Siti Walidah atau yang dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah) merupakan tokoh Aisyiyah yang gigih berjuang untuk kesetaraan laki-laki dan perempuan. Ia lahir di Kauman Yogyakarta pada tahun 1872 dari pasangan Kiai Peyuluh H. Muhammad Fadil dan Nyai Mas. Ia merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara.
Di usia yang ke-17 Siti Walidah dinikahkan dengan Kiai Ahmad Dahlan, yang merupakan saudara sepupunya. Dari pernikahan tersebut, ia dikaruniai enam orang anak yaitu Djohanah (1890), Haji Siradj Dahlan (1898), Siti Busyra Islam (1903), H. Siti Aisyah Hilal (1905), Irfan Dahlan (1907), Siti Zuharah Masykur (1908). Ia meninggal pada 31 Mei 1946 di usia ke 74 tahun.
Sebagai perempuan Jawa, Siti Walidah tidak mendapatkan pendidikan formal. Selain karena tradisi ‘pingitan’ bagi anak perempuan Jawa, juga karena hukum menempuh pendidikan formal yang didirikan oleh Belanda saat itu adalah haram. Oleh karena itu, ia hanya mendapatkan akses pendidikan agama seperti mengaji Alquran dan kitab-kitab Islam yang berbahasa Arab Jawa (pegon). Selain menjadi murid, ia juga mengemban amanat membantu orang tuanya mengajar para santri di langgar dekat rumahnya. Dari situlah ia belajar berorasi di depan publik.
Pada tahun 1914, Siti Walidah bersama sang suami merintis kelompok pengajian yang diberi nama “Sopo Tresno.” Nama tersebut dipilih agar orang-orang yang mengikuti pengajian tidak dalam keadaan terpaksa melainkan suka dan cinta. Dalam pengajian tersebut, ia memberikan penjelasan mengenai hak dan kewajiban perempuan dalam perspektif Islam dengan mengacu kepada Alquran dan hadis. Dari pemahaman tersebut tumbuh kesadaran tentang hak dan kewajiban perempuan sebagai hamba Allah, istri dan makhluk sosial.
Melalui pengajian tersebut tumbuh kesadaran pentingnya berorganisasi sebagai wadah dalam menyampaikan persoalan dihadapan umum. Pengajian “Sopo Tresno” mempunyai pengaruh yang cukup luas dan keanggotaannya semakin hari semakin luas. Hal inilah yang menginspirasi tokoh Muhammadiyah untuk menjadikan “Sopo Tresno” menjadi organiasasi yang mapan, dan munulah nama yang diputuskan ‘Aisyiyah” sebagai wadah bagi perempuan Muhammadiyah dalam berorganisasi dan membantu mensiarkan Islam ke seluruh Indonesia.
Pada 22 April 1917, Aisyiyah resmi berdiri bagian dari Muhammadiyah divisi kewanitaan. Melalui Aisyiyah, Siti Walidah sebagai ketua tampil sebagai pemimpin muktamar di berbagai kota. Dengan kemampuannya berorasi dan keberaniannya tampil di publik, banyak orang yang kagum, mengingat belum banyak perempuan yang memimpin organisasi, terlebih muktamar.
Pada tahun 1923, Aisyiyah semakin luas dan membuka cabang di berbagai daerah. Siti Walidah terjun langsung ke daerah untuk berdakwah sekaligus memotivasi kaum perempuan agar aktif di Aisyiyah. Menurutnya, perempuan tidak cukup hanya mengurus rumah tangga dan mengasuh anak, melainkan juga perlu berkumpul membahas kebutuhan rohani kebutuhan perempuan serta permasalahan yang ada di masyarakat. Aisyiyah berfokus pada gerakan memberantas kebodohan dengan mengatasi permasalahan buta huruf, baik latin maupun arab, juga kecakapan tampil di depan publik. Sepeninggalan suami pada 1923, Nyai Walidah sering diminta pendapatnya oleh tokoh Muhammadiyah sebagai Ibu Muhammadiyah.
Keprihatinannya terhadap kondisi perempuan, Siti Walidah menjadikan rumahnya sebagai asrama bagi perempuan, seolah memberikan alternatif bagi perempuan dengan tetap menjalankan tradisi pingitan dan mendapatkan pendidikan. Lalu dibentuklah model Pendidikan asrama agar relasi antara pendidik dan terdidik terjalin secara intensif. Pada perkembangannya, Siti Walidah kemudian membangun asrama yang ditujukan bagi laki-laki dan asrama ini berubah menjadi sekolah dengan nama Kweekschool Muhammadiyah Perempuan. Langkah ini sebagai bukti perjuangan Walidah dalam kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam hal akses Pendidikan.
Peran Walidah juga terlihat pada masa perang kemerdekaan. Bersama ibu-ibu Muhammadiyah, Walidah mendirikan dapur umum serta rumah sakit darurat bagi para pejuang yang terluka. Beliau juga berpesan kepada para perempuan untuk bersikap tenang menghadapi situasi sulit dengan mengalihkannya membantu para korban.
Atas perjuangannya dalam pemberdayaan perempuan, Siti Walidah mendapatkan gelar kehormatan sebagai pahlawan nasional melalui surat keputusan presiden RI, Soeharto, No. 042/TK/Tahun 1971 pada 22 September 1971.
(Sumber: Buku Jejak Perjuangan Keulamaan Perempuan Indonesia)