Oleh: Imam Nakha’i

Tulisan ini tidak dalam konteks merespon kasus Rangga, bocah cilik dari Aceh Timur yang meninggal dunia akibat berusaha melindungi Ibunya dari lelaki jahat dan brutal yang ingin memperkosa ibunya. Karena saya yakin, Rangga saat ini sedang digendong para malaikat menuju surganya, dan kelak akan menjemput dan menuntun ibunya menuju keharibaan Allah. Selamat jalan Rangga, kasih Allah bersamamu dan keluargamu.

 

 Tulisan ini terinspirasi ketika belajar  tentang hirarkisitas “maqhashidus Syari’ah”. Dalam teori maqhashidus syari’ah dijelaskan, bahwa ada 6 kebutuhan primer-elementer untuk mewujudkan kemaslahatan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat nanti. Kebutuhan primer-elementer dalam istilah usul fiqih disebut dengan “ad-dharuriyatu as-sittah”, yaitu perlindungan terhadap (1) agama, (2) jiwa, (3) Nasl-reproduksi, (4) Aqal, (5) Kehormatan, dan (6) harta benda. 

Sebagian ulama menyatakan 6 kebutuhan primer ini bersifat hirarkis, setidaknya urutan yang pertama dan kedua. Sedang urutan selanjutnya ulama-berbeda-beda. Konsekuensi dari hirarkisitas ini, maka jika terjadi kontradiksi antara perlindungan terhadap agama dan perlindungan terhadap jiwa maka harus dikedepankan perlindungan terhadap agama. Demikian pula ketika terjadi kontradiktif antara perlindungan terhadap jiwa dan perlindungan terhadap an-Nasl, maka harus dikedepankan perlindungan terhadap jiwa dengan mengorbankan perlindungan terhadap an-Nasl.

Berdasar teori ini, muncul pertayaan “bagaimana jika ada seorang perempuan tidak menemukan makanan untuk melindungi hidupnya, kecuali dari seorang yang akan memberinya makan dengan syarat “zina dulu”? Atau bagaimana jika seorang ibu hanya mendapatkan susu untuk untuk anak-anaknya dari seorang yang memberikan syarat “zina dulu”? Apakah perempuan itu boleh melindungi hidupnya dan atau hidup anaknya dengan mengorbankan kehormatannya (an-nasl/al’ird)?

Menjawab pertayaan ini ulama terbelah menjadi dua pendapat. pendapat pertama mengatakan tidak boleh, ia tetap tidak boleh berzina sekalipun menyebabkan kematiannya dan kematian anaknya. pendapat ini tentu berseberangan dengan teori hirarkisitas maqhashid di atas. 

Pendapat kedua mengatakan Boleh. Perempuan boleh melakukan zina untuk melindungi hidupnya dan juga hidup anak-anaknya. Pendapat ini didukung oleh madzhab Malikiyah. Dalam kitab asy-syarhu al Kabir dikatakan: 

artinya: ….sama dengan perempuan yang tidak menemukan makanan yang berfungsi untuk melindungi nafas terakhirnya, kecuali dari orang yang mau berzina dengannya, maka boleh bagi perempuan itu berzina untuk kepentingan itu, termasuk di dalamnya untuk melindungi nafas terakhir anak-anaknya. 

Mengomentari kitab ini, ad-Dasuki menyatakan:

artinya, yang dimaksud boleh berzina, semata untuk melindungi nafas terahirnya……apa bila seorang perempuan menemukan seorang yang akan berzina serta mengeyangkannya, dan orang yang akan berzina  namun hanya hanya melindungi nafas penghabisannya, maka ia boleh berzina dengan orang yang mengeyangkannya sekalipun harus berzina berkali-kali.

 

Membaca teks-teks ini, ada perasaan miris dalam hati. Benarkah ada seorang lelaki yang tega seperti itu? Ia mau memberi makan atau susu untuk melindungi nyawa seorang perempuan dan anak  dengan memberi syarat yang seperti itu?

 

Namun apapun adanya, Jika itu terjadi, maka mulialah seorang perempuan dan seorang ibu yang mengorbankan kehormatannya demi jiwa dan anak-anaknya. Dan alangkah tidak terhormatnya seorang lelaki yang memanfaatkan kesulitan seorang sebagai jalan meraih keuntungan yang sangat tidak terhormat.

 

Situbondo 20/10/20

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here