Tema seputar “perempuan bekerja” adalah tema yang telah muncul sejak lama. Meski telah muncul sejak lama namun perdebatan masalah ini seolah tak kunjung selesai. Berbagai aspek yang melingkupi baik dari segi agama, sosial, hingga psikologis nyatanya masih menjadi bahan perbincangan hingga kini. Hal ini tidak lepas dari pandangan umum masyarakat yang masih beranggapan bahwa keluarga yang ideal adalah suami bekerja di luar rumah dan perempuan sebagai istri lebih pantas bekerja di dalam rumah.
Untuk rubrik opini kali ini, redaksi Swara Rahima merasa perlu mengangkat tema perempuan bekerja ini, selain agar pembaca setia Swara Rahima mendapatkan cara pandang yang lebih kaya, juga untuk memberikan sumbangan pemikiran yang lebih berkeadilan gender.
Pada rubrik kali ini, sengaja redaksi mengundang narasumber yang telah lama bergelut dengan isu perempuan, yaitu Ratna Saptari, peneliti yang pernah menulis buku dengan tema Perempuan Bekerja dan Perubahan Sosial dan diterbitkan Kalyanamitra tahun 1995 di Jakarta. Berikut cuplikan opini bersama Ratna Saptari:
Bagaimana anda melihat fenomena perempuan bekerja selama ini?
Kalau kita mau melihat fenomena perempuan bekerja, pertama yang perlu dilihat adalah apa yang membuat pekerjaanpekerjaan tertentu menjadi pekerjaan perempuan. Karena pekerjaan itu tidak dengan sendirinya menjadi pekerjaan perempuan. Pasti ada sejarahnya. Jarang sekali orang yang mau meneliti sejarah perempuan bekerja untuk mencari tahu mana yang menjadi pekerjaan perempuan.
Jadi asal usul bekerja bagi perempuan menurut anda?
Dengan adanya revolusi industri yang menjadikan industri sebagai panglima dari kembang tumbuhnya ekonomi maka kemudian muncul pemisahan antara rumah dengan tempat kerja. Kalau dulu rumah dengan tempat kerja menjadi satu maka sekarang tempat kerja dan rumah adalah 2 tempat yang terpisah. Kemudian ada kekhawatiran dari kalangan yang menjaga moral bangsa, kalau semua kerja di publik maka siapa yang akan mengurus anakanak. Sehingga kemudian antara kaum agamawan dengan industrialis terjadi semacam persekongkolan untuk mengkategorikan perempuan sebagai ‘pekerja’ dalam keluarga sedangkan si laki-laki yang ‘pekerja’ di tempat kerja (luar rumah). Lalu kalau dilihat lebih jeli lagi, proses setiap negara fenomenanya berbedabeda. Untuk kelas menengah ke atas para perempuan harus di rumah tetapi kelas menengah dan kelas bawah tetap harus bekerja di rumah dan juga di tempat kerja di luar rumah. Artinya kemudian, dampak industrialisasi menjadikan perempuan di kalangan kelas menengah dan kelas bawah mendapatkan beban ganda, karena harus bekerja di rumah dan di luar rumah. Sedangkan untuk kelas atas, walaupun di satu pihak mereka harus keluar rumah tetapi mereka keluar dengan cap yang sedikit berbeda bahkan mungkin negatif.
Bagaimana dengan makna bekerja bagi perempuan menurut anda
Untuk beberapa lama, terutama perempuan di Barat dan perempuan aliran Marxis mulai bicara soal kerja, nilai kerja, berapa imbalan yang harus diperoleh dari seseorang yang mengeluarkan jerih payahnya untuk memproduksi barang tertentu. Nah, di sinilah kemudian makna bekerja menjadi perbincangan hingga mengukur penghargaannya bekerja perempuan dengan ukuran-ukuran tertentu. Jika dikatakan perempuan kerja di luar rumah menghasilkan sebuah komoditi tertentu dan mendapatkan nilai tertentu maka seharusnya perempuan yang bekerja di dalam rumah memiliki nilai yang sama. Demikian gerakan feminis pada tahun 70-an dan 80-an mengatakan bahwa bekerja di rumah harus mendapatkan pengakuan juga.
Lantas apa yang dimaksud dengan bekerja yang terkait kepada reproduksi sosial?
lstilah reproduksi itu sendiri mengandung 3 pengertian yaitu pertama, reproduksi biologis misalnya proses melahirkan, kedua, reproduksi tenaga kerja seperti kerja untuk menghasilkan tenaga kerja masa depan dengan harus ada orang yang membantunya misalnya mencuci baju, ataupun menyekolahkan, ketiga, reproduksi sosial yaitu reproduksi dari masyarakat itu sendiri. Misalnya masyarakat Jawa, Sunda dan masyarakat Padang bisa meneruskan identitasnya sebagai masyarakat. Masalahnya, kerja reproduksi atau reproduksi tenaga kerja itu sering kali dipersoalkan nilainya, bagaimana nilai-nilai ini dapat bisa dihargai, secara uang atau dihargai secara sosial?