Oleh: Nur Achmad, MA.
Pendahuluan
Ketidakadilan, kekerasan, dan diskriminasi terhadap perempuan masih saja marak terjadi. Salah satu faktor yang melestarikannya adalah pemahaman agama yang bias. Agama masih sering dipahami dengan mengesampingkan prinsip dasar kehadiran agama, seperti prinsip kesederajatan manusia, keadilan, musyawarah, kemaslahatan, dan pembelaan pada mereka yang dilemahkan. Padahal tanpa prinsip-prinsip dasar tersebut, agama tidak bisa melakukan perubahan kepada kondisi yang lebih baik.
Pada masa awal Islam, wahyu Allah banyak mengecam kehidupan masyarakat yang timpang, tidak adil, dan cenderung berlaku hukum rimba, yang kuat menindas yang lemah, yang kaya memeras yang miskin, dan sebagainya. Kaum perempuan kebanyakan menjadi korban ketidakadilan tersebut. Mereka dibunuh hidup-hidup sejak bayi, diperbudak, dipaksa menikah, dijadikan gundik tanpa nasib yang jelas, dipaksa melacur, tidak berhak mendapat warisan dan bahkan diwariskan secara paksa oleh keluarga suaminya yang telah meninggal, dan masih banyak lagi fenomena pahit lainnya.
Islam hadir untuk memerdekakan manusia dari segala ketertindasan (kegelapan) menuju kehidupan merdeka lahir-batin di bawah naungan cahaya (nur) Ilahi. Inilah yang dilukiskan Al Quran sebagai misi Li tukhrijan-nas minaz-zulumati ilan-nur (pembebasan manusia dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya). (QS. Ibrahim: 1). Jika Islam dan misi nabi adalah pembebasan manusia dari ketidakadilan dan diskriminasi, maka semua pemahaman dan perjuangan agama hendaknya mengarah pada penegakan keadilan dan pencegahan ketidakadilan.
Untuk dapat melakukan langkah mulia memperjuangkan keadilan sosial, dan tentunya keadilan relasi laki-laki dan perempuan, maka dibutuhkan tidak saja pemahaman agama yang benar dan selaras dengan visi rahmatan lil ‘alamin (menebarkan kasih sayang bagi semua penghuni alam raya), tetapi juga ahli-ahli agama (baca: ulama) yang berpihak pada pembelaan dan penguatan nilai keadilan dan kesetaraan, serta anti kekerasan. Ahli-ahli agama (ulama) yang banyak mendominasi wacana keagamaan adalah dari kalangan laki-laki. Banyak di antara mereka yang tidak memiliki cara pandang pembelaan dan penguatan terhadap hak-hak perempuan sehingga dalam membuat keputusan hukum atau pemahaman keagamaan bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Walaupun tidak semua ulama laki-laki demikian adanya. Artinya, ada sedikit yang masih peduli dengan melakukan pembelaan terhadap perempuan sebagaimana misi Nabi yang secara jelas menegaskan hal itu.
Pada masa awal Islam, tampak sekali peran ulama perempuan, seperti Aisyah binti Abi Bakar, Ummu Salamah binti Abi Umayyah, Hafshah binti ‘Umar, dan Asma’ binti Abi Bakar, Ramlah binti Abi Sufyan, dan Ramlah binti Qais. Mereka adalah sahabiyat Nabi dan sebagian lagi istri Nabi yang menjadi rujukan dan guru bagi para sahabat laki-laki dan juga perempuan. Menurut al-Dzahabi, lebih dari 160 ulama laki-laki terkemuka berguru kepada Aisyah istri Nabi yang mahir dalam tafsir, hadis, dan juga fikih. (Husein Muhammad, Ulama Perempuan, dalam Swara Rahima, No. 23, Desember 2007, h. 19).
Dalam bidang tasawuf, Abu ‘Abdirrahman al-Sulami (W. 412 H), mengungkap banyak sekali ulama sufi dan ahli ibadah. Menariknya, 104 di antaranya berjenis kelamin laki-lkai dan 83 di antaranya adalah berjenis kelamin perempuan, salah satunya adalah Rabi’ah al-‘Adawiyyah yang dikenal dengan konsep Mahabbah (Cinta kepada Allah). (Lihat Abu ‘Abdirrahman al-Sulami, Tabaqat al-Sufiyyah wa Dzikru al-Niswah al-Muta’abidat al-Sufiyyat, h. 387).
Namun dalam perkembangan selanjutnya, jumlah ulama perempuan semakin hilang dalam pentas sejarah. Sebagai ilustrasi perbandingan jumlah ini, Prof. Mani’ ‘Abdul Halim Mahmud menulis dalam buku Manhajul-mufassirin yang mengetengahkan kajian metodologi yang digunakan oleh 52 ahli tafsir. Sayangnya, dari 52 ahli tafsir yang diungkap dalam buku tersebut, tidak dijumpai satupun ahli tafsir (ulama tafsir) yang berjenis kelamin perempuan. Pemandangan yang sama terjadi dalam bidang kajian fikih (hukum) dan hadis Nabi yang hampir semuanya dipenuhi ulama laki-laki. Para imam (pendiri dan pemimpin) madzhab dalam hukum Islam adalah ulama laki-laki, yaitu Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Ahmad bin Hanbal (keempatnya di kalangan muslim Sunni), serta Imam Ja’far (di kalangan muslim Syi’i). Semuanya berjenis laki-laki. Belum ada imam madzhab yang perempuan.
Karenyanya dibutuhkan ulama yang berperspektif keadilan dan kesetaraan dalam relasi antara laki-laki dan perempuan. Dan seharusnya kebutuhan ini diisi oleh ulama perempuan dalam jumlah yang tidak terlalu jauh beda dengan jumlah ulama laki-laki.
Mengapa Ulama Perempuan?
Tentu ini tidak berarti bahwa ulama laki-laki tidak dibutuhkan lagi. Keduanya sangat dibutuhkan dan diharapkan dapat saling bekerjasama bahu-membahu dalam penguatan hak-hak manusia dan khususnya hak perempuan yang sering terlupakan dan terpinggirkan. Kehadiran ulama perempuan dinilai penting dan mendesak guna meluruskan pemahaman atau tradisi yang tidak menghargai perempuan. Ada satu kejadian. Abu Hurairah meriwayatkan secara tidak lengkap hadis yang menurutnya dari Nabi SAW.: “Kesialan itu karena rumah, perempuan, dan kuda.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmizi dari Abi Hurairah). Ketika riwayat ini terdengar oleh Aisyah RA. Ia langsung menolaknya dan menyatakan bahwa Abu Hurairah tidak lengkap mendengar hadis tersebut dari Nabi karena datang ke majelis Nabi terlambat. Selengkapnya, Nabi bersabda bahwa penduduk Jahiliyah dan kaum Yahudi lah yang berpandangan negatif demikian terhadap perempuan. Jadi bukan pernyataan Nabi sendiri. (Lihat Salahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqdil-Matan ‘inda Ulama al-Hadis al-Nabawi (Metode Kritik Matan di kalangan Ulama Hadis Nabawi), 1983, h. 122-123). Aisyah RA. Menyikapi secara kritis riwayat Abu Hurairah karena kecermatan dan kehebatan beliau dalam mengingat sesuatu serta memiliki sensitivitas terhadap masalah perempuan. Seandainya riwayat tersebut ditelan mentah-mentah, tidak ditolak oleh Aisyah, maka akan menimbulkan pandangan yang keliru terhadap perempuan bahwa perempuan merupakan sumber kesialan. Di sinilah letak pentingnya ulama perempuan.
Kelangkaan ulama perempuan terjadi di seluruh dunia muslim, tak terkecuali di Indonesia. Di jajaran ulama yang diakui dalam organisasi-organisasi Islam yang mainstream (Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan juga Majelis Ulama Indonesia), eksistensi dan peran ulama perempuan dapat dikatakan sangat sedikit, untuk tidak dikatakan tidak ada. Jika ada, peran mereka tidaklah signifikan sebagaimana ulama laki-laki. Karenanya, bisa dipahami jika muncul fatwa-fatwa keagamaan yang tidak memiliki sensitivitas terhadap masalah perempuan atau tidak memberi dukungan atas hak-hak perempuan yang sering terabaikan. Pandangan keagamaan tentang hamil, KB, aborsi, kerja di ranah publik dan sebagainya tidak menekankan pada perlindungan hak-hak perempuan. Ini terjadi karena para ulama kurang sensitif terhadap hak-hak perempuan.
Salah satu contoh riil, sekitar Bulan November 2006, penulis pernah berdialog dengan seorang ustadz di suatu desa di kawasan Pegunungan Halimun Bogor. Dalam dialog tersebut, penulis bertanya tentang hukumnya Keluarga Berencana. Sang Ustadz yang sering berceramah di masjid-masjid di desanya ini menjawab bahwa hukum KB haram (terlarang, dosa jika dikerjakan), setidaknya makruh (tidak disukai, berpahala jika ditinggalkan). Pendapat tersebut muncul didasari oleh pemahaman tekstual terhadap dalil-dalil agama, tanpa menangkap pesan moral yang ada dan tanpa melihat kondisi riil suatu masyarakat (sosial-ekonomi) atau kondisi fisik dan psikis yang dialami perempuan yang merasakan langsung hamil, melahirkan, dan menyusui. Contoh-contoh lain dapat dilihat dalam pandangan keagamaan yang dihasilkan oleh ulama laki-laki yang tidak sensitif ini dalam menetapkan hak dan kewajiban perempuan di rumah tangga atau perempuan di ranah publik. Hampir dapat disimpulkan bahwa pandangan ulama model ini sangat membatasi hak-hak dan aktivitas perempuan, misalnya perempuan sebaiknya di rumah saja, perempuan harus ditutup rapat jika keluar rumah, perempuan harus mau diperintah oleh suaminya tanpa menolaknya, perempuan dapat dipaksa menikah, dan sebagainya. Ini semua muncul akibat ulama (laki-laki dan juga perempuan) tidak peka terhadap prinsip kesederajatan manusia di hadapan Tuhan atau memahami teks-teks agama secara tekstual dan parsial.
Atas dasar inilah, Yayasan Rahima yang lahir pada bulan Agustus 2000 di Jakarta bertekad melakukan kajian-kajian untuk penguatan hak-hak perempuan dalam perspektif Islam. Banyak kegiatan dilakukan, di samping sejumlah media juga digunakan. Salah satunya adalah dengan melakukan Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP) secara formal di tahun 2005-2006. Dan kegiatan tersebut diadakan kembali untuk angkatan kedua pada tahun 2008-2009. Melalui kegiatan PUP, Rahima berharap semakin banyak kader ulama perempuan yang mampu menguasai ilmu-ilmu agama dengan perspektif keadilan dan sekaligus mampu menganalisis problem sosial yang dihadapi perempuan di komunitasnya serta mampu melakukan advokasi untuk mendukung terpenuhinya hak-hak perempuan.
Upaya Penguatan Pengkaderan Ulama Perempuan
Dalam PUP, para kader ulama perempuan yang berusia antara 20-45 tahun yang direkrut melalui sejumlah proses seleksi tersebut tersebar di kawasan Jawa Barat, Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah. Pada PUP angkatan pertama, dari Jawa Barat terdapat 15 peserta dan Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah terdapat 15 kader. Sedangkan untuk PUP Angkatan Kedua semuanya berasal dari kawasan Jawa Barat yakni Cirebon, Bandung, Kuningan, Majalengka, Tasikmalaya, Garut, Cianjur, Sukabumi dan Depok. Semuanya berjumlah 25 orang.
Mereka dilatih dalam serangkain proses kelas-lapangan-kelas. Sedikitnya disediakan 5 pertemuan berseri dengan jarak sekitar 2-3 bulan per pertemuan. Di waktu jeda 2-3 bulan tersebut, peserta diberikan tugas lapangan dengan melakukan pengamatan dan analisis terhadap realitas social yang terjadi di komunitas masing-masing. Ini untuk mengasah ketajaman peserta dalam melihat realitas perempuan di tengah masyarakat dengan metodologi analisis social yang telah diberikan di pertemuan sebelumnya. Hasil pengamatannya dipresentasikan dalam pertemuan selanjutnya yang sudah terjadualkan.
Adapun materi-materi yang dikaji bersama dalam 5 seri pertemuan tersebut adalah: (1). Penguatan Perspektif Kesetaraan Relasi Perempuan dan Laki-laki; (2). Penguatan wawasan tentang Perubahan Sosial; (3). Penguatan Analisis Sosial yang berusaha menguatkan keterampilan analisis sosial dan kajian kritis isu globalisasi; (4). Metodologi Kajian Islam yang Berperspektif Keadilan dan Kajian Tematik Masalah-masalah Relasi Perempuan dan Laki-laki; dan (5). Pengorganisasian Komunitas dan Dakwah Transformatif yang menguatkan peserta dalam hal pendampingan komunitas.
Selain itu para peserta juga didorong untuk berlatih menuangkan gagasan yang diperoleh selama mengikuti PUP ke dalam tulisan-tulisan, baik popular dalam Majalash Swara Rahima maupun yang agak serius dalam Suplemen Swara Rahima. Sejumlah alumni PUP telah membuktikan dirinya mampu menulis dengan baik di media-media yang difasilitasi oleh Rahima. Beberapa di antaranya tulisan alumni PUP: Nyai Hj. Afwah Mumtazah dan Ustadzah Yulianti Muthmainnah berjudul Menimbang Kehamilan Tak Diinginkan Perspektif Islam dan Hukum Positif (Rahima: April 2007); Nur Qomariyah berjudul Kawin Kontrak, Dilarang tapi Marak (Rahima: Agustus 2007); Ustadzah Pera Sopariyanti menulis Menilai Kawin Paksa, Perspektif Fikih dan Perlindungan Anak (Rahima: Desember 2008); Ustadzah Lia Aliyah menulis Kesaksian Perempuan, Benarkah Separuh laki-laki (Rahima: Juli 2008). Selain itu, Nyai Hj. Afwah Mumtazah dan Nyai Hj. Luluk Farida telah menjadi kontributor naskah buku Umat Bertanya, Ulama Menjawab (Rahima, April 2008).
Ulama Perempuan Pendamping Masyarakat
Selain mengkader Ulama Perempuan yang aktivis dan bisa menulis, Rahima juga menguatkan peran peserta dalam pendampingan masyarakat. Salah satunya adalah Nyai Hj. Raihanah Faqih (Pengurus Muslimat Kabupaten Kediri Jawa Timur dan Pengasuh Pesantren) yang terus berceramah keliling untuk sosialisasi kesetaraan relasi laki-laki dan perempuan perspektif Islam di berbagai forum. Nyai Hj. Afwah Mumtazah (Pengasuh Pesantren Kempek Buntet Cirebon) yang melakukan pengembangan kurikulum pesantren sehingga lebih sensitive pada hak-hak perempuan, juga telah membuka akses santri-santri (siswi pesantren) untuk mempelajari kitab-kitab tertentu yang selama ini tidak boleh dibaca santri perempuan. Selain itu Nyai Ruqayyah Ma’shum (Bondowoso), Nyai Luluk Farida (Jombang), dan masih banyak alumni lainnya yang menjadi kader sosialisasi dan pembelaan hak-hak perempuan di masyarakatnya, misalnya melakukan pembelaan perempuan korban kekerasan, menjelaskan tentang praktik perdagangan perempuan (trafficking) ke luar negeri , dan konsultasi keluarga sakinah perspektif kesetaraan/keadilan. Begitupula yang dilakukan oleh Najmatul Millah (Jember) yang melakukan sosialisasi kesetaraan di lingkungan pesantren keluarganya dan bahkan memasukkan ke dalam kurikulum di sekolah formal yang dipimpinnya. Luar biasa, kader-kader ini walaupun berusia muda, bahkan telah berkeluarga dan memiliki anak-anak yang masih kecil, namun memiliki semangat yang hebat dalam membela hak-hak perempuan di komunitasnya.
Hal-hal di atas merupakan sekelumit kisah yang dijalani oleh para alumni PUP di sejumlah daerah dan komunitas (pesantren, madrasah, majelis taklim, dan juga masyarakat umum). Rahima senantiasa berharap para alumni PUP yang telah belajar bersama dalam 5 seri pelatihan tersebut dapat mengembangkannya lebih lanjut di komunitas masing-masing.
Selanjutnya, berdasarkan kisah-kisah menarik tersebut, banyak pihak menyarankan kepada Rahima untuk mengembangkan Program PUP ini. Pada Tahun 2008 dibukalah pendaftaran PUP Angkatan kedua untuk kawasan Jawa Barat. Di bulan Desember 2008, sebanyak 30 an calon peserta diseleksi untuk dapat mengikuti PUP angkatan kedua, selain peserta khusus tanpa tes yang direkomendir oleh tim penguji. Terkumpullah sekitar 25 peserta yang kemudian menjadi peserta PUP angkatan kedua.
Sedikit yang membedakan PUP I dengan PUP II adalah penekanannya pada penguasaan dan pembahasan kitab-kitab keislaman (Fikih, Tafsir, dan Hadis). Dalam PUP II ini, peserta dilatih secara khusus keterampilan melakukan Bahsul Masail (Kajian Pembahasan Masalah-masalah) keislaman terkait isu-isu perempuan. Bahsul Masail ini diadaptasi dari pengalaman organisasi keislaman mainstream, Nahdhatul Ulama. Dengan mendalami Metodologi Bahsul Masail ini,peserta diharapkan tidak “gagap” ketika berdiskusi dan merumuskan jawaban atas masalah-masalah yang dialami perempuan di tanah air dengan perspektif kesetaraan dan Islam. Kurikulum selain ini, masih merupakan pengembangan dari kurikulum PUP angkatan pertama. Kegiatan PUP angkatan kedua ini masih berlangsung di jelang pertemuan keempat yang membahas Agama dan Perubahan Sosial di Cirebon akhir akhir Juli 2009 ini.
Kontribusi Kajian-kajian dalam Forum G-Help dan Refleksi Pembelajaran yang Didapat
Rahima menyadari bahwa forum G-Help (Gender Health Environmental Linkanges Programme) pada pertengahan Tahun 2007 telah ikut memperkaya staf-staf Rahim yang terliabt aktif di dalamnya. Salah satunya adalah penguatan jaringan dengan lembaga-lembaga yang memiliki misi dan gerak di isu gender, kesehatan dan lingkunga. Selama ini, sebagian masih menganggap bahwa ketiga tema tersebut kaitannya agak berjauhan. Namun setelah mengkaji secara mendalam di forum G-Help, didapatkan kesimpulan bahwa hubungan ketiga isu tersebut sangatlah dekat. Pemahaman gender yang keliru akan berdampak pada tingkat kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi. Kesehatan yang baik juga sulit diwujudkan dalam kondisi lingkungan yang tidak baik dan tidak sehat.
Berdasarkan pengalaman penulis ketika melakukan Studi Halimun, khususnya di Kampung Nyungcung, Desa Malasari tampak bahwa ketiga isu tersebut saling terkait. Karena lingkungan yang kurang baik dan sehat, ditambah pemahaman keagamaan yang tidak sensitive gender, maka kesehatan masyarakat, khususnya bayi, anak-anak, dan perempuan menjadi menurun. Pembangunan desa menjadi terhambat. Akses layanan pendidikan formal, yakni Sekolah Dasar dan Menengah, dan akses layanan kesehatan (Puskesmas dan Klinik) dan tenaga medis (Bidan atau dokter) sulit dijangkau karena jarak yang sangat jauh, medan yang sulit, dan SDM (Sumber Daya Manusia) yang terbatas. Hal-hal tersebut menghambat perkembangan masyarakat di kawasan Kampung Nyungcung Bogor. Pendidikan dan kesehatan masyarakat menjadi tertinggal. Mayoritas anak-anak hanya bersekolah dasar (SD). Sedangkan anak perempuan lebih banyak yang tidak lulus SD dan menjalani nikah dini, cerai dini, dan kemudian banyak yang terlantar secara ekonomi dan sosial. Kondisi ini menjadi bahan diskusi internal di Rahima dan penulis semakin terdorong untuk memasukkan Materi Kesehatan Reproduksi dalam kegiatan PUP angkatan kedua dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Selain itu, diskusi-diskusi pemetaan masalah dalam Studi Halimun sangat membantu penulis dalam melihat secara mendalam suatu masalah yang terjadi di masyarakat. Dari pendalaman atas suatu masalah dapat dirumuskan program yang jelas dan diharapkan berjalan efektif karena didasarkan pada analisis masalah yang mendalam. Ini tentu sangat berguna, khususnya bagi peserta Studi Halimun.
Hambatan-hambatan yang Ditemukan dan Solusinya
Masalah ketimpangan gender bukanlah masalah sederhana. Ia banyak berkait dan terkait dengan masalah-masalah lainnya. Budaya yang cenderung patriarki, kehidupan ekonomi yang rendah atau pas-pasan, paham agama yang tidak ramah perempuan turut menjadi faktor penghambat tercapainya kehidupan yang adil dan sehat. Hal-hal demikian tidak jarang ditemukan dalam suatu masyarakat dampingan Rahima. Hambatan-hambatan tersebut seringkali diperberat dengan minimnya SDM yang menguasai disiplin kajian keislaman dan sekaligus memahami masalah-masalah sosial seperti wacana gender, HAM, kesehatan reproduksi, dan sebagainya.
Melihat model masyarakat Indonesia yang masih cenderung paternalistik dan mengikuti pendapat-pendapat dari tokoh-tokoh informal, seperti tokoh agama atau ulama, maka Rahima berupaya memperkuat kapasitas dan menambah ketersediaan ulama perempuan yang menguasai ilmu-ilmu agama dengan baik sekaligus mampu menjadi kader perubahan masyarakat menuju kehidupan yang lebih adil antara laki-laki dan perempuan serta lebih memperhatikan hak dan kesehatan reproduksi. Ini adalah proses panjang yang tidak bisa dilakukan secara sambilan dan dengan hanya menunggu berubahnya nasib. Diperlukan sejumlah langkah untuk mengatasinya. Di antaranya adalah apa yang telah dilakukan oleh Rahima sebagai berikut.
Selain kegiatan Pengkaderan Ulama Perempuan yang telah diungkapkan di atas, Rahima dengan segenap kelebihan dan kekurangannya juga telah berupaya maksimal untuk mendampingi mitra-mitranya dalam memperjuangkan nilai-nilai keadilan yang dapat dirasakan oleh perempuan, anak-anak, dan juga tanpa mengabaikan hak-hak laki-laki. Rahima telah melakukan sejumlah kegiatan seperti workshop untuk Tokoh-tokoh Islam di level lokal (di kawasan Garut-Tasikmalaya-Cianjur Tahun 2008, kawasan Serang-Pandegelang-Tangerang Tahun 2008, kawasan Sumenep-Pamekasan-Sampang (2008-2009), dan kawasan Jombang-Lamonga-Kediri Tahun 2009); Penguatan Guru-guru Agama Islam di sekolah negeri di Jember Tahun 2006-2007 dan di Bondowoso Tahun 2008-2009, Penguatan aktivis mahasiswa dari organissasi kemahasiswaan berbasis Islam (HMI-IMM-PMII di Jakarta-Bogor-Depok) tahun 2006-2007, dan sebagainya.
Rahima juga terus menyebarkan media-media cetak, baik majalah Swara Rahima berbagai tema yang kini telah sampai di edisi 27 (April 2009) berikut Suplemen atau buku sakunya; buku-buku seputar kajian Islam dan hak-hak perempuan seperti: buku Begerak Membela Keadilan, Pembelaan Nabi terhadap Perempuan karya Ustadz Faqihuddin Abdulkodir, MA. (Rahima: 2006); Buku Pendidikan Agama Islam untuk SMA/SMK bekerjasama dengan Pesantren Nurul Islam Jember (Rahima: 2007 dan 2009); Umat Bertanya Ulama Menjawab (Rahima: 2008); Keluarga Sakinah Kesetaraan Relasi Suami Istri (Rahima: 2008); dan buku kumpulan cerpen di Swara Rahima berjudul Perawan (Rahima: 2009) serta kumpulan tulisan tafsir tematik tentang hak-hak perempuan dalam Al Quran di Majalah Swara Rahima oleh KH. Husein Muhammad (Rahima: 2009). Selain itu Rahima juga menerbitkan lembaran-lembaran (bulletin) Jumat yang terbit bulanan. Tambahan lagi, terbitan-terbitan Rahima, yang sebagiannya sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, dapat juga diakses melalui website: www.rahima.or.id.
Tidak puas dengan satu pendekatan kajian yang bersifat ilmiah, Rahima juga menggunakan pendekatan kebudayaan, yakni menggunakan media Shalawat Kesetaraan untuk menyebarkan pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Allah dalam keadaan mulia dan sederajat. Kedua jenis kelamin tersebut tercipta untuk bekerjasama membangun kehidupan yang adil dan ramah. Demikian inti pesan dalam senandung Shalawat Kesetaraan versi Rahima. Shalawat ini disosialisasikan di komunitas pesantren, majelis taklim, sekolah, dan sebagainya. Pernah juga diselenggarakan Festival Shalawat Kesetaraan di Jember (2005 dan 2007), di Garut 2007, dan ke depan gerakan kebudayaan ini masih terus akan dilakukan Rahima.
Penutup
Rahima telah berijtihad untuk menguatkan hak-hak perempuan dan berupaya membangun kehidupan yang adil dan ramah bagi laki-laki dan perempuan melalui berbagai langkah dan media. Apa yang telah dan akan terus dilakukan bersama kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki visi pemberdayaan perempuan ini diharapkan dapat bersama mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik, lebih adil, lebih menghargai kemajemukan yang ada, dan tentunya lebih menjunjung tinggi nilai moral agama yang pada dasarnya menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Semoga. [na]
***
Daftar Pustaka
Abu ‘Abdirrahman al-Sulami, Tabaqat al-Sufiyyah wa Dzkrun-Niswah al-Muta’abbidat al-Sufiyyat, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003.
- Eridani dan AD. Kusumaningtyas (Ed.), Keluarga Sakinah Kesetaraan Relasi Suami Istri (Rahima: 2008)
Afwah Mumtazah, Nyai Hj. dan Yulianti Muthmainnah, Menimbang Kehamilan Tak Diinginkan Perspektif Islam dan Hukum Positif (Rahima: April 2007)
Faqihuddin Abdulkodir, MA., Bergerak Membela Keadilan, Pembelaan Nabi terhadap Perempuan (Rahima: 2006)
Husein Muhammad, Ulama Perempuan, Rubrik Tafsir dalam Swara Rahima, No. 23, Desember 2007.
Lia Aliyah el-Himmah, Kesaksian Perempuan, Benarkah Separuh laki-laki (Rahima: Juli 2008).
Mani’ ‘Abdul Halim Mahmud, Manhajul-Mufassirin (Metode Tafsir), Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2003.
Nur Achmad dan Lely Nurohmah (ed.), Umat Bertanya Ulama Menjawab Seputar Karir, Pernikahan, dan Keluarga (Rahima: 2008)
Nur Qomariyah dan Nur Achmad, Kawin Kontrak, Dilarang tapi Marak (Rahima: Agustus 2007)
Salahuddin bin Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqdil-Matan ‘inda ‘Ulama al-Hadis al-Nabawi (Metode Kritik Matan Hadis di Kalangan Ulama Hadis), Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983.
Suparman dkk. Pendidikan Agama Islam untuk SMA/SMK bekerjasama dengan Pesantren Nurul Islam Jember (Rahima: 2007 dan 2009)
Pera Sopariyanti Menilai Kawin Paksa, Perspektif Fikih dan Perlindungan Anak (Rahima: Desember 2008).
Biodata Singkat:
Nur Achmad, MA. adalah (mantan) Koordinator Program Yayasan (Perhimpunan) Rahima dan Dosen Kajian Islam di STIE Ahmad Dahlan Jakarta (Kini ITB Ahmad Dahlan Jakarta) serta peserta Studi Halimun G-Gelp MKFF-Puslitkes Universitas Indonesia. Penulis menyelesaikan studi S-1 dan S-2 di UIN Jakarta.