menjadi dasar keabsahan  poligami sampai empat orang tersebut terdapat pada surah al Nisa: 2-3 yang secara lengkap berbunyi (menurut terjemahan Departemen Agama) :

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang  besar.(2). Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat bagi kamu untuk tidak berbuat aniaya”(3).

Dilihat dari latarbelakang turunnya, ayat ini secara lebih spesifik berdasarkan banyak tafsir diketahui bahwa ia tengah merespons kasus ketidakadilan para pengasuh (wali) anak-anak yatim. Anak-anak yatim adalah anak-anak  yang kehilangan ayah dalam usia mereka yang belum dewasa. Pada usia ini mereka sangat tergantung kepada orang lain, membutuhkan perlindungan, pemeliharaan dan pemenuhan kebutuhan baik finansial (ekonomi) maupun kasih sayang. Melalui ayat ini Tuhan menyerukan agar para pengasuh anak-anak yatim, memberikan perlindungan, pengasuhan dan pemeliharaan terhadap mereka dengan serius, dengan kata lain memperlakukan mereka dengan baik dan adil. Jika mereka mempunyai kekayaan, para pengasuh (wali) harus menyerahkannya ketika mereka dewasa. Para wali tidak dibolehkan memanipulasi atau mengkorupsi harta mereka. Para wali hanya diberi hak untuk menggunakan harta mereka sepanjang diperlukan bagi kepentingan mereka. Mujahid, Sa’id bin Jubair, Ibnu Sirin, Muqatil bin Hayyan, al Siddi dan Sufyan bin Husein berkomentar tentang: “Jangan kamu campuradukkan hartamu dan harta mereka lalu kamu memakannya” dengan mengatakan: “jangan anda berikan kepadanya yang kurus sementara anda mengambil yang gemuk”.[1]

Seorang ahli tafsir paling terkemuka, Ibnu Jarir al Tabari, mengutip para ahli yang berbeda, antara lain istri Nabi saw, Siti Aisyah, mengemukakan bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan kasus seorang laki-laki yang menjadi wali anak yatim yang kaya. Dia ingin mengawininya demi kekayaannya, dan memperlakukannya dengan tidak wajar. Padahal anak yatim tersebut tidak menyukainya.[2]

Praktik pengasuhan anak-anak yatim pada saat itu cenderung tidak adil. Para wali tidak mengelola hak-hak sosial dan ekonomi mereka secara proporsional. Di samping itu, mereka juga ingin mengawini anak-anak yatim perempuan di bawah asuhannya dengan tidak membayarkan mas kawinnya sama sekali atau membayar tetapi tidak wajar. Ketika hal itu terjadi, Alquran membolehkan para wali mengawini perempuan yang sah selain anak-anak yatim dua, tiga atau empat.[3]

Dengan mengetahui latarbelakang spesifik turunnya ayat ini sesungguhnya telah jelas bagi kita untuk mengemukakan sekali lagi bahwa maksud pertama dan misi utama ayat ini pada waktu diturunkannya adalah peringatan sekaligus penekanan kepada para pengasuh anak-anak yatim untuk melindungi mereka yang keberadaannya memang lemah atau tak berdaya itu melalui cara-cara yang adil. Jadi ayat ini tidak dimaksudkan untuk menganjuran poligami. Tegasnya, poligami bukanlah tujuan dari turunnya ayat ini dan bukan pula inisiatif Alquran. Hal ini karena, seperti sudah disinggung, perkawinan poligami sudah eksis dan telah berlangsung lama di tengah masyarakat Arabia ketika itu. Kalaupun ayat ini menyinggung dan membolehkan poligami, maka sebenarnya hanya membiarkannya dan sekaligus sedang mengkritik praktik poligami yang tidak adil.

[1] Ibnu Kasir, Tafsir Alquran al ‘Azim, I/449.

[2] Lihat: Ibnu Jarir al Thabari, Jami’ al Bayan ‘an Ta’wil Ayi al Qur’an, (Beirut: 1988), vol. VIII, h. 231-236.

[3] Mengenai latar belakang turunnya ayat ini Bukhari meriwayatkan bahwa Urwah bin Zubair bertanya kepada Aisyah ra. Mengenai ayat ini: ”Jika kamu khawatir tidak dapat berlaku terhadap anak yatim”. Aisyah menjawab: “Hai anak saudara perempuanku, perempuan yatim ini diasuh seseorang (wali) dia menggabungkan harta dia (yatim) dengan hartanya. Si wali menginginkan kecantikan dirinya dan hartanya. Karena itu dia ingin mengawininya tanpa memberikan mas kawin yang layak. Maka dia dilarang mengawininya kecuali bisa bertindak adil dan memberikan mas kawin yang pantas. (Ketika ini tidak dapat dilakukannya), dianjurkan menikahi perempuan-perempuan lainnya”. (Ibnu Kasir, op. cit., h. 499-450).

 

Baca Juga:

Tafsir Alquran 2: Perempuan-perempuan; Siapakah Mereka?

Tafsir Alquran 3: Keadilan sebagai Syarat

 

[1] ’Abd al Hadi ’Abd al Rahman, Sultah al Nas Qirā’at fi Tauzif al Nas al Dīny, (Beirut: al Markaz al Śaqafi al ’Arabi, 1993), cet. I, h. 195. Dikutip dari karya besar Ibnu ’Arabi, Al Futuhāt al Makkiyyah, II, h. 181.

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here