Nyai Solihah adalah Ibu dari Presiden RI ke-4 yaitu Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Semasa kecil dikenal dengan nama Munawaroh, lahir di Jombang, 11 Oktober 1922. Ia adalah anak kelima dari 10 saudara pasangan Kyai Bisri Syanusi dengan Nyai Chodijah.
Nyai Solihah belajar agamanya dari sang ayah Kiai Bisri Syanusi di pondok pesantren Denanyar Jombang. Sejak kecil, Nyai Solihah mempunyai minat belajar yang tinggi dan tekun menuntut ilmu. Ia memiliki kecerdasan yang menonjol dari saudara-saudaranya dan ia mudah menyerap pelajaran.
Nyai Solihah menikah dengan Kiai Wahid Hasyim (Putra Kiai Hasyim As’ari dan Menteri Agama RI pertama) pada 10 Syawal 1356 hijriyah disaat usia 16 tahun. Setelah menikah, Kiai Wahid Hasyim memfasilitasi Nyai Solihah untuk belajar ilmu yang belum dipelajari sebelumnya seperti menulis latin, Bahasa Inggris dan ilmu lainnya.
Dengan kemampuan yang dimiliki dan dukungan suami, Nyai Solihah aktif mengikuti berbagai kegiatan terutama yang diselenggarakan oleh Nahdhatul Oelama Muslimat (NOM). Di masa penjajahan jepang (1942-1945) Nyai Solihah masuk dalam jajaran anggota Fujinkai yang merupakan organisasi perempuan buatan Jepang yang beranggotakan para istri pejabat. Para pejuang pribumi kemudian memanfaatkan organisasi ini untuk membantu para pejuang kemerdekaan kebanyakan dimanfaatkan sebagai perawat, pemasok bahan makanan, dan obat-obatan, atau sebagai kurir yang menghubungkan garis belakang dan garis depan dalam medan pertempuran. Nyai Solihah ikut serta sebagai kurir untuk menyampaikan pesan sambil membawakan makanan dan minuman serta obat-obatan bagi para pejuang yang ada di garis depan.
Tahun 1953 Kiai Wahid Hasyim suami Nyai Solihah wafat dan meninggalkan 5 anak dan satu janin berusia tiga bulan. Kelima anak tersebut adalah Abdurrahman Ad-Dahil/ Gusdur (usia 14 tahun), Aisyah 12 tahun, Salahudin Al-Ayubi 10 tahun, Umar al-Faruq 8 tahun, dan Lily Chadijah 5 tahun.
Nyai Solihah membesarkan keenam anaknya sendiri di Jakarta. Ia tidak mengizinkan anaknya sekolah di Jombang dengan alasan keterbatasan akses terutama dalam pendidikan yang membuat anak-anakya tidak berkembang maksimal. Nyai Solihah berbisnis dan dibantu oleh Hamid Baidowi (putra saudara perempuan suaminya Kiai Wahid Hasyim).
Nyai Solihah tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk sekolah atau belajar di lembaga tertentu. Beliau memberi kebebasan dan keleluasaan kepada anaknya untuk menentukan ke mana mereka akan sekolah dan melanjutkan pendidikannya. Nyai Solihah merancang dan memfasilitasi anak-anaknya secara demokratis. Sikap demokratisnya tidak hanya ditunjukkan dalam hal Pendidikan namun juga dalam urusan jodoh.
Nyai Solihah lama berkecimpung di dunia politik. Bermula sebagai anggota DPRD DKI mewakili NU pada tahun 1955. Ketika hasil Pemilu tahun 1955 dibubarkan dan diganti DPRGR pada tahun 1960, ia tetap terpilih sebagai anggota DPRGR mewakili Muslimat NU. Pada masa Orde Baru, ia terpilih lagi sebagai anggota DPR RI mewakili NU tahun 1971, 1977, dan 1982 mewakili PPP.
Nyai Solihah dikenal mempunyai hubungan yang sangat luas. Ia menjalin hubungan komunikasi dengan berbagai kalangan, baik politisi, pejabat pemerintah, kelompok profesional, pengusaha, dan juga para ulama di tingkat nasional dan daerah. Hal tersebut membuatnya sangat populer. Banyak orang datang kepadanya hanya untuk meminta bantuan atau pendapat, saran, maupun nasihat.
Di tengah kesibukannya, Nyai Solihah aktif di berbagai kegiatan organisasi. Beberapa organisasi tersebut selain di muslimat NU sejak tahun 1952, beliau aktif di Yayasan Dana Bantuan (YDB) sejak tahun 1958 hingga akhir hayatnya. YDB sebagai organisasi nirlaba aktif memberikan bantuan beasiswa kepada pelajar dan mahasiswa yang berasal dari keluarga kurang mampu, maupun bantuan sosial lainnya. Nyai Solihah juga aktif di Yayasan Bunga Kamboja (YBK) yang mengurusi dan melayani kematian bagi orang-orang miskin. Ia juga tercatat sebagai salah satu inisiator lahirnya Yayasan Kesejahteraan Muslimat NU (YKM NU) bersama Nyai Solihah Saifuddin Zuhri. Seluruh aktifitasnya Nyai Solihah terhenti pada 29 Juli 1994 sekitar pukul 23.00, ia wafat dalam usia 72 tahun.
(Sumber: Buku Jejak Perjuangan Keulamaan Perempuan Indonesia)