Oleh: Imam Nakha’i
Kemarin diskusi dengan kawan-kawan muslimah progresif yang peran sosial dan perjuangannya menegakkan keadilan, saya tidak meragukannya.
Tema diskusi sekitar Hijab, Libas, Jalabib, dan Khumur, dimana kata kata ini disebut secara langsung dalam al-Qur’an, sekalipun kata “hijab” tidak satupun digunakan untuk menunjuk arti “busana”. Sementara kata Niqab, dan Burqa’ yang sering diartikan “Cadar” tidak disebut al-Qur’an. Memang di dalam hadist disebut kata “mutanaqqibatan”-mengenakan cadar, tetapi bukan dalam konteks menganjurkan, bahkan dalam satu hadist justru sebaliknya, dimakruhkan dalam shalat, haji, dan juga relasi sosial.
Contoh dalam hadist Nabi:
الآثار لأبي يوسف (ص: 30)
يُوسُفُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ، عَنْ حَمَّادٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، أَنَّهُ «كَانَ يَكْرَهُ أَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ، وَيَكْرَهُ أَنْ تُصَلِّيَ الْمَرْأَةُ وَهِيَ مُتَنَقِّبَةٌ»
Ulama juga berbeda-beda pendapat mengenai batas-batas aurat perempuan, ada yang menyatakan seluruh badan, ada yang berpendapat seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, ada yang mengatakan kecuali dua telapak kaki (qadamain), ada yang menyatakan kecuali rambut yang terurai (keluar dari batas kepala).
Ada pula yang membedakan antara prempuan merdeka yang harus mengenakan hijab, dan budak perempuan (perempuan pekerja) yang justru tidak dianjurkan mengenakan hijab. Ibnu Taimiyyah mengatakan:
قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله :
” وَإِنَّمَا ضُرِبَ الْحِجَابُ عَلَى النِّسَاءِ لِئَلَّا تُرَى وُجُوهُهُنَّ وَأَيْدِيهِنَّ . وَالْحِجَابُ مُخْتَصٌّ بِالْحَرَائِرِ دُونَ الْإِمَاءِ ، كَمَا كَانَتْ سُنَّةُ الْمُؤْمِنِينَ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخُلَفَائِهِ : أَنَّ الْحُرَّةَ تَحْتَجِبُ وَالْأَمَةُ تَبْرُزُ ” “مجموع الفتاوى” (15/ 372).
Konon Umar ra, akan memukul budak perempuan yang mengenakan kerudung, karena dianggap meyerupakan diri dengan perempuan merdeka. Mengapa ketika itu dibedakan antara perempuan pekerja (budak) dengan perempuan merdeka? karena perempuan pekerja (budak) harus melayani, dan bekerja untuk majikannya. jika diperintahkan mengenakan hijab, niscaya akan meberatkan mereka. Alasan “Memberatkan-Masyaqqah Syadidah” karena harus melayani dan bekerja untuk majikan dijadikan alasan untuk tidak “memberatkan lagi” dengan mengenakan hijab. Ya tentu ada kecuali-kecuali yang bersifat diskriminatif, mislanya kecuali budak yang “Jamilah“, yang berarti yang tidak “indah- menarik” tidak harus mengenakan hijab.
Al-Hasil batas-batas Aurat, dan perbedaan aurat antara perempuan merdeka dan budak adalah bersifat “ijtihadiy” yang membuka ruang perbedaan Ulama. Saya menyakini, perbedaan itu tidak akan pernah selesai, sampai hari kiamat, kecuali Allah menurunkan lagi Nabi dan firman yang baru yang jelas-jelas menjabarkan kewajiban hijab dan batas batas aurat. Dan pasti ini juga tidak mungkin. Karena telah ditegaskan bahwa Rasulullah saw, sebagai Nabi ahir dan terahir. Olehnya memaksakan “satu pendapat ulama” hakikatnya memaksakan hal yang tidak mungkin, dan pasti memberatkan umat manusia. Padahal agama hadir dengan membawa kasih sayang, bukan membuat kesulitan.
Di ahir diskusi saya masih dikritik. Padahal saya pikir, saya sudah liberal, e ternyata kurang liberal. Dalam hati, saya berbisik, saya memang liberal, tapi “liberal yang terukur”. He he.
Mendapat kritik itu, saya teringat pada kesimpulan “Muhammad Syahrur” salah satu pemikir muslim kontemporer, ia menyatan;
الحجاب كمفهوم وغطاء الرأس ليس له علا قة بإسلام ولا إيمان بل هو من سنن العادات القومية والمحلية
Hijab sebagai konsep menutup kepala tidak ada kaitannya dengan Islam dan Iman, melainkan ia bagian dari tradisi nasionalisme dan bersifat lokalitas (Arab).
Senada dengan Syahrur, Mufassir Indonesia Prof Muhammad Quraish Shihab, dalam bukunya Mumbumikan al-Qur’an juga mengutip salah satu pendapat ulama yang senafas dengan yang dinyatakan Syahrur.
Mana yang benar dari pendapat pendapat itu. Tentu Hanya Allah yang maha pengasih dan penyanyang yang mengetahuinya. dan Nanti Allah Akan menghabarkan kepada kita di ahirat kelak, mana dari pendapat-pendapat itu yang benar. Saya sangat berharap, Allah yang maha Kasih, nanti menghabarkan bahwa pendapat pendapat itu semuanya benar, yang penting seluruhnya dilakukan dengan ikhlas dan semata karena Allah.
Wallahu ‘A’lam , Situbondo 23 02 21