Tauhid dan Khilafah
Umar Chapra dalam bukunya ‘Islam and Economic Challange’ menyatakan, bahwa prinsip dasar aktivitas-aktivitas ekonomi dalam Islam adalah tiga hal; tauhid, khilafah dan ‘adalah (keadilan). Tauhid adalah prinsip yang paling mendasar, yang menjadi landasan utama setiap aktivitas orang muslim. Tauhid secara literal berarti mengesakan Allah Swt. la merupakan sebuah pengakuan bahwa hanya ada satu Tuhan, satu kebesaran, satu keagungan, satu kemutlakan, yaitu Allah Swt. Secara vertikal, tauhid merupakan pengakuan kehambaan untuk memulai segala aktivitas berawal dari-Nya dan berakhir kepada-Nya. Secara horizontal, tauhid berimplikasi pada kesetaraan dan egaliterian antar manusia tanpa memandang kelas, suku dan jenis kelamin. Ketika tidak ada kemutlakan kecuali kepada Allah SWT, maka semua orang menjadi setara dan egaliter. Tidak boleh ada penghambaan antar sesama manusia, perendahan, pelecehan, penghapusan hak dan pemaksaan atas nama apapun.
Kesetaraan laki-laki dan perempuan berawal dari ajaran dasar tauhid ini. Tidak boleh ada previlasi secara khusus satu jenis kelamin terhadap yang lain, melebihkan atau mengurangi hak atau melakukan pelecehan dan kekerasan karena alasan jenis kelamin. Kesetaraan ini menjadi landasan dasar bagi tugas-tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Prinsip khilafah, menegaskan bahwa manusia, baik laki-laki maupun perempuan tidak dijadikan untuk sesuatu yang tidak bermakna (‘abats). Tetapi untuk tugas khilafah, wakil Allah Swt di muka bumi untuk memakmurkan kehidupan dan menjamin kelangsungan.
“Dan (ingatlah wahai Muhammad) ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat bahwa Aku akan menjadikan (manusia sebagai) khalifah di muka bumi” (QS. AI-Baqarah, 2: 30). “Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, dan memerintahkan kamu untuk memakmurkan (bumi) di atasnya”. (QS. Hud, 11: 61).
Laki-laki dan perempuan dalam tugas khilafah ini adalah sama. Bahkan disebutkan, bahwa mereka satu dengan yang lain adalah mitra yang harus saling menolong dan melengkapi. “Orang-orang mukmin laki-laki dan orang-orang mukmin perempuan, yang satu adalah mitra saudara bagi yang lain, (dalam) memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, mendirikan sholat, membayarkan zakat, mentaati Allah dan rasul-Nya. Mereka semua, adalah orang-orang yang akan dirahmati Allah. Sesungguhnya Allah Maha Agung dan Maha Bijaksana”. (QS. At-taubah, 9: 71 ). Amar ma’ruf adalah salah satu tugas kekhilafahan, yang bisa saja dilakukan dengan gerakan bisnis untuk kecukupan diri dan kemandirian agar terhindar dari sesuatu yang mungkar dan nista.
Al-‘adalah, atau keadilan disamping sebagai prinsip dasar juga menjadi tujuan utama dari segala aktivitas kekhalifahan, baik dalam bidang sosial, politik maupun ekonomi. Keadilan, dalam Alquran juga disebut sebagai istilah wasathan. Umat wasathan berarti umat yang bersedia bersaksi dengan penuh kejujuran dan keadilan terhadap siapapun, tanpa pandang ras, agama, suku, maupun jenis kelamin. (lihat: al-Baqarah, 2: 143). Keadilan harus menjadi prinsip dasar dan selalu diperjuangkan, sehingga ketika ada satu orang, satu kelompok, atau satu jenis kelamin tidak memperoleh hak yang semestinya, maka demi keadilan mereka harus diperjuangkan, ditegakkan dan dibela.
Ketika perempuan, karena struktur sosial tertentu, tidak secara leluasa bisa melakukan hak dan kewajiban kekhalifahannya, maka pemihakan terhadapnya menjadi sebuah keniscayaan. Agar keadilan bisa ditegakkan, dan amanah kekhalifahan kembali bisa menjadi hak perempuan, seperti juga menjadi hak laki-laki. Dengan mendasarkan pada tiga prinsip dasar di atas, Islam sejak awal telah memberikan hak sama dalam hal usaha antara laki-laki dan perempuan. Tidak ada satu ayat maupun teks hadis yang melarang perempuan melakukan usaha-usaha ekonomi dan bisnis. Bahkan beberapa ayat Alquran mengisyaratkan kerja-kerja yang dilakukan perempuan. Dua putri Nabi Syuaib ra yang menggembala kambing (baca: QS. Al-Qashash, 23-28), Ratu Saba yang bekerja di bidang politik dan pemerintahan (baca: QS. An-Naml, 20-44) dan perempuan yang bekerja jasa persusuan (baca: QS. Al-Baqarah, ayat 233) dan pemintalan (baca: QS. Ath-Thalaq, ayat 6).
Tujuan usaha adalah kepemilikan, karena itu ketika usaha menjadi hak perempuan seperti juga hak laki-laki, maka kepemilikan juga menjadi hak kemerdekaan perempuan sepenuhnya. Ketika masyarakat Jahiliah memiliki kebiasaan untuk mewarisi harta perempuan yang ditinggal mati suaminya, bahkan mewarisi tubuhnya, Islam datang untuk membatalkan kebiasaan keji tersebut. “Wahai orang-orang yang beriman, tidak dihalalkan bagi kamu untuk mewarisi (harta atau tubuh) perempuan dengan paksa, dan janganlah kamu halangi mereka (untuk menikah dengan yang lain) agar kamu bisa memperoleh sesuatu dari (milik mereka) yang telah kamu berikan kepada mereka”. (QS. An-Nisa, 4: 19).
Ketika sesuatu telah menjadi milik perempuan, dengan jalan tukar-menukar atau kontrak yang dibenarkan, maka ia menjadi miliknya sepenuhnya. Siapapun tidak berhak mencampuri, mempergunakan atau mengambil tanpa seizinnya. Dalam hal ini, seringkali suami merasa berhak atas harta istrinya, sehingga ia terbiasa untuk menggunakan dan mengambil tanpa seizinnya. Perilaku ini telah dikritik Alquran dengan pedas, bahkan disebutkan termasuk uang mahar yang diberikan suami terhadap istri sekalipun dalam jumlah yang sangat besar, tidak halal bagi suami untuk mengambilnya begitu saja tanpa seizin sang istri.
“Dan berikanlah kepada perempuan, mahar yang menjadi hak mereka dengan penuh kerelaan. (Janganlah kamu mempergunakannya), kecuali jika mereka merelakan dari sesuatu (yang diberikan itu), maka makanlah ia dengan kenikmatan dan keleluasaan”. (QS. An-Nisa, 4: 4).
“Apabila kamu ingin menggantikan pasangan kamu dengan pasangan yang lain, dan kamu telah memberikan kepadanya sejumlah harta yang melimpah, maka kamu tidak berhak untuk mengambilnya sedikitpun. Bagaimana kamu berani mengambilnya, padahal itu perbuatan bohong dan dosa yang nyata?”. (QS. An-Nisa, 4: 20).
Ayat-ayat ini mengisyaratkan bahwa perempuan memiliki kemerdekaan penuh terhadap harta dan kekayaan yang menjadi miliknya. Persoalan apakah dia mau memberikan kepada yang lain atau menggunakannya untuk kepentingan yang dia inginkan, adalah merupakan hak dia sepenuhnya. Tetapi seringkali, pihak-pihak lain memanfaatkan kelemahan perempuan untuk mempergunakan segala yang dimilikinya. Seringkali perempuan tanpa sadar tidak menghiraukan hak-hak miliknya, tidak mencatat dan tidak menyimpannya sesuai dengan namanya, sehingga kemudian ketika terjadi perselisihan seluruh hartanya telah berpindah tangan begitu saja.
Hal ini, dirasakan betul oleh Syekh Arsyad alBanjari seorang ulama besar pada abad 19 ketika melihat perilaku masyarakat Banjar, dimana suami dan istri secara bersama-sama bekerja berjualan di atas perahu. Karena itu, menurut al-Banjari ketika terjadi kematian salah seorang dari suami istri, sebelum pewarisan harus ada pembagian terlebih dahulu secara merata antara mereka berdua. Fatwa inilah yang kemudian mengilhami para ulama berikutnya, untuk memberlakukan pembagian gonogini antara suami dan istri. Jika tidak ada kebijakan fatwa ini, seringkali hasil usaha istri melebur begitu saja dalam kepemilikan suami. Sehingga perempuan menjadi tidak memiliki apa-apa dari hasil jerih payahnya sendiri, kecuali dari apa yang diberikan secara sukarela dari sang suami.
Bisa saja perempuan pada akhirnya memberikan kepada orang yang mereka cintai, suami, anak atau orang tua. Tetapi pemberian dan kerelaan itu dilakukan setelah ada kejelasan kepemilikan dan kejelasan bagian perempuan. Dalam istilah pewarisan ada pernyataan; “Orang bisa membagikan kepada siapapun dengan rela, setelah kejelasan pembagian” (innama ar-ridha ba’da al-qismah). Tetapi seringkali banyak pihak yang menghalangi hak-hak perempuan, atau mengelabui mereka sehingga mereka secara tidak sadar hanyut melupakan diri mereka sendiri dan pada akhirnya dilupakan orang lain. Pada konteks seperti ini, pemihakan terhadap perempuan dengan melakukan pendidikan penyadaran dan tuntutan kebijakan yang bersahabat terhadap mereka menjadi sebuah keniscayaan.
Agenda Pemihakan Perempuan
Konstruksi sosial seringkali berlaku tidak adil terhadap perempuan, bahkan melakukan kekerasankekerasan yang membuat mereka terpuruk dan terhina. Pada konteks ini, lahirlah aturan-aturan kepada perempuan untuk hanya berputar-putar pada aktivitas domestik (sumur, kasur dan dapur), tidak diperkenankan untuk mengembangkan diri pada wilayah publik (baik sosial, ekonomi apalagi politik), kalaupun bekerja maka hasilnya seringkali tidak dinikmati mereka sendiri. Para perempuan seringkali dikondisikan untuk selalu berkorban untuk orang lain; orang tua, anak dan seringkali untuk suami. Mereka sendiri secara tidak sadar kemudian melupakan hak-hak yang mesti mereka nikmati. Merekapun lalu memilih untuk tidak banyak berusaha, karena lebih memilih melayani anak dan suami. Padahal ketika suami tiada, atau diceraikan, dia tidak bisa bergantung kecuali pada diri mereka sendiri. Bahkan ketika berusaha, juga seringkali mereka lebih memilih untuk tidak mencatatkan atas nama diri mereka. Mereka ingin berkorban segalanya, untuk orang-orang yang mereka cintai.
Pengorbanan para perempuan sungguh sangat berarti dan bernilai, tetapi seringkali tidak diimbangi dengan pengorbanan dan pemihakan pihak lain terhadap mereka. Karena itu, kecukupan diri dan kemandirian bagi perempuan menjadi sangat penting sebelum melakukan pengorabanan. Agar kelangsungan hidup menjadi lebih terjamin dan amanah kekhalifahan bisa dilaksanakan secara sempurna. Pada konteks ini, pemihakan perlu dilakukan bagi perempuan. Terutama oleh perempuan sendiri, dan oleh kebijakan struktural yang lebih menjamin kelangsungan hidup mereka.
Pemihakan ini diperlukan agar tidak ada lagi penyia-nyiaan, tidak ada lagi pelecehan, tidak ada lagi kebodohan dan tidak ada lagi kemiskinan yang dialami perempuan. Pengorbanan akan sangat berarti, jika dilakukan oleh orang-orang yang dalam dirinya ada kekuatan, kepintaran dan kecukupan. Jika ingin mendidik tentu harus pintar, jika ingin memberi tentu harus memiliki dan jika ingin melindungi dia harus kuat terlebih dahulu. Dalam konteks inilah, Nabi Muhammad saw. bersabda: “Mulailah dengan dirimu sendiri, cukupkanlah kebutuhannya, lalu jika ada kelebihan nafkahkanlah untuk keluargamu, jika ada kelebihan lagi, nafkahkanlah untuk kerabatmu, jika ada kelebihan lagi, nafkahkanlah kepada tetangga kananmu dan tetangga kirimu”. (Riwayat al-Bukhari, lihat: Jami al-Ushul, 9/ 57, no. hadits: 5924).
Jika berusaha, berniaga atau bekerja menjadi awal kekuatan bagi perempuan, maka mesti dilakukan dengan segenap kemampuan. Dan bagi pihak lain, terutama pihak pengambil kebijakan harus memberikan kesempatan, dukungan dan pemihakan. Dalam hal ini, juga bisa dikatakan bahwa pemihakan terhadap perempuan menjadi satu-satunya cara untuk menghapuskan segala bentuk kekerasan yang terjadi pada perempuan. Termasuk ketika mereka berada pada duni kerja. Dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip tauhid, khilafah, adalah pemihakan terhadap yang lemah, kita bisa menyusun kerangka fiqih ketenagakerjaan yang lebih adil, terutama terhadap perempuan. Semoga!
Majalah Swara Rahima No.12 th.IV September 2004