KH. Faqihuddin Abdul Kodir

Dalam fikih Islam, ada dua definisi tentang perkawinan. Pertama bahwa perkawinan adalah akad pemilikan (‘aqd at-tamlîk) dan kedua sebagai akad pewenangan (‘aqd al-ibâhah). Baik dalam definisi yang pertama maupun yang kedua, posisi perempuan selalu menjadi obyek dari kepentingan laki-laki. Karena akad pemilikan dalam fikih, berarti pemilikan laki-laki terhadap perempuan, atau pemilikan hak menikmati tubuh perempuan. Sementara akad pewenangan juga berarti akad yang memberikan wewenang kepada laki-laki untuk menikmati tubuh perempuan. Perempuan memang memiliki hak yang sama untuk menikmati tubuh suaminya, tetapi hak tersebut tidak disebutkan secara eksplisit dalam definisi perkawinan. Lain halnya dengan hak laki-laki yang secara eksplisit dinyatakan bahwa perkawinan adalah (hanya) hak pemanfaatan laki-laki terhadap tubuh perempuan. Konsekuensinya, ulama fikih tidak tegas ketika membicarakan apakah istri juga memiliki hak yang sama atas kenikmatan seksual juga tidak tegas apakah suami berkewajiban memenuhi hasrat seksual istrinya.

Definisi perkawinan yang menempatkan perempuan sebagai subordinat terhadap laki-laki memperoleh pembenaran dari beberapa teks hadis, seperti hak suami terhadap tubuh [seksualitas] istrinya dan kewajiban perempuan untuk menyerahkan tubuhnya [tamkîn] demi hasrat seksual suaminya. Sementara untuk yang sebaliknya, tidak ditemukan satu teks hadispun menyangkut hak seksual perempuan, atau kewajiban laki-laki memenuhi hasrat seksual isterinya.

Ada beberapa hadis yang membicarakan subordinasi seksualitas perempuan ini. Diantaranya sabda Nabi: “Apabila seorang suami mengajak istrinya berhubungan intim, lalu istrinya menolak sehingga ia marah sepanjang malam; maka isteri tersebut dilaknat oleh malaikat sampai pagi hari [idzâ da’â ar-rajulu imra’atuhû ilâ firâsyihî, fa ‘abat an tajî’a, fa bâta ghadhbâna, la’anat hâ al-malâ’ikatu hattâ tushbih]”, riwayat Bukhari, Muslim dan Abu Dawud (lihat: Ibn al-Atsir, Jâmi’ al-Ushûl, VII/323, no. hadis: 4706).

Dengan melihat sumber rujukan hadis ini, mayoritas ulama menyatakan bahwa hadis ini adalah shahih. Setidaknya dalam kritik sanad, ia telah dianggap layak, benar dan valid [shahih]. Bukhari menempatkan hadis ini dalam Al-jâmi’ al-Shahîh’-nya, kitab an-Nikah, bab yang ke-86, nomor hadis 5193. Tetapi dalam riwayat Bukhari tidak diungkapkan kalimat ‘sehingga suaminya marah sepanjang malam’ [fa bâta ghadhbâna]. Sementara dalam riwayat lain kalimat tersebut disebutkan, bahkan menjadi klausa yang terpenting.

Ibn Hajar al-‘Asqallani dalam kitab Fath al-Bari mendukung penuh kesahihan hadis ini. Baginya, ada beberapa hadis lain yang memperkuat [syawâhid] hadis di atas. Yaitu: riwayat Muslim dari Abi Hazim: “Demi Dzat yang menguasai diriku, seseorang yang memanggil istrinya ke ranjangnya (berhubungan intim), lalu sang istri menolaknya, sungguh semua yang berada di langit mengutuk istri tersebut sampai sang suami memaafkannya”.

Riwayat pendukung [syawâhid] lain oleh Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban, dari Jâbir ra: “Tiga orang yang shalatnya tidak diterima oleh Allah dan kebaikannya tidak naik ke langit; (1) budak yang lari dari tuannya sampai kembali, (2) orang yang mabuk sampai ia sadar dan (3) perempuan yang dimurkai suaminya sampai ia memaafkan” (lihat: al-‘Asqallani, Fath al-Bari, X/368).

Dalam pemaknaan, secara sederhana dipahami oleh ulama bahwa istri wajib memenuhi ajakan suaminya untuk berhubungan intim. Istri bisa berdosa, bahkan dilaknat oleh malaikat, ketika ia menolak ajakan tersebut. Dalam riwayat Bukhari yang tanpa fa bâta ghadhbâna, berarti laknat itu melekat pada perempuan ketika terjadi penolakan darinya. Sementara riwayat Muslim, Abu Dawud, Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban, dengan klausa fa bâta ghadhbâna dipahami beberapa ulama bahwa laknat hanya turun ketika penolakan menimbulkan kemarahan suami. Penolakan saja, yang tidak menimbulkan kemarahan suami, tidak mengakibatkan laknat, atau tidak berdosa. Penentunya adalah laki-laki.

Dalam pemaknaan fikih terhadap hadis di atas, tugas primer istri adalah memenuhi kebutuhan seksual suami. Istri berkewajiban penuh untuk melayani hasrat seksual suami. Kewajiban istri ini merupakan konsekuensi dari kewajiban nafkah oleh suami. Dalam fikih, suami dibebani kewajiban nafkah dalam kaitannya ia memperoleh hak untuk menikmati tubuh istrinya [an-nafaqah fi muqâbalat al-istimtâ’]. Artinya, istri yang ingin memperoleh hak nafkah, setiap saat harus selalu dalam keadaan bersedia untuk dinikmati oleh suaminya. Jika tidak, misalnya ketika ia belum memiliki kesiapan fisik untuk disetubuhi karena berumur kecil, atau ketika ia dimasukkan penjara karena suatu tindak pindana, atau ia melakukan penolakan terhadap ajakan hubungan intim suaminya [nusyuz], maka nafkah tidak wajib atas suami. Bahkan, istri yang bepergian jauh sekalipun atas izin suami, ia tidak berhak menuntut nafkah dari suaminya. Suaminya sama sekali tidak berkewajiban menafkahinya, karena secara fisik berjauhan tidak bisa memenuhi tuntutan sesksual suaminya (lihat al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, VII/789-797). Dalam pandangan ini, tubuh perempuan benar-benar di bawah kekuasaan suaminya.

Apakah perempuan berdosa (dilaknat), hanya karena ia menolak ajakan suami? Bagi Ibn Hajar hanya penolakan yang mengakibatkan kemarahan suami yang dianggap berdosa [fa bâta ghadhbâna], karena hubungan intim adalah hak suami. Ketika suami merelakan dan memaafkan maka penolakan tersebut tidak berdosa. Penolakan yang berdosa, juga disyaratkan bahwa ia merupakan inisiatif penuh dari sang isteri, bukan sebagai akibat dari perlakuan suami yang zalim. Ibn Hajar mendasarkan pada riwayat lain ‘hâjiratan firâsahâ’, yang berarti perempuan secara sadar dan sengaja meninggalkan ranjang perkawinan. Artinya, yang dilaknat adalah perempuan yang sengaja mengawali penolakan, bukan penolakan yang diawali dengan ulah suami yang zalim (lihat al-‘Asqallani, X/368).

Bahkan dalam pandangan sebagaian ulama fikih kontemporer, seperti az-Zuhaili, dinyatakan bahwa laknat [dosa] itu turun pada penolakan yang tidak beralasan [min ghair ‘udzrin], dan yang muncul bukan karena sedang memenuhi kewajiban agama [lam yusyghilhâ ‘an al-farâ’idh]. Artinya, perempuan berhak menolak ajakan suami yang dipastikan akan menyakitinya, atau ia sedang menunaikan suatu kewajiban (lihat, Husein Muhammad, 2000: 99). Dari beberapa pandangan ini, setidaknya subordinasi seksualitas perempuan terhadap laki-laki tidak total dan tidak sepenuhnya. Ada ruang-ruang di mana perempuan oleh agama (pemikiran fikih klasik) dinyatakan berhak menolak ajakan hubungan intim dari suaminya. Artinya totalitas ketaatan istri tidak sepenuhnya bisa dibenarkan. Hadis yang menekankan totalitas ketaatan istri harus dikritisi dan dimaknai kembali, terutama hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan at-Turmudzi: “Jika seseorang mengajak isterinya berhubungan intim, maka si isteri harus memenuhinya sekalipun sedang berada di dapur, dalam suatu riwayat disebut dengan redaksi sedang di atas punggung unta” [idzâ da’â ar-rajulu imra’tahû li hâjatihi, falta’tihî walaw kânat ‘alâ at-tannûr, wa fî riwâyatin walaw kânat ‘alâ zhahri qatabin]. (lihat Sunan at-Turmudzi, III/465, no. hadis: 4697).

Jika dianalisis, teks hadis ini memuat perbedaan atau salah baca tulis [tash-hîf]. Karena dalam riwayat Imam Ahmad yang lain, menggunakan kata falya’tihâ, bukan falta’tihî. Teksnya adalah: “Apabila kamu ingin memenuhi kebutuhan biologismu dari isterimu, maka datangilah isterimu itu, sekalipun ia sedang berada di dapur” [Idza arâda ahadukum min imra’atihi hâjatan, fal ya’tihâ, walau kânat ‘ala at-tannûr] (Musnad Ahmad, IV/23). Perbedaan lafal baca-tulis [tashhîf]; antara riwayat at-Turmudzi [fal ta’tihî] dengan riwayat Ahmad [fal ya’tihâ], dalam ilmu hadis dianggap kejanggalan [illah] yang bisa menurunkan derajat hadis menjadi lemah [dha’îf] dan tidak bisa diterima [mardûd].

Perbedaan ini terkesan sederhana, tetapi memiliki konsekuensi pemahaman yang berbeda jauh antara redaksi yang pertama dengan yang kedua. Dari redaksi hadis yang pertama [falya’tihâ]; bisa dipahami bahwa isteri wajib memenuhi kebutuhan biologis suami kapanpun dan dimanapun. Istri tidak memiliki hak untuk menolak. Bahkan jika menolak, ia akan dilaknat oleh malaikat dan seluruh makhluk seisi bumi. Tetapi pada redaksi yang kedua [fal ya’tihâ], yang bisa dipahami hanyalah anjuran kepada suami untuk melampiaskan kebutuhan biologisnya kepada istrinya, bukan kepada yang lain, sekalipun sang istri sedang berada di dapur. Artinya, hanya sebatas izin syara’ kepada lelaki untuk melampiaskan kebutuhan biologis kepada istri yang di dapur, bukan totalitas ketaatan istri dalam memenuhi kebutuhan suami.

Tetapi kebanyakan ulama memilih pemahaman dari redaksi hadis yang pertama, tidak yang kedua. Sehingga lagi-lagi menegaskan subordinasi seksualitas perempuan untuk kepentingan laki-laki. Pertanyaannya, mengapa dalam pemikiran keagamaan seksualitas perempuan harus dikorbankan untuk kepuasan seksualitas laki-laki?

Menurut Ibn Hajar al-‘Asqallani, karena seksualitas laki-laki lebih agresif daripada perempuan. Laki-laki tidak bisa bersabar lebih lama untuk tidak berhubungan intim. Konsentrasinya lebih banyak diganggu oleh fantasi-fantasi seksual dengan tubuh perempuan. Karena itu, perempuan diharapkan ikut membantu meredam agresivitas seksual laki-laki dan menjaganya agar tidak berzina. Bantuan ini dilakukan dengan memenuhi hasrat seksual suami. Artinya, kewajiban perempuan lebih karena kewajiban saling membantu satu dengan yang lain, terutama antara suami dan isteri (al-‘Asqallani, X/369).

Jika demikian, maka seksualitas perempuan juga harus ditempatkan pada logika agresivitas yang sama. Karena persoalan agresivitas dan pasifitas seksual lebih terkait dengan fisik dan mental ketimbang dengan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Pelabelan seksualitas perempuan pasif dan seksualitas laki-laki agresif adalah menyesatkan dan tidak terbukti secara empiris. Artinya, perempuan dan laki-laki bisa agresif dan bisa juga pasif dalam hal hasrat seksual. Tergantung dengan makanan yang dikonsumsi, kondisi fisik, mental, dan lingkungan. Sehingga dengan logika Ibn Hajar, laki-laki juga berkewajiban membantu dan mengupayakan istrinya bisa menikmati hasrat seksualnya.

Pandangan Syafi’i bahwa kewajiban berhubungan intim oleh suami terhadap isteri hanya sekali selama umur perkawinan, sementara oleh isteri terhadap suami selalu wajib selama umur perkawinan, harus dihentikan. Begitu juga pandangan mazhab Maliki yang memberikan kesempatan pada isteri untuk menuntut hubungan intim sekali dalam tempo empat bulan, juga harus dihentikan. Pemenuhan kebutuhan seksual, baik oleh istri terhadap suami atau sebaliknya, tidak terkait dengan waktu. Tetapi terkait dengan kesiapan-kesiapan fisik, mental dan kondisi lingkungan. Dan kebutuhan perempuan tidak harus diukur dari kemampuan suami pasangannya.

Konsep mu’asyarh bil ma’ruf menuntut adanya kebersamaan menyangkut segala kebutuhan suami-isteri. Termasuk menyangkut hubungan seksual antara mereka berdua. Yang satu harus memperhatikan yang lain secara bersama. Adalah bukan suatu hal yang ‘mu’asyarah bil ma’ruf’ jika hubungan intim hanya menyenangkan satu pihak, sementara tidak kepada pihak yang lain, apalagi sampai menyakitkan. Pola relasi antara suami dan isteri yang ditegaskan Alquran adalah setara. Hunna libâsun lakum, wa antum libâsun lahunna [Perempuan adalah pakaian laki-laki, dan laki-laki adalah pakaian bagi perempuan]. Kalau Alquran demikian tegas menyuarakan kesetaraan, mengapa subordinasi seksulitas perempuan harus ada? Mengapa pandangan-pandangan fikih yang lahir dari subordinasi ini harus dilestarikan?

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here