Oleh: Rainy Hutabarat
Kemajuan Kuantitas vs Kemajuan Kualitas
Catahu 2020 mencatat kemajuan terkait kepemimpinan perempuan di bidang politik, yakni terpilihnya Puan Maharani sebagai perempuan pertama menjadi Ketua DPR (2019-2024). Catatan kemajuan lain adalah, Lestari Moerdjati terpilih sebagai Wakil Ketua MPR (2019-2024), DPRD Sumatera Selatan dipimpin R.A. Anita Noeringhati (2019-2024). Kendati belum mencapai kuota 30 persen, keterwakilan perempuan di DPR RI periode 2019-2024 juga meningkat dibanding periode sebelumnya. Dari 575 anggota DPRD terpilih, 118 orang atau 20,52 persen adalah perempuan. Periode sebelumnya, keterwakilan perempuan 17,32 persen. Namun peningkatan keterwakilan perempuan di badan legislatif tidak diiringi jumlah menteri perempuan dalam jajaran eksekutif Kabinet Indonesia Maju 2019-2024. Kabinet sekarang ini hanya memiliki 5 menteri perempuan dari 34 menteri, yang artinya hanya 15 persen dari total jumlah menteri. Dari 5 menteri perempuan, tiga orang melanjutkan jabatan sebelumnya, yakni Retno Marsudi (Menteri Luar Negeri), Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan), Siti Nurbaya Bakar (Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup).
Peningkatan kuantitas keterwakilan perempuan di DPR tidak sejalan dengan peningkatan kualitas mereka. Catahu 2020 mencatat, keterpilihan perempuan di DPR disebabkan antara lain, mengandalkan popularitas sebagai selebriti, memiliki hubungan kekerabatan atau relasi kekuasaan dengan para elit politik. Tercatat 14 perempuan selebriti di DPR dan menurut studi Puskapol UI dari 118 perempuan terpilih sebagai legislatif, 41 persen berasal dari dinasti politik yang memiliki hubungan dengan para elit politik. Fakta ini memberi isyarat bahwa meningkatnya keterpilihan perempuan di badan legislatif tidak menjamin terakomodasinya kepentingan perempuan di parlemen di samping .
Belakangan terbukti dengan masuknya RUU Ketahanan Keluarga dan Omnibus Law yang mengancam pemajuan perempuan dan pemenuhan HAM perempuan di ranah domestik dan dunia kerja.
Kekuasaan Berlapis dan Pemberdayaan Komunitas
Dari pola-pola keterpilihan perempuan dalam badan legislasi bisa disimpulkan, kita tak bisa berharap banyak dari partai-partai untuk penguatan akar rumput. Partai-partai hanya membutuhkan suara rakyat saat pemilu legislatif tanpa menyimak kebutuhan-kebutuhan peningkatan kualitas hidup rakyat. Oleh karena itu, misi dan agenda kerja ulama perlu menyasar akar rumput sebagai komunitas basis yang menopang dan mendukung eksistensi, misi dan agenda kerja ulama untuk kesetaraan dan keadilan gender. Inilah tantangan lokal yang sebenarnya. Membangun komunitas lokal sebagai basis masyarakat sipil yang kritis, bebas dari berbagai bentuk kekerasan termasuk kekerasan terhadap perempuan dan berkelanjutan.
Sebagai pemimpin umat, ulama (perempuan) memiliki kekuasaan berlapis: (1) kekuasaan jabatan dalam lembaga, (2) otoritas pengajar agama dan, (3) kehormatan sebagai ulama.
Dalam masyarakat yang masih menjadikan kitab suci dan agama sebagai sumber moral, etika, dan orientasi hidup, ulama perempuan ditempatkan dalam posisi terhormat disegani dan dipandang sebagai pamong bagi komunitasnya, guru spiritual yang diharapkan memberi teladan, tuntunan hidup dan kedamaian hati.
Kekuasaan berlapis ini merupakan modal besar dalam menjawab tantangan lokal yakni penguatan komunitas. Namun, bagaimana kekuasaan dipahami akan menentukan model kepemimpinan, metode dan proses-proses dalam kerja-kerja ulama. Pada dasarnya, pemberdayaan komunitas beriring dengan pemberdayaan diri dalam mengelola kekuasaan. Mengapa? Komunitas yang terorganisir dan kritis merupakan modal bagi gerakan perubahan sosial, termasuk komunitas toleran dan bebas dari kekerasan. Bukan hanya ulama, juga rakyat biasa membutuhkan kemampuan pengorgaisasian dan organisasi. Dimulai dari komunitas RT, arisan, pengajian, bank sampah dan komunitas RW.
Saya ingin mengutip empat konsep kekuasaan dalam kepemimpinan: (1) Power over, (2) Power to, (3) Power with, (4) Power within yang umum digunakan.
Dua yang pertama merupakan kekuasaan hirarkis dan mengandung unsur dominasi. Hubungan bersifat atasan-bawahan. Kekuasaan model ini membutuhkan jabatan dan legitimisasi struktural dan perubahan digerakkan dari atas. Ini sejajar dengan model kekuasaan patriakis yang ditandai penguasaan dan penundukan dalam relasi pemimpin — komunitas yang dipimpin.
Yang ketiga, kekuasaan bersama (power with) berarti berbagi kuasa untuk mencapai tujuan bersama. Bersifat kolektif karena pembagian tugas menurut talenta masing-masing dan tanggung jawabnya. Power with menggunakan prinsip berbagi dan menghargai proses-proses bersama untuk mencapai tujuan bersama. Tak selalu membutuhkan jabatan dan legitimasi melainkan penerimaan komunitas. Ini sejalan dengan prinsip feminis yang menekankan kolegialitas setara dan persaudarian.
Karena kekuasaan dibagi bersama dan bersifat kolektif, pemimpin duduk bersama dengan komunitasnya. Perannya memfasilitasi agar komunitas berdaya mampu mengorganisir diri, memetakan masalah, tantangan, kekuatan, kelemahan dan peluang (SWOT). pengorganisasian kerja berjalan baik, dan tujuan bersama tercapai. Ungkapan tut wuri handayani dapat mengungkapkan posisi dan peran pemimpin. Komunitas yang berdaya, kepemimpinan ulama perempuan berjaya. Komunitas adalah basis pengakuan akan eksistensi ulama. Untuk merawat kebersamaan, penyamaan pandangan dan berbagi pengetahuan dan informasi, WAG dapat dimanfaatkan sebagai ruang bersama.
Yang keempat, kuasa dalam diri berbentuk integritas, disiplin, kerja keras dan hidup bertujuan. Integritas, disiplin dan kerja keras serta hidup bertujuan merupakan proses pembelajaran yang berlangsung seumur hidup.
Mempersiapkan komunitas agar mampu merespons dan bersikap kritis terhadap perubahan-perubahan di aras local, nasional maupun global seturut dengan ajaran dan nilai-nilai Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin merupakan bagian dari pemberdayaan ulama, terutama kesetaraan dan keadilan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Penguatan Jejaring Internal, Eksternal dan Berjarak dengan Kekuasaan Politik
Jejaring dapat dibangun secara riil maupun virtual. WAG dapat dimanfaatkan sebagai jejaring dan gerakan virtual. Jejaring ulama perempuan melintas batas, selain jejaring dengan (1) internal: sesama perempuan ulama dalam organisasi yang sama dan lintas organisasi ulama perempuan; (2) eksternal-nasional dengan agama-agama lain (pendeta, bikhuni, pandita, dst) untuk gerakan bersama, kekuasaan politik dan masyarakat (3) jejaring internasional.
Jejaring internal dalam organisasi yang sama perlu menyusun agenda pembelajaran bersama berupa tafsir kitab suci berperspektif feminis, workhop dan seminar tentang isu-isu aktual strategis misalnya kajian rencana undang-undang, dengan pembagian wilayah geografis. Menyamakan tafsir agama tentang isu-isu kontroversial yang akan terus bergulir di tengah-tengah masyarakat merupakan proses penguatan ulama perempuan, misalnya terkait aborsi, LGBT, hukuman mati, bayi tabung, kecerdasan buatan, rekayasa genetika, dll. Tidak selalu mudah menjalankan proses ini, bisa saja berujung perpecahan. Proses penyamaan persepsi dalam merespons isu-isu sensitive sebagai bagian pembelajaran bersama akan membantu menghindari perpecahan.
Jejaring lintas organisasi ulama perempuan juga perlu diperkuat terutama penguatan tafsir berperspektif feminis, isu-isu kontroversial dari sudut tafsir agama, gerak bersama untuk advokasi kebijakan dan legislasi yang tidak berpihak kepada perempuan atau menyusun siaran pers. Organisasi ulama perempuan perlu belajar dari gerakan sosial yang sekat-sekatnya cair ketika harus berjuang bersama untuk kemaslahatan bersama. Organisasi berbasis agama termasuk organisasi perempuannya umumnya kaku ketika harus bergerak bersama lintas organisasi sebagai gerakan sosial. Di tengah-tengah merebaknya konservatisme agama yang ingin mengembalikan perempuan ke ruang domestik, penguatan jejaring lintas organisasi ulama perempuan memperkuat eksistensi ulama perempuan dalam skala luas.
Jejaring dengan pusat-pusat kekuasaan sipil, politik. Di Komnas Perempuan, misalnya, komisioner ulama perempuan hadir memperkuat kerja-kerja advokasi untuk pembaruan hukum dan kebijakan yang tidak memihak perempuan.
Namun, perempuan ulama memiliki posisi strategis dengan daya tawar yang kuat. Godaan terbesar bagi pemegang kekuasaan religius adalah menjaga jarak dengan kekuasaan politik dan modal. Juga godaan “memanjat secara sosial” dan menjadikan posisi ulama sebagai “batu loncatan” untuk meraih kekuasaan politik. Saya tidak mengatakan ulama perempuan masuk ke ranah politik sebagai tabu. Apalagi jika disertai alasan bahwa eksistensi ulama menguat bila masuk ke dalam kekuasaan politik.
Tetapi ada yang perlu disimak dan disikapi demi kemaslahatan umat: (1) menjadi ulama hanya sebagai “terminal antara” untuk mencapai terminal akhir berupa kekuasaan politik yang dipandang lebih besar; (2) ketika perempuan ulama masuk ke dalam kekuasaan politik, bagaimana menyikapi konflik kepentingan? Pelajaran dari sejarah agama-agama besar: agama kehilangan daya kritis-profetisnya ketika para ulama atau pemimpin umat bersekutu dengan politikus. Komunitas rentang dijadikan objek kepentingan sempit dan untuk menambah lapisan-lapisan kekuasaan ulama.