“Budaya kami mengajarkan seorang gadis harus berjalan cepat, kepala menunduk, seolah tengah menghitung jumlah langkah yang diayunkan. Seorang gadis harus dinikahkan sebelum ia bisa mengangkat mata dan menatap lurus ke depan, atau sebelum ia sempat masuk ke sebuah toko atau sebelum dia sempat mencabut alis dan mengenakkan perhiasan. Jika itu semua dilanggar, maka seluruh orang di desaku akan mencibirku dengan sinis sebagai “charmuta” (pelacur)…” (Burned Alive:2006).
Ungkapan getir Souad – seorang gadis Palestina yang hidup tersiksa di bawah dominasi budaya Arab yang patriarkhis dan mengatasnamakan Islam – adalah sebuah ironi. Pernyataan senada juga pernah dilontarkan oleh Kartini, mengutip dalam suratnya kepada Stella Zeehandelaar yaitu : “benarkah agama itu restu bagi manusia ? tanyaku kerapkali kepada diriku sendiri dengan bimbang hati. Agama harus menjaga kita daripada dosa, tetapi berapa banyak dosa diperbuat orang atas nama agama.”
Karen Armstrong dalam Muhammad: The Prophet, menyatakan bahwa Islam sebagai sebuah sistem yang berisi nilai-nilai, sesungguhnya tak mengajarkan para pengikutnya untuk memperlakukan kaum perempuan secara tidak adil. Bahkan alih-alih mengajurkan penindasan, dalam satu kesempatan seusai menjalankan haji wada’, secara tegas Muhammad menyerukan umatnya untuk peduli dan meng- hormati para perempuan. Namun pernyataan Rasulullah tersebut seolah kurang bergema. Hanya sedikit umat yang memahaminya secara benar. Lebih dari 1500 tahun sejak berpulangnya Nabi kehadirat Allah azza wa Jalla, situasi yang dialami oleh perempuan bukannya membaik, malah seolah kembali berbalik ke zaman jahiliyah. Bahkan lebih buruk lagi. Saat ini terdapat puluhan bahkan ratusan juta perempuan di seluruh negara, terutama di negara-negara Muslim, yang hidup dalam situasi terdiskriminasi dan menjadi objek tindak kekerasan.
Pakistan adalah contoh sebuah negara yang memiliki citra buruk dalam memperlakukan kaum perempuan. Citra buruk ini bisa terlihat (di antaranya) dari adanya tradisi pemerkosaan massal atas nama adat di Pakistan. Akibat tradisi liar ini, Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan mencatat setidaknya ada 200 perempuan Pakistan yang diperkosa beramai- ramai selama 2004. Sebanyak 176 orang bunuh diri karena menanggung malu. Ironisnya, tak satupun dari pelakunya diadili.
Sebenarnya, kekerasan terhadap perempuan tak selalu berlatar belakang sosial agama. Pemerintah Jepang pernah dipermalukan di hadapan masyarakat internasional karena kasus trafficking dengan cara rekrutmen paksa kaum perempuan untuk melayani kebutuhan seksual para serdadu mereka yang dikenal dengan istilah “jugun ianfu”. Di negara yang mengagungkan HAM seperti Amerika Serikat pun, kekerasan terhadap perempuan juga masih banyak terjadi dalam berbagi bentuknya. Hal ini karena masih banyaknya orang yang beranggapan bahwa kekerasan terhadap perempuan itu bukanlah tindakan pelanggaran HAM.
Kekerasan terhadap perempuan adalah suatu manifestasi dari adanya perbedaan kekuasaan dalam hubungan lelaki – perempuan di sepanjang sejarah. Hal ini mengakibatkan adanya penguasaan dan diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan oleh lelaki. Kekerasan yang dialami oleh perempuan di sepanjang hidupnya pada hakekatnya berasal dari pola-pola kebudayaan, secara khusus merupakan dampak dari praktik-praktik tradisional budaya tertentu ataupun kebiasaan-kebiasaan yang merugikan serta semua perbuatan ekstrimisme yang berkaitan dengan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama, yang mempertahankan pemberian kedu- dukan yang lebih rendah bagi perempuan di dalam keluarga, di tempat kerja, dan masyarakat. (Konferensi Sedunia tentang Perempuan ke-IV di Beijing, 1995) .
Keyakinan bahwa kodrat perempuan itu lemah, posisinya di bawah laki-laki, “bertugas” melayani dan mudah ditindas menjadikan kaum perempuan dianggap sebagai “hak milik” laki-laki dan dapat diperlakukan semena-mena, termasuk dengan cara kekerasan. Hak istimewa yang dimiliki laki-laki akibat konstruksi gender menempatkan laki-laki untuk memiliki kekuasaan lebih tinggi daripada perempuan. Pola hubungan seperti itulah yang merupakan manifestasi patriarki. Ideologi ini berkembang secara luas mulai dari keluarga sampai pada kebijakan negara. Merasuk dalam kebudayaan dan tertanam dalam semua sistem kehidupan. Hal ini pada gilirannya merupakan benteng yang sangat kuat dalam menutupi realita bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia. Disayangkan sekali kaum perempuan sendiri pun masih banyak yang belum menyadarinya. Hal itu terjadi karena budaya, tradisi maupun penafsiran ajaran agama yang seolah memberikan pembenaran bahwa mereka wajib menerima tindak kekerasan sebagai takdir.
Sikap Dunia
Masyarakat dunia tidak tinggal diam melihat hal ini. Guna melindungi dan memajukan hak-hak dan kebebasan, upaya penghapusan tindak kekerasan kini menjadi sebuah kepedulian global. Saat ini, telah ditetapkan sejumlah instrumen hukum internasional yang disepakati oleh negara-negara di dunia untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan yang berupa kekerasan ini. Perjanjian internasional tersebut antara lain adalah Vienna Declaration and Programme of Action (1993), Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (1979), Declaration on the Elimination of Violence Against Women (1993) d) Beijing Declaration and Platform for Action(1995).
Khusus mengenai pengertian diskriminasi terhadap perempuan dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau CEDAW (1979), dalam rekomendasi Umum Majelis Umum PBB No. 19 tahun 1992 dinyatakan bahwa “Kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan berbasis gender dan merupakan salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan.” Tahun 1993, Konferensi HAM PBB di Wina kemudian menguatkan hal tersebut dengan mengeluarkan Deklarasi dan Program Aksi yang menegaskan 3 butir pernyataan penting, antara lain:
- Hak asasi manusia perempuan dan anak perempuan adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia dengan menyeluruh.
- Partisipasi penuh dan setara bagi perempuan dalam kehidupan politik, sipil, ekonomi, sosial, dan budaya dan pada tingkat nasional, regional, dan internasional, serta penghapusan diskriminasi berdasar jenis kelamin, merupakan tujuan utama masyarat sedunia.
- Kekerasan berbasis gender dan segala bentuknya tidak sesuai dengan martabat dan harga diri manusia serta harus dihapuskan.
Pada tahun yang sama, PBB kemudian lebih menegaskan hasil konferensi Wina tersebut dalam keputusan Majelis Umum PBB. Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan ini menyatakan antara lain bahwa:
Pasal 1: Definisi umum mengenai praktik Kekerasan Terhadap Perempuan sebagai “setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin (gender-based violence) yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis termasuk ancaman tindakan tertentu,pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.
Pasal 2: Elaborasi dari praktik kekerasan terhadap perempuan yakni, “…….kekerasan secara fisik, seksual dan psikologi yang terjadi di dalam keluarga dan di masyarakat, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan dan anak- anak, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan (marital rape), pengrusakan alat kelamin perempuan dan praktik- praktik kekejaman tradisional lain terhadap perempuan, kekerasan di luar hubungan suami istri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi perempuan, perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa. Serta termasuk kekerasan yang dilakukan dan dibenarkan oleh Negara di manapun terjadinya.” Dengan demikian ruang lingkup kekerasan terhadap perempuan terjadi dalam rumah tangga (keluarga), di masyarakat luas (tempat publik) serta di wilayah Negara.
Tindak-tindak kekerasan lain terhadap perempuan juga meliputi pelanggaran hak-hak asasi perempuan dalam situasi konflik bersenjata, terutama pembunuhan, perkosaan sistematis, perbudakan seksual, dan kehamilan paksa, sterilisasi, pengguguran kandungan yang dipaksakan, penggunaan alat-alat kontrasepsi secara paksa, pembunuhan bayi-bayi perempuan, pemilihan jenis kelamin bayi pra kelahiran.
Pasal 4: Kewajiban negara-negara di dunia untuk melindungi kaum perempuan dari berbagai tindak kekerasan.
- Harus mengutuk segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
- Tidak berlindung di balik pertimbangan adat, tradisi atau keagamaan untuk menghindari tanggung jawab yang mengharuskannya.
- Harus meneruskan cara-cara yang benar dan tidak menunda-nunda kebijakan untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan.
Namun meski telah muncul beragam upaya untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan seperti tersebut di atas, pada kenyataannya dalam berbagai hal, perempuan masih terus mengalami tindak kekerasan dan diskriminasi. Hal ini juga terjadi karena Negara masih saja abai dalam pemenuhan hak-hak warganya. Sebagai akibatnya perempuan kerap kali tidak memiliki kebebasan untuk menikmati hak asasinya sebagai manusia dan menjadi sangat rentan untuk tidak mengalami kekerasan.
(Yoan dan Ning)
Majalah Swara Rahima No. 20 Th. VI, Desember 2006