Oleh: KH. Imam Nakha’i
Mungkin sebagian penafsir akan bertanya, mengapa Allah mengurusi Perempuan yang sedang menyusui, nafkah khusus saat menyusui dan saat menyapihnya? Bukankah menyusui itu hal kecil, yang tidak perlu ada di dalam Alquran yg agung dan suci itu?
Mungkin saja pertayaan itu lahir dari laki laki seperti saya yg tidak pernah mengalami bagaimana perempuan menyusui.
Sekalipun kita laki-laki membahasakan bagaimana beratnya perempuan menyusui dengan bahasa sehebat apapun, tetap saja kita tidak mengalaminya.
Namun, tidak bagi Allah. Pastilah Allah mengetahui bagaimana beratnya beban perempuan ketika menyusui. Sebab itulah Allah mengapresiasi dan mengabadikannya dalam Alquran.
Bagi Allah perempuan yang menyusui berhak untuk mendaptkan “rizqi dan busana” tambahan yang layak selain “nafkah” sehari hari lainnya. Allah berfirman:
وَٱلۡوَ ٰلِدَ ٰتُ یُرۡضِعۡنَ أَوۡلَـٰدَهُنَّ حَوۡلَیۡنِ كَامِلَیۡنِۖ لِمَنۡ أَرَادَ أَن یُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَۚ وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
Perempuan yang memiliki putra putri wajib menyusuinya dua tahun sempurna, bagi yg ingin menyempurnakan susuan. Bagi ayah wajib memberikan “rizqi dan busana” dengan kelayakan.
Rizqi dan busana di sini berbeda dengan “nafqah” yang harus diberikan sekalipun tidak dalam kondisi menyusui. Banyak Suami tidak menyadari bahwa ia diwajibkan oleh Allah untuk memberi rizqi dan busana tambahan saat istri sedang menyusui. Mungkin membaca ayat ini, lewat begitu saja. Sebab umumnya laki-laki, jika tidak seluruhnya, tidak mengalami proses menyusui sebagaimana perempuan. Berbeda ketika membaca ayat poligami, pasti ia merenungkannya sekalipun sejenak.
Sebab itu, memahami, menafsirkan dan merasakan makna Alquran, wajib mendengarkan “suara dan pengalaman perempuan”. Sebab “makna menyusui” sebagaimana disebut Alquran itu berada di dalam pengalaman perempuan.
Bahkan Alquran, juga menegaskan bahwa keputusan apakah ingin “menyapih” atau tidak haruslah didasarkan atas “kehendak”, bukan sembarang kehendak, tapi kehendak yang berangkat dari “kerelaan hati” dan pertimbangan musyawarah.
Kehendak saja tidak cukup, tapi kehendak yang “an taradhin wa tasyawurin”. Allah berfirman:
فَإِنۡ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضࣲ مِّنۡهُمَا وَتَشَاوُرࣲ فَلَا جُنَاحَ عَلَیۡهِمَاۗ
“Jika keduanya (suami istri) berkehendak atas dasar kerelan dan musyawarah maka tiada dosa/beban bagi keduanya.”
Menarik membaca ayat ini, mengapa urusan menyapih aja kok perlu didasarkan atas kehendak yg kehendak itu didasarkan pada saling rela hati dan permusyawaratan? Kayak bahas Undang undang aja? Wong undang undang aja ada yang tiba tiba diputuskan tanpa musyawarah.
Lagi-lagi ini mungkin pertanyaan laki laki. Namun jika mendengar suara dan pengalaman perempuan bisa jadi menyusui dan menyapih adalah soal kehidupan. Kehidupan perempuan.
Mengapa kehendak harus didasarkan pada “taradhin” dan “tasyawur”? Sangat mungkin, karena bisa jadi salah satu suami istri berkehendak tetapi kehendak itu lahir dari tekanan keadaan dan keterpaksaan, apalagi kehendak istri yang umumnya didasarkan pada kehendak suami.
Jadi, pesan Alquran sangat luar biasa, yaitu bahwa persoalan kerumahtanggaan harusnya diputuskan atas dasar kehendak yang didasarkan pada “saling rela” dan “saling musyawarah”.
Pengalaman perempuan juga penting menjadi konteks pemaknaan ayat, karena Allah sendiri mendengar suara perempuan dan mengapresiasi pengalaman perempuan.
Wallahu A’lam
Situbondo 030920