Oleh: Nyai Hj. Ida Nurhalida
Beberapa waktu yang lalu di daerah kami dikejutkan oleh peristiwa yang menggemparkan, yakni pembunuhan seorang gadis siswi SMA oleh ayah kandungnya sendiri. Hanya karena gara-gara si anak meminta uang untuk kegiatan sekolah dan sang ayah tidak memiliki uang kemudian anaknya memaksa, maka terjadilah peristiwa itu.
Ini hanya satu dari ratusan ribu kasus yang berlangsung di negeri kita. Dalam catatan statistik, Indonesia termasuk kategori darurat kekerasan. Bagaimana tidak? Setiap dua jam perempuan mengalami kekerasan. Catatan Tahunan Komnas Perempuan, pada sepanjang tahun 2019 lebih dari 431.000 kasus kekerasan terhadap perempuan.
Menurut Komnas Perempuan, dalam 12 tahun ini kasus sudah meningkat sebesar 8 kali lipat atau 800%. Kekerasan terhadap perempuan memang terus berlangsung dengan berbagai bentuk modus. Ada kekerasan fisik, kekerasan seksual, psikis, kekerasan ekonomi, penelantaran, atau ada juga kekerasan yang merupakan penjualan dengan trafficking. Sekarang malah ada kekerasan yang berbasis online (KBGO).
Kekerasan tersebut sebagian besar terjadi di ranah privat, di dalam rumah tangganya. Pelakunya yang memiliki hubungan dekat, bisa ayah, suami, kakek, paman, kakak, atau majikan. Mengapa ini terus terjadi? Tentu banyak penyebabnya. Hanya di antara penyebab yang penting yang bisa saya sampaikan di sini yakni adanya relasi yang timpang dan ukhuwah yang hilang, didukung oleh hukum yang belum sepenuhnya berpihak kepada korban.
Relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan ini adalah bentukan budaya yang turun-temurun, terus-menerus. Budaya patriarki yang memposisikan laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Dalam setiap pemikiran kita (pola pikir) baik laki-laki maupun perempuan menganggap bahwa laki-laki lebih kuasa dibanding perempuan sehingga mereka bisa dengan mudah melakukan apa yang dia inginkan. Ada ukhuwah yang hilang, ukhuwah ini adalah rasa persaudaraan yang di dalamnya terkandung unsur peduli dan perhatian.
Zaman yang demikian pesat berkembang dalam hal teknologi, globalisasi, menyeret kita semua untuk lebih egois. Lebih individualis dan hedonis. Lalu bagaimana kita harus menyikapi semua ini?
Para ulama dan beberapa cendekia menggagas ukhuwah nisaa`iyyah. Gagasan ini disampaikan beberapa belas tahun yang lalu. Dalam ukhuwah nisaa`iyyah, persaudaraan didasarkan pada solidaritas nasib dan perjuangan perempuan untuk menemukan kembali haknya yang hilang tercerabut oleh sistem budaya yang diciptakan manusia.
Melalui ukhuwah nisaa`iyyah ini diharapkan kita memiliki kepedulian yang lebih. Ukhuwah nisaa`iyyah ini menunjukkan bahwa kita prihatin dan berpihak kepada perempuan yang senantiasa dalam hidupnya mengalami peminggiran, penomorduaan, dan kekerasan.
Keberpihakan kepada perempuan korban atau calon korban kekerasan sudah dicontohkan oleh kanjeng Nabi Muhammad saw. Dikisahkan bahwa ada seorang budak perempuan yang mukmin yang oleh majikannya akan dijual kepada seorang Quraisyh, dengan motif bahwa jika nanti perempuan tersebut hamil dan melahirkan anaknya akan diambil oleh majikannya. Namun, si budak perempuan mukmin tersebut tidak mau. Ia mengadu kepada Nabi dan pengaduannya itu didengar langsung oleh Allah swt sehingga menjadi sebab turunnya Alquran ayat 33 surat An-Nuur.
Wa laa tukrihuu fatayaatikum ‘alal bighoo`I in arodna tahashshunal litabtaghuu ‘arodhol hayaatid dunya wa mayyukrihhunna fa innallaha min ba’di ikroohihinna ghafuururrahiim. Artinya, janganlah kamu memaksa budak-budak kamu untuk melakukan pelacuran sementara mereka menginginkan kesucian hanya karena kamu mencari keuntungan duniawi. Dan jika kamu memaksa mereka maka sesungguhnya Allah setelah keterpaksaan mereka itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Ayat tersebut memberikan pelajaran kepada kita bahwa Alquran berpihak kepada perempuan. Budak untuk memiliki hak kontrol atas tubuhnya dan dirinya sendiri. Oleh sebab itu, eksplotasi atas dasar apapun dan kepada siapapun perempuan itu tidak dibenarkan oleh Allah swt.
Ayat ini juga mengajarkan keberpihakan kepada calon korban, dengan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Berpihak kepada korban dengan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Sebagai ungkapan keberpihakan kita kepada para perempuan, maka marilah kita meningkatkan kepedulian kita. Meningkatkan perhatian kita dan kita juga ajak kepada masyarakat, anak-anak kita, murid-murid kita untuk berupaya membantu menghentikan memutus mata rantai penyebab kekerasan terhadap perempuan.
Apa yang bisa kita lakukan? Di antaranya adalah kita bersikap tegas kepada pelaku. Kita dukung pemerintah atau lembaga-lembaga terkait untuk bisa menegakkan hukum yang adil dan tegas.
Selanjutnya kita juga harus memiliki pola pikir berpihak kepada korban. Kita pahami mereka, kita pahami kondisi dan keadaannya. Kita sayangi dan lindungi mereka, bukan sebaliknya malah dikucilkan atau malah dilabeli negatif yang menambah penderitaan mereka. Kita juga bisa lakukan untuk memutus mata rantai penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan adalah dengan melakukan edukasi kepada generasi muda, kepada laki-laki dan perempuan. Kita ajarkan mereka nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘aalamiin. Nilai-nilai kesetaraan, keadilan, kasih sayang, dan keberpihakan kepada kebenaran.
Kita juga berikan informasi kepada mereka tentang seluk-beluk persoalan yang menimpa para perempuan. Bentuk-bentuk kekerasannya apa saja, bagaimana modus terjadinya, dan bagaimana kita menghindarinya, sehingga mereka bisa menyiapkan diri untuk tidak terjerumus ke dalam lubang kekerasan, baik sebagai pelaku maupun menjadi korban.
Kita juga ajarkan kepada mereka untuk memiiliki kepribadian yang kuat. Pribadi yang mandiri yang memiliki kewaspadaan dan kesadaran akan perlindungan terhadap dirinya sendiri. Ukhuwah tersebut dijalankan berdasarkan keberpihakan pada perwujudan kehidupan yang adil bagi perempuan, bagi laki-laki, bagi seluruh alam.