Oleh: Hj. Ernawati, M.Pd.I

Tanpa membedakan jenis kelamin, status sosial atau agamanya, seluruh  manusia menginginkan hal yang sama. Ketika seseorang ditanya apa yang menjadi  keinginannya atau cita-citanya, tentu apapun jawabannya muaranya adalah kebahagiaan, begitupun kita sebagai umat muslim. Ketika ditanya apa yang dicita-citakannya tentu jawabannya sa’adatun daroin  hasanah fiddunya, waa hasanah fil akhiroti,  kebahagiaan dunia dan kebahagiaan di akhirat, sehingga seluruh manusia melakukan apa saja yang dianggap akan menyampaikan kepada cita-citanya yaitu kebahagiaan di dunia dan  di akhirat. 

Salah satu aspek yang dianggap akan dapat menyampaikan kepada kebahagiaan adalah pernikahan. Karena ini sudah diinformasikan dalam surat Ar-Rum ayat 21 bahwa apabila seseorang menikah itu akan memperoleh ketentraman, kenyamanan, cinta,  dan kasih sayang atau dalam bahasa lainnya rumah tangga sakinah mawaddah warahmah. Karena dalam rumah tangga  setidak-tidaknya dengan menjalin pernikahan,  ada tidaknya  kebutuhan dasar yang akan atau diharapkan bisa terpenuhi  oleh adanya ikatan pernikahan. Pertama, kebutuhan dasar akan kasih sayang. Kedua kebutuhan ekonomi. Ketiga kebutuhan seksual.  

Berbicara kebutuhan seksual ini menjadi penting karena dalam  agama Islam pemenuhan kebutuhan seksual hanya dapat dilakukan dalam ikatan pernikahan sehingga Islam mengatur hubungan seksual agar dapat mendatangkan kebahagiaan bagi kedua belah pihak yaitu suami dan istri. Tetapi mitos selama ini beredar di masyarakat menjadikan aktivitas  seksual yang seharusnya  mendatangkan kebahagiaan justru kebanyakan mendatangkan petaka  dalam kehidupan rumah tangga. Di antaranya adalah mitos  hasrat  seksual suami itu lebih tinggi dibandingkan dengan hasrat seksual perempuan atau istri. Menurut para ahli hasrat atau gairah seksual  tidak ditentukan oleh jenis kelamin tetapi  ditentukan oleh hormon yang dimiliki oleh tubuh masing-masing. Bisa jadi ada laki-laki dengan gairah seksual tinggi dan dapat pula ada laki-laki yang gairah seksualnya rendah. Demikian pula sebaliknya, ada perempuan dengan gairah seksual yang tinggi dan ada juga perempuan dengan gairah seksual yang rendah. Artinya, pada prinsipnya suami atau istri  memiliki kebutuhan yang sama untuk memenuhi hasrat seksualnya.

Selanjunya,  ada anggapan bahwa pemenuhan hasrat seksual  adalah kewajiban istri  dan hasrat seksual tersebut adalah haknya suami. Pandangan tersebut berdampak pada banyaknya para suami yang menuntut kepada istrinya untuk memenuhi  kebutuhan seksualnya tanpa memperhatikan kondisi istrinya atau pasangannya. Misalnya, dalam kondisi istri sakit, lelah, badan tidak fit, ataupun mood sedang menurun, suami tetap menuntut untuk dilayani dengan anggapan bahwa pelayanan hubungan seksual merupakan kewajiban istri.

Ada pula anggapan bahwa suami boleh mendominasi istri dalam segala hal, termasuk dalam masalah hubungan seksual. Istri hanya dianggap sebagai objek seksual, dengan tidak memperhatikan kebutuhan istrinya. Adanya anggapan bahwa istri sebagai objek seksual menyebabkan istri  tidak memiliki hak untuk menentukkan kapan dan di mana dirinya bisa atau dapat melakukan aktivitas seksualnya. Hal-hal seperti itulah yang  justru merusak hubungan seksual yang seharusnya mendatangkan kebahagiaan bagi pasangan suami istri tapi justru mendatangkan petaka bagi salah satu pihak bahkan keduanya. 

Bagaimana caranya agar hubungan suami istri atau aktivitas seksual kembali pada tujuan awalnya, yaitu untuk keharmonisan dan kebahagiaan dalam rumah tangga? Dalam hal ini ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pasangan suami istri. Pertama, suami dan istri harus memiliki prinsip yang sama, bahwa aktivitas  seksual merupakan kebutuhan bersama, sehingga antara suami istri saling berusaha untuk menyenangkan pasangannya. Tidak boleh ada yang egois tapi harus saling berusaha, mengetahui bagaimana caranya  supaya pasangan merasa senang dan bahagia  dengan aktivitas  seksual yang dilakukan. Tentu hal ini membutuhkan komunikasi yang baik antara suami dan istri. Suami atau istri harus berani mengomunikasikan kepada pasangannya, perihal apa yang menyenangkan dan apa yang tidak menyenangkan, apa yang harus, dan apa yang tidak harus dilakukan oleh pasangan kepada dirinya. 

Kedua, dalam aktivitas seksual  harus dilandasi prinsip mu’asyarah bil ma’ruf yaitu saling pergauli dengan baik dan saling  melakukan dengan baik.  Aktivitas seksual tidak boleh menyakiti satu sama lain, baik secara fisik maupun psikis.  Sehingga jika pasangan kita terlihat lelah, sakit, atau mood sedang turun, maka tidak boleh memaksakan hubungan seksual tersebut. 

Ketiga,  pasangan suami istri harus betul-betul memahami teks teks agama dengan benar. Seperti diketahui ada beberapa hadis yang  seolah-olah menggambarkan bahwa  laki-laki lebih berhak  untuk memutuskan bahkan  memaksa istrinya  untuk melayani hubungan seksual tanpa melihat bagaimana kondisi istrinya. Padahal, hal tersebut muncul dari kesalahpahaman terhadap penafsiran hadis, misalnya dalam sebuah hadis tentang laknat malaikat kepada  perempuan yang menolak suaminya untuk berhubungan seksual. 

Bagaimana  cara menanggapi hadis tersebut? Perlu pemahaman bijak dan cerdas, di antaranya ditanggapi dengan keilmuan. Pertama, dapat menganalisisnya dengan matan, sanad, atau asbabul wurud. Kedua, apabila  kita sampai pada kesimpulan bahwa hadis tersebut  shahih, maka dapat ditanggapi dengan makna yang bijak. Misalnya, agar istri tidak dilaknat oleh malaikat, maka suami harus ridho dan rela jika sesekali istrinya tidak dapat melayaninya. Hal tersebut dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Ketika beliau pulang larut malam dan takut mengganggu istrinya yang  sedang tertidur lelap, Nabi memilih untuk tidur diluar saja. Seperti itulah akhlak Nabi kepada istrinya. Oleh sebab itu, jika istri sedang tidak dapat melayani, maka suami sedapat mungkin mengupayakan dirinya untuk menahan diri. Hal tersebut perlu menjadi renungan bagi suami dan istri di dalam membina keluarga yang saling membahagiakan. 

Maka, lakukanlah aktivitas seksual yang penuh kasih sayang tanpa pemaksaan dan zero violence. Insya Allah keluarga sakinah mawaddah warahmah  akan dapat terwujud, sehingga kebahagiaan bisa menemani kita semua.

 

Simak ceramah lengkapnya melalui Video Ceramah Ulama Perempuan di kanal Youtube Rahima:  https://www.youtube.com/watch?v=i_SX4Rh8MHI 

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here