Beranda Ulama Perempuan Pemikiran Bekeria sebagai Tugas Kekhalifahan di Muka Bumi (Bagian 2)

Bekeria sebagai Tugas Kekhalifahan di Muka Bumi (Bagian 2)

0
892
Foto: ashoka.org

Lalu apa hambatan yang dihadapi selama ini?

NZ : Hambatan terbesar sebetulnya dari mereka sendiri. Karena selama ini mereka tidak pernah bersosialiasi dengan organisasi semacam PKK. Awalnya mereka takut ketika diajak untuk kumpul bersama. Jadi butuh waktu untuk meyakinkan bahwa sesungguhnya kami ingin bersama-sama dengan  mereka untuk membangun kekuatan bersama. Hambatan kedua adalah berasal dari masyarakat. Masyarakat nampak iri dengan pengorganisiran para perempuan janda ini. Lalu mulailah masyarakat membuat cerita-cerita bahwa kita mau menjual para perempuan tersebut, dll. Dan hambatan ketiga adalahhambatan dari pemerintah berkaitan dengan akses untuk para perempuan kepala keluarga ini.

 

Apa alasan mereka tidak pernah bersosialisasi dalam organisasl seperti PKK?

Alasan paling utama adalah karena mereka tidak memiliki cukup banyak waktu. Karena mereka bekerja dari jam 06.00 hingga jam 15.00 di pasar. Sehingga mereka tidak pernah tahu ada apa di sekelilingnya. Apalagi bagi mereka yang tinggal di daerah seperti Aceh yang selalu dalam kondisi konflik. Mereka memang kadang mendapatkan bantuan dari wilayah yang lain melalui organisasi­organisasi semacam PKK tetapi karena suami mereka tidak ada dan mereka harus menanggung anak-anak mereka maka mereka selalu syarat dengan persoalan dan tidak pernah ada waktu untuk bersosialisasi dengan lebih jauh lagi.

 

Bila mereka harus bekerja seharian lalu bagaimana dengan anak-anak mereka?

Biasanya anak yang paling besar menjaga adiknya yang kecil. Maka biasanya mereka jadi putus sekolah. Atau kalau mereka masih kecil biasanya mereka akan ikut ibunya bekerja. Semua teman­teman PPSW, Pendamping Lapang dan Seknas Pekka, ketika berada di lapangan selalu meneteskan air mata sambil merasa heran sendiri, ternyata ,masih masih ada orang miskin yang benar-benar miskin bahkan hingga bekas kandang babipun mereka jadikan rumah untuk berlindung. Anak-anaknya tidak pernah mandi dan makan tidak menentu. Jika hari ini bisa makan maka besok apakah bisa makan atau tidak? semua dialami mereka dengan sangat tidak menentu. Tentu saja hal ini jika baru dilihat secara ekonomis. Belum lagi batin mereka yang ditinggal begitu saja oleh suami. Kadang merekapun dikucilkan oleh masyarakat sehingga mereka merasa tidak pernah punya teman, merasa tidak berguna.

 

Bagi kebanyakan umat Islam pekerjaan di rumah dianggap sebagai bagian dari kewa­jiban Istri, bagaimana pendapat mbak tentang ini?

Memang kita sebagai perempuan Islam seringkali ditekankan bahwa kesenangan yang akan diperoleh perempuan adalah nanti di surga. Karena apa yang perempuan lakukan di dunia ini adalah pengabdian misalnya taat pada suami, semua itu akan mendapatkan pahala dan diperhitungkan di akhirat nanti. Lalu kita juga dibuat ragu karena ternyata menurut riwayat yang disampaikan Nabi, ternyata di neraka juga banyak sekali perempuan. Artinya hal ini seperti penekanan lain kepada perempuan bahwa kalau tidak mengabdi dengan baik, tidak taat kepada suami maka ancaman dosa akan didapatnya. Padahal sesungguhnya dalam rumah tangga, pembagian kerja tidak bisa dihindari. Dan menurut saya memang harus ada pembagian kerja karena pembagian kerja sudah baku. Misalnya istri harus mengerjakan ini, suami mengerjakan ini. Saya kira pembagian kerja dalam rumah tangga harus sangat flexible. Sebetulnya konsep rumah tangga sakinah mawaddah warohmah itu bukan berarti satu pihak saja yang bergembira karena dilayani oleh pihak yang lain, akan tetapi adalah saling melayani. lni yang tidak pernah diajarkan pada perempuan karena sejak kecil kepada kita selalu ditanamkan bahwa perempuan yang baik adalah yang penurut, sementara laki-laki yang dituruti. Dalam fiqh hal seperti ini sangat dikotomis sehingga akhirnya salah satu mengalami subordinasi. Kalaupun misalnya ada perempuan yang memilih untuk hanya di rumah, menurut saya tidak masalah selagi memang itu adalah pilihan bebas dirinya.

 

Apa hal yang terpenting yang harus diperhatikan dalam hal ini?

Yang terpenting adalah para perempuan ibu rumah tangga tetap berhak untuk mendapatkan informasi, aktualisasi diri terhadap hak-hak dia yang lain sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat. Bagi saya, status ibu rumah tangga sama dengan seorang manajer dan pengakuan-pengakuan seperti ini harus dikampanyekan. Sayangnya, karena bentukan dari masyarakat, perempuan yang tidak bekerja di luar rumah seringkali menjadi minder dan merasa berbeda dengan perempuan-perempuan yang bekerja. Karena semua hal selalu dihitung dengan uang atau imbalan. Hal ini adalah juga akibat dari kehidupan kita sangat materialistis, yang mengukur segala sesuatu dengan materi. Dan karena pandangan materialistis ini pula menjadikan suami sebagai orang yang penting dalam rumah tangga karena ia menghasilkan uang dari gaji bekerjanya. Sementara perempuan sebagai ibu rumah tangga yang bekerja di rumah tidak terfikirkan sebagai bagian dari rumah tangga yang penting. Padahal kalau kita bisa melihat dengan lebih jernih lagi, karena perempuanlah anak di rumah menjadi tumbuh besar, dan rumah tangga bisa dipertahankan hingga sekian tahun.Kalau tiba-tiba suaminya selingkuh, perempuan yang dianggap salah karena tidak berdandan untuk suami.

 

Bagaimana dengan para perempuan muslim dampingan Mbak ?

Kebetulan para perempuan, para ibu yang saya hadapi semuanya adalah perempuan-perempuan yang sangat realistis. Maksudnya mereka hanya berfikir bagaimana mereka dapat memberi makan anak mereka, atau hidup di tempat yang aman. Di Aceh misalnya, nilai agama kuat sekali. Kalau melakukan apa-apa para perempuan ini mereka selalu takut karena agama. Jadi mereka selalu merasa tidak berhak atas dirinya sendiri, tidak bisa mengungkapkan pendapat mereka tanpa harus izin dulu. Tetapi fikiran untuk menggugat nilai agama masih sangat minim bahkan tidak muncul sama sekali.

Bagaimana dengan pengakuan pekerja seks komersial sebagai sebuah profesi ?

Mengenai pekerja seks komersial ini kita harus hati-hati membahasnya. Memang secara kriteria mereka dapat dikatakan sebagai pekerja karena dengan jasanya mereka mendapatkan imbalan. Tetapi saya kira pengakuan seperti ini juga akan menjadi dilematis. Sebab ada konsekuensi sosial. Jika merujuk kepada asal-usul perempuan memilih menjadi pekerja seks komersial, jelas adalah karena kemiskinan yang melanda. Pilihan kepada pekerjaan ini karena memang kecenderungan orang mencari pekerjaan yang paling mudah, dan secara manusia, tubuh perempuan tidak bisa dipungkiri adalah asset komoditas. Keadaan ini disadari betul oleh masyarakat miskin sehingga ketika mereka tidak memiliki cara lain lagi maka mereka lebih memilih pekerjaan ini, mereka terpaksa menjual dirinya atau bisa jadi pada awalnya mereka benar­benar dijual. Tapi bila melihat melalui kaca mata kekerasan, pekerjaan ini sangat sarat dengan tindakan kekerasan terhadap perempuan. Karena pekerjaan dengan segala keterpaksaan tidak pernah memberikan perlindungan kepada si perempuan sendiri, bahkan perlindungan dari banyak pihak yang diuntungkan dan seharusnya bertanggungjawab termasuk pemerintah.

 

Lalu apa yang bisa dilakukan untuk para pekerja seks komersial ini?

Sangat dilematis sekali. Misalnya dalam konteks ekonomi, pekerja seks ini memang sebagai pekerja karena dia bekerja dan seharusnyanya dia mendapatkan segala haknya sebagai pekerja. Tentu saja ini adalah pilihan yang berat. Sektor inipun harus diakui sebagai sektor pekerjaan. Akan tetapi kerangka sebuah negara dan tidak dapat terbentuk seperti itu karena masyarakat memiliki sudut pandang nilai yang lain. Nah, Bagi saya, jika saya ditanya apa yang bisa saya lakukan melihat fenomena pekerja seks ini maka saya akan mengatakan saya akan melakukan apa yang mampu saya lakukan. Misalnya saya akan melakukan satu hal yang berada pada hulu dari rantai penyebab perempuan memilih menjadi pekerja seks. Salah satu hulu itu adalah pemberdayaan kepada perempuan-perempuan di keluarga mereka, terutama perempuan yang ditinggal suami. Mengutip Mbak Hesti, salah satu perempuan yang bekerja di Doli Surabaya (tempat prostitusi di Sura­baya) bahwa kenyataannya memang pekerja-pekerja seks yang ada disana adalah perempuan kepala keluarga, janda, atau anak dari janda. Untuk itulah, saya merasa saya hanya bisa melakukan di sisi yang terbatas ini. Dari pemberdayaan yang saya lakukan, saya memang sengaja mengarahkan mereka bahwa mereka harus diberi alternatif pekerjaan supaya mereka tidak memilih menjadi pekerja seks.

 

Terakhir mbak, terlepas dari berbagai macam ideologi atau teori yang telah dibicarakan di atas, apa makna bekerja bagi mbak sendiri?

Sebagai seorang muslim, saya merujuk kepada apa yang diwahyukan Allah dalam alquran bahwa manusia di utus ke muka bumi ini adalah sebagai khalifah. Maksud khalifah di sini adalah mengelola isi bumi, memanfaatkannya dan memeliharanya dari kerusakan. Nah dari situlah saya selalu mengambil referensi, bahwa kalaupun saya harus memilih satu pekerjaan, maka ia harus mengandung tugas-tugas khalifah tadi. Pekerjaan yang saya pilih harus bermanfaat, dapat memelihara diri dan bumi ini dari kerusakan. Jangan sampai saya terjebak oleh ideologi kapitalis yang selalu mengukur sebuah pekerjaan berdasarkan imbalan yang didapat. 

 

Majalah Swara Rahima No.12 th.IV September 2004

Similar Posts:

TIDAK ADA KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here