Oleh: Leli Nurohmah

Mendefinisikan kerja bagi perempuan sampai  saat ini memang cukup sulit. Kita bisa melihat seorang perempuan dalam keluarga yang melakukan pekerjaan rumahnya seperti memasak makanan, mencuci pakaian dan menyapu rumah. Bahkan kadang ia juga menjahitkan pakaian untuk suami dan anak-anaknya. Tetapi saat dia ditanya apa pekerjaan ibu? Pasti jawaban yang akan kita dengar adalah menganggur atau hanya ibu rumah tangga.

Atau contoh lain adalah saat melihat ibu-ibu menjahit sepatu setengah jadi yang akan disetorkan ke pabrik yang akan ditukar dengan uang berdasarkan banyaknya jumlah yang dikerjakan. Saat ditanya apa pekerjaan ibu? Jawaban yang muncul akanlah sama “saya menganggur di rumah saja. lni hanya untuk mengisi kekosongan”. Padahal secara faktual upah yang didapat terkadang lebih besar dari yang didapat suami yang hanya sebagai tukang ojek di kampungnya. Tapi tetap ini tidak dianggap sebagai pekerjaan.

Hal ini seperti dapat dilihat dari hasil sebuah survei yang meng-interview para suami dengan pertanyaan, apakah istri mereka bekerja? Kontan sebagian besar mereka menjawab, “Tidak”. Namun, ketika pertanyaan yang sama di-paraphrase (diungkap dalam bahasa lain), “Jika istri Anda tidak membantu Anda, apakah Anda terbebani untuk menyewa pengganti dia?” Sebagian mereka kemudian menjawab “Ya.” (M. Chamie, Labour Force Participation of Lebanese Women, 1985)

Dari perdebatan di atas, nampak terlihat bahwa ternyata batasan definisi bekerja belum sepenuhnya dapat dipahami. Jika merujuk pada kenyataan sehari­hari di masyarakat, perempuan masih dibebankan dua peran; produksi dan reproduksi. Keadaan seperti ini kemudian diperparah juga dengan pemahaman keagamaan yang semakin membakukan wilayah perempuan sebagai orang yang bertanggungjawab untuk urusan domestik.

Sebuah artikel yang dipublikasikan oleh majalah Al-Jumuah berjudul “Islam and Women’s Work” menyitir penafsiran Q.S. al-Nisa’ [4]: 34 dan al-­Baqarah [2]: 233 untuk menghalangi perempuan memasuki wilayah ekonomi. Hal senada dilontarkan Al-Assaf dalam Al-Mar’ah al-Khalijiyah fi Majal al­-Tarbiyah wa al-Ta’lim (Women of the Gulf in the Field of Education). Menurutnya, keterlibatan atau akses perempuan ke sektor publik adalah merupakan keberhasilan proyek kapitalis. Tidak mengherankan jika menurut survey PBB, di negara-negara berpenduduk Muslim mayoritas seperti Bangladesh, Mesir, Yordan, Pakistan dan Syria, level perempuan yang bekerja sangat rendah (Blumberg, Making the Case for the Gender Variable, 1989).

Lalu apa sebenarnya makna bekerja bagi perempuan? Selama ini masyarakat masih memberikan nilai yang berbeda yaitu antara kerja publik yang menghasilkan uang dengan kerja-kerja domestik yang tidak mendatangkan keuntungan. Kerja-kerja domestik dengan berbagai macam bentuknya yang selama ini dilakukan perempuan dalam rumah tangga, dalam konstruk masyarakat kita seolah telah dianggap sebagai kewajiban seorang perempuan saat masuk ke dalam jenjang pernikahan. Sebuah kontrak sosial yang seolah tidak memberikan pilihan untuk perempuan, bahkan seringkali aturan ini diimbuhi dengan nama kewajiban. Tidak mengikuti aturan sosial ini merupakan suatu yang tabu dan di luar kebiasaan. Salah-salah akan dicap melanggar aturan agama dan tak layak mendapat predikat istri solehah. Walaupun pada kenyataannya, perkembangan sosial masyarakat saat ini telah membawa kepada perubahan dengan telah banyaknya perempuan yang juga terjun di sektor publik dan dalam berbagai wadah departemen baik swasta maupun lembaga pemerintahan. Tak jarang para perempuan ini menempati posisi-posisi strategis dan menghasilkan jumlah uang yang cukup tinggi. Hanya sayangnya, apa yang dilakukan para perempuan tersebut terkadang masih dimasukkan sebagai kategori bukan sebuah pekerjaan utama atau sebagai pencari nafkah utama.

Anggapan bahwa perempuan bukan pencari nafkah utama memang menjadikan anggapan bahwa setinggi apapun jabatan seorang istri atau sebesar apapun gaji yang diperoleh istri dari pekerjaannya di luar rumah tetap menjadikannya sebagai pencari nafkah tambahan. Bahkan peran istri sebagai pencari nafkah tambahan dan peran utamanya sebagai ibu rumah tangga jelas ditulis dalam UU RI No.1 pasal 31 ayat 3 dan pasal 34 tahun 197 4. Untuk itulah kemudian diajukan Undang-undang No.7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang dengan jelas menyanggah peran domestik perempuan tadi dengan menyatakan bahwa hak dan tanggung jawab suami dan istri selama perkawinan adalah sama, demikian juga hak dan tanggung jawab mereka sebagai orang tua. Dan sudah selayaknya ketimpangan tersebut dirubah kearah kesetaraan atau kesamaan, dan untuk merubah semua itu tentunya menjadi tanggung jawab kita bersama. Jadi seperti yang didefinisikan oleh Ratna Saptari dan Holzner bahwa kerja adalah segala hal yang dikerjakan oleh seorang individu baik untuk subsistensi; untuk dipertukarkan atau diperdagangkan; untuk menjaga kelangsungan hidup keluarga atau masyarakat (lihat Saptari dan Holzner 1997 : 20) menjadi lebih adil, karena tidak ada pembedaan jenis kelamin di dalamnya.

Ketika perempuan masuk dalam wilayah kerja, secara umum biasanya terdorong untuk mencari nafkah karena tuntutan ekonomi keluarga. Saat penghasilan suami belum dapat mencukupi kebutuhan keluarga yang terus meningkat, dan tidak seimbang dengan pendapatan riil yang tidak ikut meningkat. Hal ini lebih banyak terjadi pada lapisan masyarakat bawah. Bisa kita lihat bahwa kontribusi perempuan terhadap penghasilan keluarga dalam masyarakat lapisan bawah sangat tinggi. (lihat Asyiek et al. 1994).

Hal ini diperkuat oleh pandangan Ware (1981) dalam Dilema Wanita, antara lndustri Rumah Tangga dan Aktivitas Domestik (Ken Suratiyah et al, 1996) yang mengatakan bahwa ada dua alasan pokok yang melatarbelakangi keterlibatan perempuan dalam pasar kerja. Pertama, adalah keharusan, sebagai refleksi dari kondisi ekonomi rumah tangga yang rendah, sehingga bekerja untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga adalah sesuatu yang penting. Kedua, “memilih” untuk bekerja, sebagai refleksi dari kondisi sosial ekonomi pada tingkat menengah ke atas. Bekerja bukan semata-mata diorientasikan untuk mencari tambahan dana untuk ekonomi keluarga tapi merupakan salah satu bentuk aktualisasi diri, mencari afiliasi diri dan wadah untuk sosialisasi.

Jika memang demikian, maka gambaran di atas paling tidak telah menunjukkan bahwa sesungguhnya masuknya perempuan dalam kegiatan ekonomi merupakan kenyataan bahwa perempuan adalah sumber daya yang produktif pula. Oleh karena itu diperlukan juga perbaikan kondisi dan penciptaan kesempatan kerja yang sesuai dengan realitas dan perubahan sosial yang ada saat ini. Perubahan akan kebijakan tentang kebijakan upah, tunjangan dan sistem pendukung yang berbeda antara laki-laki dan perempuan harus menjadi perhatian. Pun tentang peningkatan pendidikan bagi perempuan. Karena sebagaimana dibuktikan pada perempuan kelas bawah, dengan modal pendidikan yang rendah maka pilihan pekerjaan bagi mereka juga menjadi sangat kecil, dan tentunya dengan bayaran yang juga minim. Dalam hal ini maka pendidikan menjadi faktor yang paling berpengaruh terhadap kemandirian perempuan itu sendiri.

Berkaitan dengan sistem pendukung sebagai bagian dari kebijakan yang diperlukan untuk mendukung perempuan yang bekerja di luar rumah, sesungguhnya sistem pendukung inipun dapat menghasilkan sebuah peluang kerja juga bagi perempuan. Misalnya adalah tempat penitipan anak, sarana untuk tempat menyusui bagi para ibu menyusui, hingga pelayanan jasa laundry dll. Walaupu di zaman sekarang ini jarang sekali ada tempat penitipan anak yang menyediakan juga jasa menyusui bagi anak-anak titipan tersebut. Anak-anak tersebut biasanya hanya akan mendapatkan susu formula yang dipesankan oleh orang tuanya. Padahal dalam sejarah Islam sendiri tercatat contoh kasus mengenai perempuan yang menerima upah untuk jasa menyusui, bahkan Nabi Muhammad Saw sendiri adalah anak dari keturunan bani Hasyim yang pernah menjadi anak susu upaya dari perempuan bernama Halimah Assa’diyah.

Terlepas dari persoalan definisi dan problem seputar perempuan bekerja, nampaknya sudah saatnya kita memberikan perhatian dan penghargaan lebih kepada perempuan yang bekerja. Baik dia bekerja di dalam rumah maupun di luar rumah atau dia bekerja utuk mencari nafkah atau sebagai pilihan aktualisasi diri.

Majalah Swara Rahima No.12 th.IV September 2004

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here