Foto: ashoka.org
Tema seputar “perempuan bekerja” adalah tema yang telah muncul sejak lama. Meski telah muncul sejak lama namun perdebatan masalah ini seolah tak kunjung selesai. Berbagai aspek yang melingkupi baik dari segi agama, sosial, hingga psikologis nyatanya masih menjadi bahan perbincangan hingga kini. Hal ini tidak lepas dari pandangan umum masyarakat yang masih beranggapan bahwa keluarga yang ideal adalah suami bekerja di luar rumah dan perempuan sebagai istri lebih pantas bekerja di dalam rumah.
Untuk rubrik opini kali ini, redaksi Swara Rahima merasa perlu mengangkat tema perempuan bekerja ini, selain agar pembaca setia Swara Rahima mendapatkan cara pandang yang lebih kaya, juga untuk memberikan sumbangan pemikiran yang lebih berkeadilan gender.
Rahima mengundang Nani Zulminarni, Ketua Komisi Nasional Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) yang telah menjangkau delapan propinsi yaitu DI Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, NTB, NTT, Maluku Utara dan Sulawesi Tenggara. Berikut cuplikan wawancara bersama Nani Zulminarni
Bagaimana pendapat Mbak tentang fenomena perempuan bekerja?
Sebenarnya dunia perempuan bekerja menurut saya terbagi 4 kelompok: pertama, kelompok ibu rumah tangga yang selama ini dianggap tidak bekerja. Kedua, kelompokkelompok perempuan yang bekerja di sektor informal dan pertanian yang dalam kategori undangundang sektor ini tidak termasuk sebagai pekerjaan. Ketiga, perempuan-perempuan profesional yang memiliki pendidikan tinggi. Perempuan-perempuan ini masuk ke sektor-sektor yang bergengsi dengan apresiasi karir dengan jabatan tidak cuma manajer tetapi juga termasuk pada dunia-dunia yang profesional. Keempat, perempuan pekerja yang masuk ke dalam sektor-sektor formal seperti buruh perempuan yang bekerja di pabrik. Nah, perempuan yang termasuk di dalam kelompok pertama, kedua dan terakhir tadi sebagian besar adalah dari kelompok perempuan menengah ke bawah. Sedangkan kelompok menengah ke atas mungkin memiliki persoalan yang berbeda, bukan persoalan ekonomi akan tetapi persoalan-persoalan kesetaraan gender. Dan menurut saya, kelompok menengah ke atas ini masih kurang bersuara. Sekarang yang menjadi persoalan adalah dua kelompok pertama yakni kelompok ibu rumah tangga dan kelompok perempuan pekerja informal.
Lalu bagaimana fenomena perempuan bekerja berdasarkan pengalaman di lembaga Mbak selama ini?
Berdasarkan pengalaman saya dari pekerjaan yang sekarang saya tekuni, pada kenyataannya ada banyak perempuan yang selama ini sesungguhnya telah memainkan perannya sebagai kepala keluarga di Indonesia. Bahkan jumlah perempuan kelapa keluarga ini mencapai 6 juta jiwa. Angka ini baru merujuk kepada data yang resmi (data statistik) yang mencakup para perempuan yang benar-benar menjadi janda karena bercerai atau suaminya meninggal. Sedangkan masih banyak perempuan yang juga menjadi kepala rumah tangga tetapi tidak tercatat karena misalnya suami mereka hilang begitu saja setelah konflik, ditinggal merantau ke negara lain sebagai TKI, ditinggal begitu saja tanpa sebab dan status yang jelas, suami sakit berkepanjangan dan tidak menikah, dll. Pada kesehariannya, para perempuan ini semuanya bekerja dan menjadi pencari nafkah utama dan mereka bertanggung terhadap seluruh rumah tangga. Perempuan yang masuk dalam kategori ini adalah para perempuan yang ditinggal dalam jangka waktu lama dan tidak ada komunikasi, tanggung jawab dan kontribusi dalam rumah tangga sekitar lebih dari 1 tahun, bahkan ada juga yang sampai 7 tahun.
Bagaimana dengan para pekerja sosial atau muballigah?
Nani : Mereka tetap dikatakan bekerja, walaupun mereka belum tentu selalu mendapatkan imbalan dari pekerjaan mereka. Bila merujuk kepada kategori bekerja dalam undang-undang ketenagakerjaan, kategori bekerja memang selalu berkaitan dengan pengupahan (imbalan). Dalam konteks kita misalnya perempuan bekerja artinya ia mampu memproduksi sesuatu atau menghasilkan sesuatu yang berguna. Bentuknya bisa beragam, dapat berupa jasa, tenaga, bahan kemudian ada proses mengerjakan dan ada hasil.
Apa persoalan perempuan yang bekerja di sektor Informal?
Perempuan-perempuan di sektor informal ini misalnya para perempuan petani atau perempuan nelayan. Pada kenyataannya para perempuan ini yang menjual dan mengolah hasil pertanian atau nelayan. Bahkan mereka mengerjakan 60% dari pekerjaan pertanian. Tetapi karena pandangan yang patriarkis tetap saja mereka tidak pernah disebut pekerja (petani atau nelayan). Banyak orang menganggap mereka hanya sebagai perempuan sedangkan identitas lainnya itu tidak muncul. Karena identitas pekerjaan yang mereka lakukan tidak diakui. Dampaknya adalah terhadap perolehan hak, karena dengan tidak diakui identitas pekerjaan mereka maka mereka juga menjadi tidak mendapatkan hak sebagaimana pekerja yang lain dengan jaminan yang baik.
Bagalmana dengan problem di perempuan profesional?
Saya melihat untuk kalangan ini, mereka memiliki kesempatan yang lebih tinggi. Bagi saya para perempuan ini hanya memiliki dua pilihan; pilihan pertama; mereka melakukan semua aktivitas sebagai super women, yaitu tetap menjalani beban ganda. Perempuan seperti ini harus benar-benar luar biasa upayanya. Kebanyakan jika para perempuan ini harus pulang malam karena bekerja di luar rumah, maka mereka dituntut untuk berusaha fresh di rumah demi memenuhi segala tuntutan sebagai ibu rumah tangga. Sedangkan untuk pilihan kedua; mereka lebih memilih untuk tidak menikah, atau kalaupun mereka menikah, karena berat menjalankan peran ganda tersebut maka mereka akhirnya memilih untuk bercerai. Tentu saja pilihan-pilihan tersebut sangat berat bagi perempuan, belum lagi harus berhadapan dengan pandangan umum masyarakat yang masih menganggap rendah perawan tua (perempuan yang tidak menikah) dan juga menganggap perempuan janda tidak baik.
Untuk contoh pilihan bercerai bagi perempuan bisa karena berbagai alasan; tuntutan beban ganda yang terlalu berat, tuntutan psikologis dari pandangan masyarakat yang menganggap bahwa kalau perempuan terlalu sibuk di luar rumah adalah perempuan yang tidak benar, juga bisa jadi karena adanya tindakan kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga dengan berbagai bentuk. Baik itu berupa kekerasan psikologis dalam rumah tangga, dalam keluarga maupun di dalam masyarakat.
Lalu pilihan perempuan yang bekerja juga sesungguhnya menjadi sulit, misalnya adanya pelecehan dan kondisi yang tidak aman di sekeliling mereka. Misalnya para perempuan yang bekerja di sektor penjualan, dimana dalam hal ini seringkali perempuan dipakai tubuhnya untuk menarik konsumen. Perempuan dipakai hanya untuk kepentingan kapitalis sedangkan para perempuan tidak menyadari bahwa sebetulnya dia sudah dieksploitasi. Di satu sisi perempuan menikmatinya karena mereka dibayar dengan kemewahan padahal di luar kesadaran tanpa sadar nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai kemerdekaan dan kebebasannya tereksploitasi.
Apa kriteria kepala keluarga menurut mbak? Apakah hanya dengan batasan bahwa mereka adalah pencari nafkah utama?
Berdasarkan referensi yang pernah saya baca, kepala keluarga memang diterjemahkan sebagai bagian keluarga yang memberikan nafkah kepada keluarganya. Akan tetapi kemudian saya melihatnya lebih dari itu, yaitu dengan mendefinisikan kepala keluarga sebagai bagian dari keluarga yang menafkahi, mengambil keputusan dalam keluarga, memelihara dan bertanggung jawab kepada seluruh keluarga. Perempuan yang memenuhi kriteria tersebut tentunya tetap berhak disebut sebagai perempuan kepala rumah tangga.
Meskipun perempuan tersebut maslh memiliki suami?
NZ : Ya. Contohnya misalnya ada perempuan yang suaminya cacat dan benar-benar tidak bisa ikut membina rumah tangga sehingga semua pengambilan keputusan dia yang menentukan. Dia juga yang mencari nafkah dan mengatur keberlangsungan rumah tangga tersebut.
Bagaimana bentuk kerjanya?
Kita memfasilitasi mereka untuk mengembangkan sebuah gerakan yaitu dengan melalui pemberdayaan ekonomi. Karena di delapan daerah ini taraf ekonomi mereka sangat miskin. Dalam hal ini kami menerapkan 3 unsur pemberdayaan. Pertama, pengorganisasian yaitu mereka diorganisir betul baik darikapasitasnya, difasilitasi untuk pengembangan organisasi, mengembangkan kepemimpinannya, mengembangkan dirinya di dalam pengorganisasian ini dan pendampingan rutin dengan model simpan pinjam. Kedua, pengembangan jaringan mereka. Selama ini mereka tidak eksis, jadi banyak orang yang tidak mengetahui keberadaan mereka. Makanya kami ingin mereka mengembangkan jaringan sesama mereka dengan gerakan perempuan lainnya. Ketiga, Pemberdayaan dengan model pendampingan advokasi. Ada dua hal advokasi yang diperhatikan, pertama berkaitan dengan kebijakankebijakan langsung maupun tidak langsung yang berdampak kepada para perempuan ini, misalnya tentang undang-undang perkawinan dan keluarga, lalu juga misalnya soal kepemilikan, ataupun perizinan. Hal ini sangat diperhatikan karena para perempuan ini tidak punya suami. Sedangkan dalam norma masyarakat umum, kepemilikan identik dengan suami. Kedua, proses bahwa pendidikan nilai. Nilai-nilai di masyarakat masih memandang perempuan janda lebih rendah dari perempuan bersuami. Nilai-nilai di masyarakat inilah yang sedikit demi sedikit dicoba untuk diubah. Hal ini salah satunya agar para perempuan tersebut tidak mudah terjerumus sebagai pekerja seks.