Oleh: KH. Helmi Ali

Darud Da’wah wal Irsyad (DDI) adalah gerakan pendidikan dan dakwah, yang digagas dan dimotori oleh Anregurutta Ambodalle untuk merespons kelangkaan pendidikan dan gerakan keagaaman yang tidak toleran perbedaan dan tidak menghargai tradisi. Gerakan ini, dimulai ketika Gurutta Ambodalle diminta untuk memimpin sekolah (Madarsah Arabiyah Islamiyah; MAI) yang dibangun oleh Andi Dagong (Petta Soppeng atau Raja Soppeng Riaja) di Mangkoso (sekarang Kabupaten Barru). 

Menurut catatan sejarah, Gurutta resmi mulai mengembangkan sekolah itu pada 11 Januari 1938. Sekolah itu kemudian berkembang pesat. Dari hanya pulahan, kemudian memiliki ratusan santri dalam waktu relatif singkat. Murid-muridnya berdatangan dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Murid-murid itu ketika bulan Ramadan, dikirim kembali ke kampung masing-masing (juga ke berbagai daerah lain); untuk menjadi imam tarawih dan juga cemarah Ramadan. Cara itu membuat MAI Mangkoso (orang Bugis menyebutnya sikola ara’) semakin populer, dan menginspirasi masyarakat. Beberapa daerah kemudian meminta kepada Gurutta agar dibuatkan sekolah sejenis MAI (sikola ara) Mangkoso itu. Gurutta merespons permintaan dengan meminta masyarakat setempat membangun sekolahnya sendiri, dan Mangkoso membuatkan kurikulum serta mengirim guru kesana. Maka muncullah sekolah-sekolah di beberapa daerah sejenis sekolah di Mangkoso itu; dengan gerak dan langkah kurang lebih sama. Mula-mula di sekitar Mangkoso, tetapi kemudian menyebar ke berbagai daerah. Hal tersebut membuat DDI semakin populer dan menjadi acuan.

Itu adalah masa penjajahan (Belanda dan kemudian Jepang) yang diskriminatif, tidak menghendaki anak negeri jajahannya menjadi cerdas; karena itu sangat ketat keras mengawasi terhadap berbagai aktivitas di negeri jajahan bahkan tak ada belas kasihan. Tetapi semakin lama kecenderungan seperti itu (minta guru dan membuat sekolah sendiri) semakin meningkat. Maka kemudian muncul tradisi baru, semacam tour of duty (dalam arti penggiliran tugas) dari guru-guru di MAI Mangkoso, tentu melalui musyawarah. Tetapi karena permintaan semakin banyak maka, santri  yang belum menyelesaikan pendidikan pun dikirim untuk mengajar di daerah tertentu. Ini semacam penerapan metode learning by doing; entahlah. Ini terjadi dalam keadaan dan situasi yang sangat sulit, karena penjajahan itu.

Musyawarah guru-guru itu kemudian dipermanenkan menjadi pertemuan tahunan, mengatur siapa bertugas di mana, dan berapa lama. Musyawarah itu selain dihadiri oleh guru-guru, juga kemudian melibatkan pengurus sekolah yang disebut cabang Mangkoso. Pada masa berikutnya, pertemuan itu lebih meriah lagi, karena juga dirangkai dengan wisuda (dan kemudian penerimaan) santri.

Pendekatan pendidikan yang dikembangkan Gurutta itu (semacam gerakan di mana muncul sekolah-sekolah sejenis di beberapa daerah dengan misi, emosi, gerak dan langkah yang kurang lebih sama), merupakan sesuatu yang baru di Sulawesi. Sebelumnya, pendidikan terpusat di daerah-daerah tertentu, terutama di pusat-pusat kerajaan, seperti di Sengkang, Wajo, di Bone, dan sebagainya. Daya jangkauannya sangat terbatas dan cenderung elitis. Sedangkan (gerakan) pendidikan Gurutta lebih menyebar, dan menyentuh daerah-daerah pelosok (relatif terisolir) yang sulit di jangkau. Kelihatan merakyat (dalam arti menjawab kebutuhan rakyat yang kesulitan mengakses pendidikan. Ini bisa disebut menjadi bagian dari cita-cita para pendiri bangsa, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pendekatan pendidikan Gurutta yg seperti itu tampaknya menarik perhatian dan simpati  dari tokoh dan Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Sulawesi Selatan; waktu itu Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara masih menjadi bagian dari Sulawesi Selatan. Mereka melihat bahwa gerakan itu penting sekali, dan perlu diperkuat, karena  itu merupakan jawaban atas persoalan pada zaman itu.

Para tokoh dan ulama ahlussunnah wal jama’ah itu kemudian sepakat menyelenggarakan pertemuan (musyawarah alim ulama)  di Soppeng (Ibu kota Kabupaten Soppeng, sekarang). Pertemuan itu terselenggara pada 7 Februari tahun 1947. Itu adalah masa agresi kedua Belanda (yang membonceng sekutu, setelah Jepang takluk, masuk untuk menjajah kembali Indonesia). Itu adalah salah satu masa paling mencekam dalam sejarah Sulawesi Selatan. Westerling, komandan pasukan khusus Tentara Belanda, melakukan teror, membantai rakyat Sulawesi Selatan. Dalam sejarah dikenal sebagai ‘korban empat puluh ribu jiwa”.

Soppeng dipilih sebagai tempat pertemuan, karena daerah itu sudah didatangi Westerling. Tetapi tetap saja mengandung ancaman. Maka diberi judul perayaan Maulid Nabi saw. Pertemuan dihadiri oleh hampir seluruh Ulama, para Qadli, yang ada di Sulawesi Sulawesi. Tentu, memang ada perayaan Maulid. Tetapi kemudian dilanjutkan dengan musyawarah; membahas situasi sosial politik (seperti yg digambarkan di atas), khususnya yang terkait dengan pendidikan, dakwah dan gerakan keagamaan disemua level; melihat bahwa gerakan pendidikan Gurutta adalah jawaban atas persoalan itu (kelangkaan pendidikan dan gerakan keagamaan yang tidak toleran) dan karena itu perlu diperkuat; sebaiknya dipayungi oleh sebuah organisasi; maka kemudian musyawarah menyepakati  membentuk organisasi yang diberi nama Darud Da’wah wal Irsyad (kemudian disingkat dg nama DDI). Nama itu adalah usulan dari Syekh Abdurrahman Firdaus (ulama asal Makkah, yang meninggalkan Makkah karena tidak setuju dengan gerakan Wahabiyah).

Karena memang organisasi ini ada dari (terinspirasi) dan untuk (memayungi) gerakan pendidikan Gurutta, maka kepemimpinannya diserahkan kepada Gurutta. Sebagian ulama yang ikut pertemuan itu, yang juga mempunyai lembaga pendidikan sendiri. Pada umumnya memilih tidak bergabung dengan organisasi tersebut, tetapi mendukung penuh; karena organisasi itu memang khas dengan gerakan Gurutta.

Secara prinsip tak ada yang berubah dengan adanya organisasi itu. Hanya kantor pusatnya kemudian berpindah (dari Mangkoso) ke Parepare. Tentu juga  ada penyesuaian nama atau istilah yang sesuai dengan tradisi organisasi pada umumnya. Misalnya pertemuan tahunan para guru, yang juga dihadiri oleh pengurus sekolah, kemudian disebut ‘muktamar’. Sekolah-sekolah resmi diberi status sebagai ‘cabang’. Mungkin kelihatan unik, terutama untuk ukuran zaman sekarang, karena sampai pada tahun 60-an setiap tahun ada Muktamar; yang masa awal itu lebih banyak membahas penempatan guru dan pengembangan sekolah di daerah baru.

Dengan cara seperti itu DDI berkembang, melampaui batas wilayah provinsi Sulawesi Selatan, mengindonesia. Akhir atau mungkin pertengahan tahun 1950-an sudah ada sekolah DDI di Riau, misalnya, dsb. Sebagaimana organisasi sosial lainnya, juga kemudian dilengkapi dengan badan-badan otonom dan lembaga. Tentu banyak orang yang membantu, terlibat, berperan dan berjasa dalam pengembangannya, tetapi sebenarnyalah DDI itu identik dengan (gerakan pendidikan dan dakwah) Gurutta Ambodalle.

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here