KH Hussein Muhammad

Pemimpin didefinisikan sebagai orang yang  diikuti ucapan dan tindakannya,  baik maupun yang buruk. Kaum muslimin menyebutkannya : Imam atau sebuatan lain yang semakna. Al Qur-an menyatakan : “Dan Kami telah menjadikan diantara mereka imam-imam (pemimpin-pemimpin) yang memberi petunjuk dengan perintah Kami”.(Q.S. Al Anbiya, 73). Pada ayat lain disebutkan : “….dan Kami jadikan mereka imam-imam  yang menyeru manusia  ke neraka”. (Q.S. Al Qashash, 41). Dalam wacana Islam, para ulama membagi kepemimpinan dalam dua katagori:  Kepemimpinan besar  (al Imamah al Uzhma ) dan  kepemimpinan kecil ( al Imamah al Shughra). Al Imamah al Uzmah dimaksudkan sebagai kepala negara atau kepala pemerintah, baik dalam bentuk khilafah maupun wilayah al Buldan (kekuasaan atas negeri-negeri ; mulk/ kerajaan, imarah/keamiran, kesulitan  dll). Sedangkan al Imamah al Shughra adalah kepemimpinan dalam shalat. Tulisan ini hanya akan bicara soal yang pertama (al Imamah al Uzhma).

Entah sudah berapa banyak tulisan, perdebatan, diskusi dan seminar yang membincangkan soal pemimpin perempuan di hampir seluruh dunia Islam. Hasilnya tetap saja  : kontroversial ! Hal ini wajar saja, sebab yang dibincangkan  memang bukan soal prinsip dan bukan pula masalah yang setiap orang, dimana dan kapan saja, menginginkannya. Seperti keadilan, misalnya. Tegasnya, kepemimpinan perempuan adalah masalah parsial. Penetapannya sebagai masalah parsial, dapat dinilai dari sejumlah latar belakang dan argumen. Ia masuk dalam ruang dialektika dan ruang sejarah. Bahkan ketika realitas sudah memperlihatkan wujud pemimpin perempuan, orang masih bisa bicara : itu kan darurat atau keterpaksaan. Dan dalam keterpaksaan, orang boleh melakukan sesuatu yang sebenarnya diharamkan. Karena kepemimpinan perempuan adalah pilihan konstitusional dan demokratis, maka orang juga bisa mengatakan  : itu kan politis, pilihan politik. Lalu, siapa sesungguhnya mengharamkan pemimpin perempuan ?.  Adakah pernyataan otorititatif yang harus diikuti semua orang dan secara tegas dan lugas mengharamkannya ?. Orang lalu menunjuk  : Agama atau katakanlah, Tuhan (sebagian orang muslim tidak suka menyebut “Tuhan”, tetapi Allah), dan Nabi .

Dari seluruh ayat-ayat  Al Qur-an, tidak ada satupun yang bicara secara lugas, eksplisit dan “nash”,  bahwa hanya laki-laki yang boleh menjadi  pemimpin besar itu.  Al Qur-an justru menceritakan kisah seorang pemimpin perempuan dari sebuah negara Saba (Sheba) yang sukses membawa bangsanya dalam kehidupan yang makmur. Kebesaran singgasana Sang Ratu diceritakan oleh seekor burung Hud-Hud., Katanya : “Sungguh, aku menjumpai seorang perempuan yang memerintah mereka  dan dia dianugerahi segala-galanya dan singgasana yang besar”. (Q.S. al Naml, 23).

Ini adalah kisah yang diungkapkan al Qur-an,  sebuah kitab  suci yang tidak dapat diragukan kebenarannya. Yang aneh dari kisah ini adalah bahwa sang ratu, ketika itu, justru seorang penyembah matahari. Akan tetapi ia juga punya sikap aneh, diluar mainstream kepemimpinan /kekuasaan mainstream, ketika ia mengatakan : “Hai para pembesar kerajaan, beri aku masukan dalam soal ini. Aku tidak pernah memutuskan sesuatu sebelum kalian berada dalam majlisku (untuk bermusyawarah)”. Sikap itu memperlihatkan sebuah kekuasaan yang dibangun dengan cara-cara demokratis. Ini bertolak belakang dengan sikap Bauran bin Syiruyah ibn Kisra, sang Ratu Persia, yang arogan, otokratik  dan sentralistik. Sikap pemimpin perempuan  inilah yang oleh Nabi Muhammad Saw dikritik secara tajam sebagai kekuasaan yang tidak akan bisa mensejahterakan rakyatnya : “lan yufliha qaumun wallau amrahum imra-ah”.

Banyak ulama yang kemudian menunjuk ayat 34  surah al Nisa sebagai argumen superioritas laki-laki  : “Laki-laki adalah “qawwamun” atas kaum perempuan, karena Allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain  (perempuan),  dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.

Ada empat riwayat yang disebutkan  al- Suyuthi dalam bukunya “Lubab al Nuqul fi Asbab al Nuzul”, tentang sebab turunnya ayat ini. Pertama dari Ibnu Abi Hatim dari al Hasan, kedua dari Ibnu Jarir dari al Hasan, ketiga dari Ibnu Juraijdan al Siddi juga dari Hasan, keempat dari Ibnu Marduyah (Mardawaih) dari Ali. Seluruhnya mengisahkan kasus seorang perempuan yang ditampar suaminya. Dia mengadukan perlakuan sang suami kepada Nabi saw.  Beliau lalu memutuskan agar dia membalasnya secara setimpal (qishah). Zamakhsyari  menyebut nama perempuan itu  : Habibah bin Zaid, Katanya  kemudian  : “Sesudah ayat ini turun Nabi saw mengatakan : “Kita menginginkan sesuatu tetapi Allah menginginkan yang lain”.

Ada yang menarik dari ayat ini, terutama mengenai pengguna kata “qawwamun”. Sejumlah ahli tafsir memberikan makna yang bermacam-macam ; pemimpin, penjaga, pelindung, pendidik, penanggung jawab dan sebagainya. Tetapi mereka sepakat laki-laki sebagai pemimpin atau kepala rumah tangga. Ini karena kelebihannya atas perempuan, dan kelebihan itu diberikan Tuhan. Ia adalah akal/ nalar dan fisik. Al Razi dalam Tafsir  al Kabir menyebutkan kelebihan itu sebagai “hakiki”. Ibnu al Arabi dalam “Ahkam al Qur-an”, mengatakan : “Itu nash (ketentuan) Allah”. Ibnu Katsir dalam “Tafsir al Qur-an al ‘Azhim: “fi nasihi” (instrinsik). Ibnu ‘ Asysur dalam  “ al Tahrir wa al Tanwin” menyebutkan  “al mazaya al jibilliyyah” (kelebihan instinktif). Al Thabathaba’I dalam “al Mizan “ menyebutkan  : “thabib“ (alamiyah), Al Hijazi dalam  “al Wadhih” mengatakan  :”fitrah”. Tiga yang  disebut terakhir termasuk penafsiran  kontemporer.

Dari yang pendapat yang dikeluarkan ahli tafsir klasik, jelas bagi mereka kelebihan laki-laki itu merupakan sesuatu yang tidak bisa diubah. Berbeda dengan mereka, Rasyid Ridha dalam “al Manar” mengatakan bahwa kepemimpinan dan tugas pemberi nafkah termasuk urusan adat kebiasaan (al umur al ‘urfiyah).

Dengan membaca alur ayat ini ,  dapat   diketahui bahwa yang dibicarakan adalah kepemimpinan laki-laki dalam dominan domestik, rumah tangga dan tidak dalam dominan publik, politik. Tetapi dalam banyak ulama Islam, ia kemudian ditarik untuk masuk pada waliyah kekuasaan  : domestik dan publik, personal, sosial dan politik. Dari sini, lalu dibangun subordinasi-subordinasi perempuan dalam semua aspek kehidupannya.

Padahal dari penelusuran atas semua ayat al Qur-an yang berkaitan dengan perempuan,  tidak ditemukan satu teks pun yang mengungkapkan dengan tegas, bahwa hanya laki-laki yang mutlak harus menjadi pemimpin publik/politik. Juga tidak ditemukan ayat al Qur-an yang menyatakan bahwa akal dan fisik semua laki-laki melebihi akal dan fisik  semua perempuan. Ayat di atas justru secara jelas menyebutkan “ sebagian atas sebagian “. Dengan demikian, ada akal sebagian perempuan melebihi akal sebagian laki-laki. Soal banyak atau sedikit tidaklah signifikan, karena ia lebih berkaitan dengan proses kebudayaan dan peradaban manusia. Ini artinya, kelebihan itu semata-mata diciptakan oleh sebuah proses kebudayaan dan peradaban itu. Oleh sebab itu, ia dapat berubah baik secara dinamis, lambat atau cepat itu tergantung manusia, sistem dan struktur  sosial yang diinginkannya.

Kalimat-kalimat  Tuhan di atas sungguh Maha Bijaksana. Realitas kebudayaan dan peradaban baru tengah memperlihatkan keMaha Bijaksanaan itu. Semakin banyak sosok perempuan yang muncul dengan pikiran-pikiran cerdas dan berhasil menjadi pemimpin bangsa dengan prestasi gemilang. Sebaliknya tidak sedikit pemimpin laki-laki yang membawa bangsanya dalam kehancuran. Soalnya bukan pada laki-laki atau perempuan, melainkan apakah ia bersikap demokratis atau otoriter.

Ini adalah kenyataan-kenyatan yang tidak bisa diingkari oleh siapapun, karena itu seharusnya kita dapat mengatakan bahwa perempuan sah menjadi pemimpin bukan karena keterpaksaan (darurat)  dan bukan pula karena latarbelakang  kepentingan sesaat (politik), tetapi karena Tuhan memang tidak melarangnya. Yang dikehendaki Tuhan adalah keadilan dan kesetaraan manusia di muka bumi ini untuk kebaikan sosial (kemaslahatan) serta sistem yang demokratis. Ini adalah prinsip ketuhanan dalam relasi-relasi sosial dan kemanusiaan. Tuhan menurunkan “petunjuk “Nya untuk manusia dan bukan untuk Tuhan sendiri, karena Dia memang tidak membutuhkan apa-apa dan siapa-siapa.

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here