Oleh: Faqihuddin Abdul Kodir

Jika mau memandang secara proporsional, isu-­isu ketenagakerjaan yang sekarang terjadi sangat berbeda dengan apa yang terjadi pada masa Nabi Muhammad saw Sehingga tidak mudah mencari padanan dan menganalogikan yang satu kepada yang lain. Bahkan bisa dikatakan tidak mungkin mencari panduan praktis dari ajaran Nabi saw yang terkait dengan isu-isu ketenagakerjaan kontemporer.

Seperti isu hak-hak pekerja, misalnya hak kesehatan, cuti hamil, jam kerja maksimal dan minimal, kerja produksi dan reproduksi, hubungan upah dengan kelayakan hidup pekerja, pengaruh teknologi terhadap pekerja perempuan, hubungan pekerja dan majikan, serta hubungan negara dengan hak­hak pekerja. lsu-isu yang demikian ini belum muncul pada masa Nabi saw, sehingga sangat tidak tepat jika kita memaksakan mencari formulasi itu dari ajaran praktis dan teks-teks hadis langsung dan ajaran praktis Nabi saw.

Persoalan perbudakan misalnya, yang saat ini menjadi pelanggaran terberat bagi kemanusiaan, pada masa Nabi saw belum sampai pada langkah pembebasan dan penghapusan. Yang muncul baru sampai penutupan pintu-pintu perbudakaan dan perlakuan manusiawi terhadap para budak. Pada saatnya, ajaran Nabi saw ini merupakan langkah paling revolusioner jika dibandingkan dengan peradaban dunia lain. Tetapi jika dibandingkan dengan masa sekarang, tidak mungkin dipadankan. Pada masa Nabi saw, budak tetap budak, yang tidak memiliki hak pilih terhadap dirinya dan tidak memiliki hak milik sama sekali terhadap hartanya. Pada saat sekarang ini, perlakuan seperti ini merupakan pelanggaran yang paling jahat terhadap kemanuisaan.

Ajaran Nabi saw, bisa sampai pada kesimpulan penilaian perbudakan sebagai kejahatan, jika ajaran teks hadis dianggap sebagai proses transformasi sosial yang dimulai pada masa Nabi saw dan harus dilanjutkan pada masa-masa berikutnya, termasuk pada masa sekarang ini. Cara pandang yang sama juga harus dilakukan, jika ingin menemukan semangat pembelaan teks-teks hadis pada isu-isu ketenagakerjaan perempuan. Karena persoalan­-persoalan perempuan pekerja, seperti yang diungkap di atas, tidak ditemukan padanannya pada masa Nabi saw. Sehingga sangat sulit untuk ditemukan teks-­teks hadis yang persis membicarakan isu-isu terse­but.

Pada prinsipnya, ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw menganjurkan setiap orang untuk bekerja dan berusaha sebagai bekal hidup. Anjuran untuk berusaha dan bekerja banyak sekali ditemukan dalam berbagai ayat Alquran dan teks hadis Nabi Muhammad saw. Lebih dari lima puluh tempat dalam Alquran, keimanan selalu dikaitkan dengan amal shalih yang secara literal berarti kerja-kerja positif. Amal shalih yang vertikal berarti ibadah-ibadah ritual kepada Allah Swt, sementara amal shalih yang horizontal adalah ibadah-ibadah sosial, politik dan ekonomi untuk kepentingan penguatan diri, kemandirian dan keadilan masyarakat.

Dalam suatu ayat Alquran, dinyatakan betapa bekerja dianjurkan langsung setelah menunaikan sembahyang. “Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikumandangkan panggilan untuk sembahyang pada hari Jum’at, maka bergegaslah (hadir) untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah aktivitas jual beli. Demikian itu adalah lebih baik bagi kamu, jika kamu mengetahui. Apabila telah menunaikan sembahyang, maka bergegaslah menyebar ke (penjuru) bumi, carilah rizki Allah dan ingatlah Allah sesering mungkin. Agar kamu menjadi orang-orang yang sukses”. (QS. AI-Jum’ah, 62: 9-10). Dari ayat ini, bisa dikatakan bahwa mencari penghidupan dengan berbagai aktivitas itu diperintahkan langsung oleh Allah Swt, atau sama persis dengan perintah sembahyang.

Anjuran bekerja dalam Islam, adalah untuk kecukupan diri, kemandirian dan terhindar dari kemiskinan dan perilaku meminta-minta. Dalam suatu teks hadis, Nabi Muhammad saw bersabda: “Tidak ada makanan yang dikonsumsi oleh seseorang, yang lebih baik dari hasil jerih pekerjaan tangannya sendiri, sesungguhnya Nabi Dawud as selalu memakan dari hasil pekerjaan tangannya sendiri”. (Jami’ al-Ushul, Xl/224, no. hadits: 8108). Dalam hadis lain, “Sungguh, demi Dzat yang menguasai diriku, seseorang yang menggunakan seutas tali, mencari kayu bakar dan mengikatkan ke punggungnya, (lalu menjulanya ke pasar) adalah lebih baik baginya daripada harus meminta-minta kepada orang lain, yang kadang diberi dan terkadang ditolak”. (Bukhari, no. hadits 1470).

Ada beberapa hal yang bisa dipahami dari kedua teks hadis ini. Di antaranya, bahwa kecukupan ekonomi menjadi nilai tambah sendiri dalam pandangan Nabi saw. Pada prakteknya, dalam tataran sosial kecukupan ekonomi juga menjadi kekuatan posisi tawar tersendiri untuk bisa memperoleh akses terhadap sumber-sumber sosial, politik dan ekonomi yang lain. Pengalaman perempuan menjadi sangat nyata dalam hal ini. Baik di dalam rumah tangga maupun dalam dunia publik, posisi posisi tawar mereka sangat lemah karena tidak memiliki kecukupan diri terhadap kebutuhan ekonomi mereka. Dari ketidakcukupan ini, kemudian terbangunlah stereotip yang lain terhadap perempuan. Bahwa mereka seharusnya di rumah saja, tidak perlu bekerja, tidak perlu memiliki harta dan tidak perlu memperoleh gaji tambahan untuk keluarga karena dia tidak ada kewajiban memberikan nafkah.

Untuk merubah stereotip ini, salah satunya adalah perempuan harus memiliki kecukupan diri dan tidak ada ketergantungan ekonomi terhadap siapapun. Ketika kecukupan ini sudah diperoleh, perempuan akan memiliki kebebasan untuk menentukan sikap dalam melakukan tawar menawar dengan siapapun yang ia hadapi. Tetapi prakteknya, perempuan mengalami kendala tersendiri ketika berupaya melakukan pencukupan diri. Kendala itu yang seringkali menghadang dan datang dari luar diri perempuan itu sendiri, sehingga ia kesulitan melakukan upaya kecukupan diri. Jika bisa dilakukanpun, yang terjadi seringkali ia menjadi korban kekerasan dalam dunia kerja yang digeluti.

Kepada individu, baik laki-laki maupun perempuan, kedua teks hadis tersebut menganjurkan untuk melakukan pencukupan diri. Ketika ini sulit dilakukan, maka menjadi tanggung jawab pemerintah untuk membuka kesempatan bagi mereka agar bisa melakukan upaya pencukupan diri. Karena hanya dengan kecukupan diri itu, seseorang setidaknya bisa terhindar dari kenistaan dan kesewenang-­wenangan orang lain.

Lanjutkan membaca

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here