“Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizki kepadamu dan kepada mereka.” (QS. Al-An’am: 151)
Belakangan marak berita di media massa tentang perilaku kekerasan dengan korban seorang anak. Baik kekerasan fisik maupun mental-pisikis, berupa penyiksaan, pemaksaan, atau bahkan pembunuhan. Ironisnya, pelaku kekerasan biasanya orang-orang terdekat seperti saudara, teman, tetangga atau bahkan orang tua sendiri. Tak jarang para pelaku tersebut berdalih atas dasar kasih sayang terhadap anak. Orang tua misalnya, kadang tanpa sadar melakukan kekerasan yang membuat anak menderita justru karena faktor rasa memiliki yang berlebihan terhadap anak.
Beberapa waktu lalu, seorang ibu diberitakan menyiksa anak angkatnya yang berusia 6 bulan dengan cara menyundutkan rokok ke pipi sang bayi. Terakhir, kabarnya si bayi bernama Melisa itu masih dirawat di Rumah Sakit Umum (RSU) dr. Pirngadi, Medan. Diakui atau tidak, kasus ini adalah salah satu dari sekian banyak kasus penganiayaan terhadap anak. Lantas bagaimana sesungguhnya peran dan tanggung jawab orang tua terhadap anak? Bagaimana pula peran negara dalam melindungi hak-hak anak?
Hak Anak, Tanggung jawab Siapa?
Salah satu tanggung jawab negara terhadap warganya adalah memberi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasarnya. Sekalipun warga negara itu adalah anak-anak, negara harus memberi perhatian dan perlindungan sebagaimana bunyi Undang- undang (UU) Perlindungan Anak maupun Ratifikasi dari konvensi Hak Anak internasional. UU No. 7 tahun 1984 dan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah amanah bagi negara untuk mengawal perlindungan hak dasar anak. Pasal 1 ayat 1 dan 2 mengatakan, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Sedang perlindungan anak adalah, “Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Dalam pasal 21 dinyatakan, “Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.” Sementara yang dimaksud hak anak pada pasal 1 ayat 12 adalah, “Bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara.”
Pada pasal 26 berbunyi, “Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a) mengasuh, memelihara,
mendidik, dan melindungi anak; b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.” Pasal-pasal tersebut jelas mengamanatkan negara beserta orang tua untuk wajib memelihara dan mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak, siapapun mereka. Entah itu kekerasan fisik atau psikis, termasuk menikahkan mereka di usia dini, yang dapat menghilangkan hak-hak dasar mereka sebagai anak.
Islam dan Perlindungan Anak
Islam memberi perhatian yang besar terhadap kehidupan manusia, bahkan Ketika masih berbentuk janin (al-walad fi al-bathni) dalam kandungan. Islam menjamin hak-hak dasarnya yang wajib dipenuhi oleh negara dan orang tua. Secara garis besar, hak dasar anak yang harus dipenuhi negara dan orang tua adalah: Pertama, hak untuk hidup. Di masa awal, Islam melarang pelaksanaan hukuman mati baik qishash maupun had atas diri perempuan yang hamil, karena akan membunuh janinnya juga.
Diriwayatkan seorang perempuan datang kepada Nabi dan berkata, “Wahai Nabi, aku telah berbuat dosa, hukum lah aku.” Tapi lantas Nabi memanggil keluarga perempuan itu dan berpesan, “Tolong jaga dan berbaik lah kepadanya, jika sudah melahirkan datanglah lagi kemari.” Pihak keluarga memenuhi pesan Nabi, dan baru membawa perempuan itu kembali setelah melahirkan, untuk menjalani hukumannya. Lalu Nabi menshalati perempuan itu. Tapi sahabat Umar bertanya: “Ya Nabi, mengapa engkau menshalati dia, padahal dia pezina?” Nabi menjawab, “Dia telah bertaubat dengan sungguh-sungguh, yang jika dilimpahkan taubat itu untuk menutupi dosa-dosa tujuh puluh orang dari Madinah, niscaya akan mencukupi mereka semua, bukankah ia telah menyerahkan dirinya kepada Allah?” (HR. Muslim: Subulussalam, 4/11)
Kedua, hak memperoleh ASI. Air Susu Ibu (ASI) sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup bayi. Sebab dua tahun pertama bagi bayi adalah masa pertumbuhan baik secara fisik maupun kecerdasannya. Jika ibu tidak mampu memproduksi ASI, maka bisa melalui ibu susu atau susu formula Ketiga, hak mendapat pendidikan. Allah swt. menjamin orang yang berilmu untuk diangkat derajatnya, sebagaimana para sahabat Nabi dan para Imam mazhab yang sangat mengutamakan pendidikan.
Keempat, hak jaminan sosial. Ini dapat digambarkan dalam kasus seorang suami yang mencerai istrinya yang sedang hamil. Karenanya, suami wajib memberi jaminan sosial kepada mantan istri sampai melahirkan, dan hingga anaknya mampu mandiri. Bantuan finansial ini harus disediakan secara mulazamah, tidak boleh terhenti, demi kemaslahatan dan kesehatan anak. Firman Allah Swt., “Dan jika istri-istri yang sudah ditalaq itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkah hingga mereka bersalin.” (QS. At-Thalaq: 6) Demikianlah, sesungguhnya anak memiliki hak tumbuh kembang dengan cinta kasih bukan kekerasan yang berimplikasi negatif pada perkembangannya. Ini harus jadi kesadaran semua pihak, orang tua atau wali yang mengasuh, maupun pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Wallahu a’lam.
Pera Soparianti – Cirebon